Oleh: Akhmad Basuni
Dalam sejarah tercatat Banten didirikan oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-15 70). Sang Sultan berhasil memimpin masyarakat Banten dengan kearifan, membentuk dan membina masyarakat Islami di persada Banten. Banten saat itu merupakan sebuah kawasan berdaulat sebagai salah satu kerajaan Islam di Nusantara.
Prestasi gemilang Banten kala itu terkenal sebagai pelabuhan internasional dan menjadi kota terpenting dalam jalur perdagangan internasional. Hal ini dibuktikan pada abad ke-16 dan 17, pelabuhan Banten (Karangantu) banyak disinggahi kapal asing untuk melakukan perniagaan. Bahkan menurut catatan Cornelis de Houtman, pemimpin VOC yang menyinggahi Banten, menyatakan kurang lebih terdapat 36 bendera kapal asing yang bersandar di Pelabuhan Banten saat itu (Memahami Aspirasi Masyarakat Banten, 2002).
Di samping sebagai pusat perniagaan internasional, Banten tercatat sebagai pusat penyiaran agama Islam. Dari itu tidak sedikit orang-orang dari luar daerah datang untuk nyantri, menimba ilmu di Banten hingga kini.
Dalam masa perjuangan melawan penjajah, Banten mempunyai catatan tersendiri yaitu Geger Cilegon. Ialah peristiwa pemberontakan kaum tani yang diprakarsai para kiai. Peristiwa ini juga menjadi kajian akademik dan dipelajari kaum terpelajar kelas dunia.
Melihat sedikit sejarah Banten saja sudah terbayang bahwa Banten memang unik dan menarik sekaligus nyentrik. Di samping religius. Banten terkenal pula sebagai negeri para jawara.
Untuk itu Banten perlu kembali penataan, agar bisa kembali berjaya dalam percaturan era global. Tidak hanya terkenal dengan jawaranya, tetapi minus prestasi aktualisasi keagamaan dalam kehidupan real. Prestasi gemilang Banten kala itu perlu kembali dihadirkan oleh pemerintah dan elemen masyarakat non government.
Nahdlatul Ulama merupakan salah satu Organisasi kemasyarakatan terbesar di dunia, memiliki misi mendesiminasikan Islam, moderat, tawassut dan tawazun. Ini terhimpun dan sekaligus menjadi tema serta semangat pada Muktamar NU ke-33 tahun 2015, 'Islam Nusantara'.
Para Wali Songo sebagai penyebar agama Islam di Nusantara telah begitu gigih, dan dengan dinamisasinya menerapkan asasi Islam dalam kehidupan sosial kemasyarakatan tanpa tercerabut dari esensi Islam itu sendiri. Dari itu ulama Nusantara mempelajari multifiqh dalam ragam mazhab. Multifiqh dan ragam mazhab ini kiranya menjadi formula dalam mengatasi permasalahan pada masyarakat yang beragam di Nusantara.
Ulama Nusantara selalu mengambil jalan tengah mana kala terdapat dua permasalahan ekstrem, katakanlah seperti menengahi paham dalam tauhid tidak ikut Mutazilah atau ikut Jabariyah tetapi berada diantara keduanya yaitu mengikuti faham Asyariah dan Maturidiyah. Pun dalam hal bernegara, mayoritas ulama Nusantara tidak mau terjebak pada formalisme beragama. Secara teologis tidak ada keharusan untuk memilih ideologi negara Islam, sedangkan secara sosiologis bangsa ini dihadapkan pada fakta keragaman agama, suku, bahasa, dan ras.
Era milenial yang kini tengah berjalan, harus terus menimbulkan progresivitas NU dalam memecahkan permasalahan lokal dan nasional. Terlebih bagi Banten, yang selain karena sejarah di atas, juga merupakan provinsi penyangga ibu kota. Sudah seharusnya geliat kajian keislaman ala NU itu kembali dinyalakan. Agar NU di Banten adanya tidak seperti tidak ada.
Tantangan NU Banten salah satunya adalah infilterasi Islam transnasional. NU sebagai basis masa keislaman tradisional kultural, sekaligus jamiah struktural, jika kurang sigap menghadapi tantangan, tentu hanya akan jadi serangan empuk mereka. Padahal mereka sudah merangsek di berbagai lini, mulai lembaga pendidikan menengah dan perguruan tinggi, birokrasi, parlemen, TNI, Polri; juga lembaga pendidikan formal dan non formal semacam pesantren.
Gairah atau semangat ke-NU-an sudah bukan lagi sekedar memiliki dan memilih jajaran perangkat kepengurusan PWNU, melainkan melakukan aksi real mengejawantahkan program kerja nyata. Banyak PR besar yang belum maksimal digarap PWNU, dari keagamaan, hingga ekonomi keumatan.
Pemahaman keagamaan jamaah NU sendiri basis kultural terutama generasi millenial mereka lebih akrab kepada asongan rasa Islam transnasional. Jika hal ini dibiarkan, lambat laun NU hanya akan jadi jami ah laksana ICMI yang tidak memiliki jamaah. Juga jika dibiarkan, NU hanya akan menjadi menara gading kaum terdidik beragam pemahaman keagamaan, tetapi basis masanya terpapar virus formalisme agama, miskin nalar dan tekstualis.
Semoga Sang Nahkoda PWNU ke depan sesuai harapan semua Nahdliyyin, memiliki sifat keulamaan dan kecendikiaan, sekaligus progresif dalam menangkal Islam transnasional. Keulamaan, dan kecendikiaan akan membawa transformasi nyata dengan kompetensi yang dimilikinya.
Nahkoda PWNU Banten yang demikian, melalui kiprahnya, akan bisa mengkontruksi, bahkan merekontruksi nilai-nilai keislaman yang sejalan dengan napas keindonesiaan. Dari itu keberislaman menjadi sebuah proses 'menjadi' dan dinamis. Semoga.
Penulis adalah aktivias Ansor Banten.