Opini

Merindukan Pemerintahan Amanah

NU Online  ·  Jumat, 10 Agustus 2018 | 19:00 WIB

Oleh: Nanang Qosim 

Sebuah pemerintahan dapat dikatakan berhasil bila dikendalikan oleh seorang pemimpin yang jujur dan yang mampu menjalankan amanat rakyatnya, dan tidak penah ada niat untuk mengkhianati amanah yang diemban. Ketika seorang Muslim yang ditugaskan untuk mengemban amanah, dia harus menjaga dan melaksanakannya dengan sekuat kemampuan yang dimiliki, sekalipun harus berhadapan dengan berbagai macam cobaan dan tantangan.

Dalam Al-Qur’an/4:58, telah memberi bekal kepada setiap orang untuk selalu menjaga amanah, menegakkan keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa pandang bulu. Pemimpin adalah sosok yang paling depan menunjukkan jalan, ketika rakyat dalam kebingungan, memberikan obor ketika rakyat dalam kegelapan, memberikan semangat ketika merasa cemas dan seterusnya. 

Perlu adanya empati, kepekaan dan sensitivitas yang tajam dalam melihat berbagai persoalan. Seorang pemimpin tidak akan ada artinya jika hanya mengandalkan kekuasaan, tapi tidak pernah paham apa yang dirasakan rakyat. Merujuk kepada kata "amanat" dalam Al-Qur’an/4:58, mengandung arti "sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakan sebaik-baiknya".

Dalam pemerintahan yang demokratis, amanat yang diemban oleh aparatur pemerintahan bersumber dari rakyat. Ini konsekuensi dari prinsip kedaulatan rakyat. Ketika seorang pemimpin tidak lagi menjaga amanat, berarti telah berkhianat kepada negara dan rakyat. 

Ukuran seorang pemimpin pengkhianat menurut Rasulullah SAW adalah: Bila berbicara selalu berdusta. Bila berjanji tidak pernah ditepati. Bila diberikan kepercayaan selalu khianat. Apabila tiga sikap ini ada pada seseorang atau seorang pemimpin, maka digelari dengan munafik sekalipun melaksanakan shalat, puasa dan mengaku dirinya sebagai mukmin. (HR. Bukhari)

Dalam pemerintahan yang demokratis, amanah yang diemban oleh aparatur pemerintahan bersumber dari rakyat yang merupakan konsekuensi dari prinsip kedaulatan rakyat. Untuk mewujudkan sebuah pemerintahan yang demokratis tentu mekanismenya adalah pemilihan umum yang menganut asas "jurdil" (jujur dan adil). 

Hasil pemilu adalah mandat untuk pemimpin pemerintahan. Mandat tersebut adalah sebuah amanat yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik. Pemerintahan yang amanah dalam konteks demokrasi adalah suatu sistem kekuasaan yang dikelola oleh sejumlah orang yang dipilih oleh rakyat. Kunci utama untuk menciptakan sebuah pemerintahan yang amanah adalah rule of law (peraturan sesuai hukum), dengan ini akan terwujud good government (pemerintahan yang baik) dan ini pun harus melalui good governance (sistem yang baik).

Reformasi menuntut terciptanya berbagai bentuk perubahan dari segala hal yang negatif kepada hal yang positif dalam berbagai bidang kehidupan. Siapa pun yang akan menjadi pemimpin harus sadar bahwa jabatan adalah amanah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW: "Apabila amanat telah disia-siakan, maka tunggulah saatnya". Sahabat bertanya: "Apakah maksudnya wahai Rasulullah"? Beliau menjawab: "Apabila suatu urusan telah diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancurannya)." (HR Bukhari dari Abu Hurairah RA).

Untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, pemerintahan harus dikelola dengan benar dan sebaik-baiknya sesuai dengan amanah yang diberikan rakyat. Imam Al-Ghazali memandang amanah sebagai moral politik. Bukan sebagai prinsip politik. Ia mengecam keras setiap kepala nagara dan pejabat pemerintahan yang tidak jujur dalam jabatan. Ia menasehati agar rakyat tidak tunduk kepada penguasa dzalim. Dalam hal ini Nabi SAW juga pernah mengungkapkan bahwa "Kekuasaan dapat kekal beserta kekufuran, tetapi tidak bisa kekal beserta kedzaliman". Nasihat ini diberikan kepada para ulama yang menjadi penyuluh dan pemimpin rakyat.

