Oleh Zastrouw Al-Ngatawi
Miltansi adalah keteguhan dan keuletan dalam berjuang dengan menghadapi berbagai kesulitan, tantangan dan cobaan. Militansi bisa menumbuhkan dedikasi yaitu pengabdian yang tulus dengan keyakinan penuh sehingga rela berkorban apa saja demi mencapai cita-cita mulia secara bersama-sama.
Sikap militan yang penuh dedikasi ini tampak nyata dalam acara Harlah ke-73 Muslimat NU di Stadion Utama Gelora Bung Karno, 27 Januari 2019 lalu. Hal ini terlihat dari ketegukan ibu-ibu bahkan nenek-nenek sepuh yang datang ke Jakarta, menempuh perjalanan panjang dari pelosok desa. Ada di antara mereka yang baru kali ini ke Jakarta dan ini merupakan perjalanan terjauh sepanjang hidup mereka. Ada yang seumur hidup belum pernah keluar dari daerah, paling jauh perjalanan mereka hanya ke pusat ibu kota Kabupaten, itupun frekuensinya tak lebih hitungan jari tangan.
Dalam pengamatan penulis, persiapan acara ini memang sangat mepet. Hanya ada waktu efektif kurang dari empat minggu untuk konsolidasi, kordinasi dan sosialisasi ke seluruh wilayah se Indonesia. Pendeknya waktu persiapan ternyata bukan menjadi hambatan bagi para pengurus dan anggota Muslimat NU. Berbagai keterbatasan yang ada justru menjadi bara api yang membakar semangat yang menggerakkan militansi dan dedikasi hingga melahirkan energi yang dahsyat. Energi ini menjebol berbagai hambatan dan kesulitan yang ada.
Yang mengharukan, para jamaah ini mempersiapkan sendiri bekal berangkat ke Jakarta. Penulis sempat berbincang dan bertanya pada beberapa ibu mengenai sumber perbekalan. Mereka menyatakan ada yang mengambil uang tabungan, meminta kepada anak, mengumpulkan upah kerja selama beberapa hari, bahkan ada yang menjual sebagian ternak piaraan untuk bekal ke Jakarta. Untuk menghemat, mereka membawa bekal makanan di perjalanan yang dimasak dari rumah.
Miltansi dan dedikasi ini tidak hanya ditunjukkan oleh para jamaah tetapi juga para Pengurus Muslimat NU di seluruh tingkatan. Para pengurus Wilayah dan Cabang bergerilnya menggerakkan pengurus Anak Cabang, Ranting sampai Anak Ranting untuk pengerahan massa dan menyiapkan transportasi.
Pengurus pusat, dibawah arahan dan kordinasi Ketum, Khofifah Indar Parawansa dan Mbak Yenny Abdurrahman Wahid, sebagai sebagai Ketua Panitia, melakukan kordinasi tehnis dan adminstratif dengan pihak lain (pemerintah, aparat kemanan, pimpinan instansi dan lembaga serta pihak lain yang terkait). Koordinasi ini dilakukan secara intens siang malam.
Yang mengagumkan, kegiatan ini benar-benar terkelola dengan management dan adminsitrasi yang baik. Hal ini dibuktikan dengan terdatanya jumlah peserta secara baik dan valid hampir seluruh jamaah dari daerah. Pendataan ini tidak hanya jumlah dan nomor bus dari masing-masing daerah, bahkan lokasi parkir bus semua terdata dengan baik. Jumlah jamaah yang tencatat panitia ada 102.455 orang dengan menggunakan 2.020 unit bus. Jumlah ini di luar tamu undangan dan massa yang datang secara spontan dengan membawa kendaraan sendiri.
Validitas data ini penting untuk menghindari terjadinya klaim bombastis yang tidak masuk akal karena tanpa data dan fakta yang jelas. Di sini Muslimat NU memberikan pendidikan pada publik agar tidak mudah percaya pada kalim bombastis tanpa fakta. Selain itu juga menjadi peringatan pada elit agar tidak mudah membuat klaim bomastis tanpa fakta pendukung yang valid yang bisa dilihat buktinya secara nyata.
Sikap main klaim dengan mengabaikan akal sehat itu merupakan pembodohan massal. Sekedar perbandingan, jika hanya seratus ribu lebih massa saja dibutuhkan jumlah bus dan tempat parkir yang sedemikian luas, bagaimana jika jumlah massa dikalim sampai jutaan. Berapa jumlah bus yang mengangkut massa dan dimana parkirnya?
Event harlah Muslimat NU di GBK ini juga menjadi momentum bangkitnya militansi dan dedikasi seluruh pengurus dan warga NU baik kepada jam'iyyah maupun bengsa dan negara. Hal ini dibuktikan dengan keterlibatan seluruh neven NU; mulai badan otomom sampai lajnah dan lembaga. Di lapangan bisa dilihat bagaimana Banser bekerja tak kenal lelah membantu, membimbing dan mengamankan para jamaah. Para santri pesantren terlibat aktif menjadi pasukan kebersihan, Ansor, Fatayat, IPNU, IPPNU dan lainnya bergerak bahu membahu mensukseskan acara.
Tidak hanya pada level internal NU, event ini juga bisa membangkitkan militansi dan dedikasi seluruh komponen bangsa (pemerintah, aparat, pengusaha, komunitas dan kaum profesional) kepada bangsa dan negaranya. Di lapangan bisa dilihat para aparat dan petugas bersiap sejak H-1, bahkan saat dini hari mereka tetap bertugas membantu jamaah dan mempersiapkan kebutuhan acara meski di tengah guyuran hujan.
Apa yang terjadi menunjukkan bahwa dedikasi dan loyalitas warga NU kepada organisasi, para kiai dan NKRI belum padam terkikis zaman. Militansi dan dedikasi ini juga tumbuh di kalangan masyarakat. Militansi dan dedikasi ini menyimpan potensi energi yang dahsyat yang bisa diaktulisasikan dan digerakkan.
Energi yang sangat besar ini akan berbahaya jika hanya dipergunakan untuk kepentingan politis sempit dan sesaat. Penggunaan energi militansi dan dedikasi yang tidak pada tempatnya bisa mengancam eksistensi bangsa dan negara serta bisa memadamkan energi militansi dan dedikasi.
Sebaliknya jika energi ini digunakan untuk kepentingan bangsa, negara, dan agama demi terwujudkanya kemaslahatan umat secara lebih luas, maka akan bedampak pada terjadinya penguatan bangsa dan negara. Sepanjang perjalanan NU, para pengurus yang dimbimbing oleg para ulama selalu menggunakan energi ini secara tepat untuk kepetingan agama, bangsa dan negara.
Tugas menggunakan energi ini secara tepat dan akurat untuk kepentingan yang besar dan mulia merupakan tantangan pengrus NU saat ini. Saya yakin Pengurus NU saat ini akan menggunakan energi militansi dan dedikasi warga sesuai tugas kesejarahan yang pernah terjadi, karena inilah cara terbaik menjaga agar militansi dan dedikasi warga NU tidak berhenti. (Tamat)
Penulis adalah pegiat budaya, dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta