Opini ARYUDI A. RAZAK

Merekonstruksi Peran Politik NU

Rab, 5 Februari 2014 | 22:01 WIB

Jika dihitung berdasarkan kalender Masehi, pada 31 Januari 2014 kemarin, NU sudah berusia  88 tahun. Kalau diibaratkan manusia, usia tersebut sudah mencapai kematangan yang cukup. Bahkan tergolong sepuh. Prilakunya biasanya cukup arif. Jarang bicara, namun sekali “ngomong” cukup bertuah. Tindakannya tidak gegabah, jarang membuat kesalahan karena belajar dari pengalaman. <>

Demikian juga NU. Di usianya yang sudah berkepala delapan ini, idealnya NU sudah cukup matang dalam bertindak dan menyikapi berbagai persoalan kebangsaan. Untuk urusan ubudiyah dan “perlawanan” terhadap faham-faham kontra Aswaja, NU cukup  oke. Tapi untuk soal-soal “horizontal” yang terkait langsung dengan pelayanan umat seperti pendidikan, dakwah maupun kesehatan masih perlu terus ditingkatkan. Terus terang, sejauh ini  hanya bidang dakwah yang mempunyai progress  cukup  menggembirakan karena rata-rata kiai NU memang muballigh. Sedangkan bidang yang lain biasa-biasa saja.  

Salah satu yang kerap menjadi sorotan masyarakat adalah “pelayanan” NU di bidang politik. Syahwat politik NU yang cukup posesif dan fluktuatif, membuat ormas ini selalu mengundang perhatian. Dikatakan  tidak berpolitik, tapi faktanya kerap telibat dalam permainan politik. Dikatakan berpolitik, NU katanya selalu berpegang kepada khittah.

Memang, NU mempunyai koridor politik yang jelas. Khittah NU menggariskan bahwa secara kelembagaan NU tidak boleh berpolitik. Meminjam istilah KH. Muchith  Muzadi, NU tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana. Dengan kata lain, orang NU bahkan pengurus NU, secara perorangan tidak haram bergabung dengan partai politik tertentu, tapi dilarang keras membawa-bawa nama NU. Kalimat ini cukup gamblang tapi aplikasinya sangat absurd. Pantas saja langkah politik yang ditempuh NU dalam berbagai event politik, selalu menimbulkan pro-kontra. Sebab, bagaimana mungkin memisahkan antara figur seorang ketua NU dan jabatan yang disandangnya dalam ranah permainan politik. KH. Abdullah Syamsul Arifin yang menjadi Cawabub Jember, Guntur Ariyadi, Ali Maschan Moesa yang menjadi Cawagub Jatim, Soenaryo dan bahkan KH. Hasyim Muzadi yang menjadi Cawapres Megawati Soekarno Putri.

Demikian juga tokoh kunci/Ketua NU lain, yang maju dalam perhelatan politik,  mereka semua itu tetap tak bisa dilepaskan dari posisinya selaku pengurus NU kendati sudah non aktif. Di manapun mereka berkampanye, mesti dikait-kaitkan dengan NU. Akhirnya, mau tidak mau institusi NU juga terseret di keriuhan politik praktis.

Kalau menang, nama NU berkibar. Jika kalah, nama NU juga tercoreng. Ironisnya, banyak calon yang diusung NU, kalah telak. Cibiran pun kerap menyeruak; NU sudah tak laku, NU keropos dan sebagainya.

Mereka (tokoh-tokoh NU yang berpolitik praktis) tidak salah. Apa yang mereka lakukan adalah sebuah ikhtiar politik untuk ikut terlibat aktif dalam proses pemberdayaan masyarakat, khususnya warga NU. Mereka adalah tokoh yang loyalitas dan pembelaannya terhadap NU begitu mumpuni, sehingga jika menang, NU juga yang akan memetik buahnya. Cuma persoalannya, hampir dipastikan pengurus NU tidak satu suara dalam menyikapi figur NU yang maju dalam bursa pemilihan kepala daerah, atau apalagi dalam perhelatan politik semacam Pileg. Aklibatnya suara warga NU juga pecah.

Memang tidak ada yang mengingkari bahwa massa NU cukup bejibun. Kader NU juga bertebaran di hampir semua lini. Mereka kompak di bawah satu komando (NU) ketika harus dihadapkan kepada persoalan yang terkait dengan keumatan. Namun ketika yang dibahas soal politik dan kekuasaan, tunggu dulu. Alih-alih bersatu, mereka malah silang sengkurat. Sebab, mereka mempunyai agenda politik masing-masing yang boleh jadi berseberangan satu sama lain.

Kendati demikian, sampai detik ini NU masih merupakan komoditas politik yang cukup diminati. NU masih dianggap sebagai magnet sekaligus alat progpaganda untuk menarik simpati massa. Lihat saja, menjelang Pileg ini betapa banyak Caleg yang membawa-bawa nama NU dalam baliho atau spanduk kampanyenya, mulai dari yang sekedar menempelkan logo NU hingga yang mengklaim sebagai putra asli NU. Ini menunjukkan bahwa NU dinilai masih mempunyai potensi politik yang cukup besar.  

Terlepas dari itu semua, NU memang harus mengkonstruksi ulang posisi sekaligus peran politiknya di masa-masa yang akan datang. Tidak mungkin  NU lepas dari “bermain” politik praktis, baik terang-terangan atau sembunyi-sembunyi. Massa NU yang besar jumlahnya adalah modal politik yang cukup signifikan. Lebih baik modal politik itu dikelola dan dimanfaatkan sendiri untuk kepentingan NU, dari pada dimanfaatkan orang lain yang mengatasnamakan NU, tapi ujung-ujungya tidak jelas pembelaannya terhadap NU.

Karena itu, NU harus jeli membaca peluang sekaligus memetakan kekuatan sumberdaya politik yang ada. Kegagalan demi kegagalan di masa lalu harus menjadi pelajaran berharga untuk melangkah ke depan dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik kepada umat, baik bidang politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya. Jangan sampai NU jatuh dua kali di lobang yang sama.

NU, kau ditunggu umat di pagi yang cerah. Bukan dinanti kelak di senja yang merah. Selamat merenung, dan selamat harlah.

 

Aryudi A. Razaq, Alumni Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, Kontributor NU Online Jember.