Dalam ungkapan yang lain bahwa untuk terciptanya sebuah dunia yang utuh harus melibatkan minimal empat unsur dalam masyarakat. Pertama, bimbingan ulama. Ini mengisyaratkan bahwa keberadaan para ulama harus terlibat dalam mengatur negara, harus masuk dalam sistem ketatanegaraan dalam wujud lembaga tinggi negara. Kedua adalah adilnya para penguasa. Juga (ketiga) kaum dermawan (konglomerat) di bawah koordinasi kementerian keuangan.  Serta (keempat) doa orang-orang fakir (rakyat kecil). Dalam pandangan Allah SWT, doa orang dhuafa  sangat menentukan dan langsung diterima, apalagi jika mereka terdzalimi. Nabi pun selalu memperingati umatnya agar senantiasa berhati-hati dengan doa mereka.

Pada suatu waktu Abi Dzar meminta jabatan kepada Nabi SAW, lalu Nabi bersabda: "Engkau ini sangat lemah, sedangkan pekerjaan itu adalah amanah yang pada hari kiamat nanti akan dipertanggungjawabkan dengan penuh risiko kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang memenuhi syarat dan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik."  HR Muslim (Shahih Muslim jilid IV hadist No.1793).

Betapa berat tanggungjawab seorang pemimpin di hadapan Allah SWT, sebagaimana yang terungkap dalam peringatan Nabi: "Tiada seorang hamba yang dipercayakan oleh Allah untuk mengurus rakyatnya, kemudian ia mati sedang pada hari kematiannya itu ia masih dalam keadaan menipu rakyatnya, Allah mengharamkan surga baginya." (HR Muslim No. 1797).

Jangankan menyia-nyiakan amanat, menerima hadiah saja yang ada hubungannya dengan jabatan tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Seperti kasus yang dialami Ibnu Lutbiyah yang terungkap dalam HR Muslim No. 1800.

Umar bin Khattab
Dalam perjalanan sejarah kepemimpinan Islam, banyak sekali profil pemimpin yang patut diteladani oleh setiap orang yang ingin membentuk masyarakat madani. Di antaranya adalah kepemimpinan Umar bin Khattab yang hidupnya sangat sederhana, pakaian yang dipakainya terdapat 21 tambalan, hadiah yang dikirimkan oleh gubernur yang bernama Utbah bin Farqad dari Azerbaijan dikembalikan untuk dapat dinikmati rakyat.

Dia orang pertama yang lapar, jika rakyatnya lapar, dan orang terakhir yang kenyang jika rakyatnya kenyang. Beliau memiliki hati nurani yang kuat yang tercermin dalam falsafah hidupnya "Bagaimana aku bisa mengurusi orang-orang itu jika apa yang menimpa mereka tidak menimpa diriku". Umar tidak menjadikan pemerintahannya sebagai padang rumput yang mubah dan buruan yang bebas.

Tentunya kita tidak berputus asa ketika sekarang hanya bisa bercerita dan berkhayal terhadap sosok pemimpin masa dulu. Karena kita memilih pemimpin tidak mengacu kepada ajaran Allah dan Rasul, tetapi berangkat dari hawa nafsu dan dendam. Ini adalah ujian bagi kita semua, sebelum menempatkan Al-Qur’an pada tempat yang layak dalam mengatur hidup. Sebelum menyadari bahwa Islam adalah suatu sistem yang lengkap yang dapat mengatasi segala gejala kehidupan.
Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintah dan bangsa, moral dan potensi atau rahmat dan keadilan, pengetahuan dan Undang-undang atau ilmu dan keputusan, materi dan kekayaan atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide. Ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah.

Manusia yang kini tersiksa hati nuraninya dan akhlaknya sudah rusak, tidak punya pelindung lagi dari kejatuhan ke jurang kehinaan selain dari pada Al-Qur'an. Umat Islam sendirilah yang membangun obor di tengah gelapnya sistem dan prinsip lainnya. Mereka harus menjauhkan diri dari segala kegemerlapan yang palsu dan membimbing manusia yang sedang kebingungan dengan Al-Qur’an menuju terciptanya kedamaian, keadilan, kesejahteraan dan keamanan sehingga terbentuk masyarakat madani di bawah ridha Allah SWT. 

Mahasiswa pascasarjana UIN Walisongo Semarang, pengurus di Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) NU Kota Semarang.