Yudiarto Santosa
Jakarta, NU.Online Secara definitive pembangunan atau developmentalisme dapat diartikan sebagai suatu gagasan yang dibuat menjadi teori sebagai jalan keluar bagi negara berkembang (negara yang muncul setelah perang dunia kedua dan telah sekian lama dijajah) untuk mengejar ketertinggalannya dari negara-negara maju (pada umumnya negara penjajah/imperialis), sehingga terjadi pergeseran dari masyarakat pertanian subsistem menjadi masyarakat modern yang berbasiskan industri berteknologi tinggi.Dalam semangat itulah, Indonesia yang turut serta secara aktif dalam derap gempita pembangunan, sekitar tahun’60-an mulai menyusun dan mengerjakan proses pembangunan ekonomi dengan ketat dan sistematis demi mengejar capaian pertumbuhan.
<>Kata “pembangunan” sendiri dirujuk dari kampanye presiden Amerika Harry S. Truman dalam mengumumkan kebijakan pemerintahannya dengan membuka era “pembangunan” untuk dunia. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk mengukuhkan legitimasi Amerika sebagai negara adidaya dan berkuasa di dunia yang didasarkan pada kapasitas produksi dan kekuatan finansialnya yang nyaris tidak tertandingi oleh negara lainnya. Selain itu kampanye itu juga tidak terlepas dari kepentingan perang dingin antara kapitalis dengan (Amerika) dalam menahan laju sosialisme-komunisme (soviet) di Indonesia.Dari alur sejarah demikian sebenarnya dapat dipahami bahwa pembangunanisme merupakan bentuk lain dari kolonialisme yang dirancang oleh negara-negara maju/kapitalis untuk tetap mempertahankan dominasinya dinegara dunia ketiga.
Sejak tampilnya suharto ketampuk pemerintahan, secara resmi pembangunanisme menjadi pedoman pemerintah untuk menuju kemakmuran. Teori petumbuhan Rostow yang membagi perkembangan masyarakat kedalam lima tahap menjadi kerangka acuan penyusunan pembangunan lima tahun (PELITA). Agak berbeda dengan negara kapitalis maju yang proses kelahiran dan perkembangannya berasal dari kontradiksi didalam hubungan produksi, yaitu antara kaum borjuasi yang menguasai alur perdagangan dan keuangan serta teknologi dengan kaum raja/bangsawan yang berada distrata paling tinggi dalam piramida social. Di Indonesia, terutama pada fase orde baru kapitalisme tidak lahir dari hasil pertentangan antara kaum borjuasi dengan kaum feudal, tetapi lelahirannya dikawal oleh kekuatan militeristik yang memang sejak sebelumnya menjadi kelompok dominan dan dapat dukungan negara-negara kapitalis maju sehingga kuat secara politik dan ekonomi.
Kondisi tersebut berakibat pada terciptanya kondisi ketergantungan politik dan ekonomis kaum borjuasi sipil kepada militer, terbukanya akses yang lebar bagi faksi tentara kapitalis unrtuk terus meluaskan pengaruhnya dan mematikan perlawanan-perlawanan yang menginginkan kemerdekaan Indonesia secara utuh. Kondisi ini lazim disebut dengan negara birokratik otoriter yang berwajah kapitalis. Dalam penerapannya dilapangan, otoriterian diterapkan sebagai wujud dari ketertiban dan keamanan social. Dalam usaha pencapaian pertumbuhan yang tinggi diperlukan adanya stabilitas politik yang bebas dari konflik ideologis berdasarkan consensus nasional dengan cara menghapuskan politik kepartaian melemahkan partai-partai politik dan lain-lain. Sedangkan pemunculan wajah kapitalistiknya didorong melalui keterlibatan aktifnya dalam masalah-masalah ekonomi. Tercatat pada tahun “67 Indonesia membentuk konsorsium hutang luar negeri yang bernama IGGI dalam rangka pencarian modal untuk proses pembangunan ekonomi selanjutnya, terbukanya Indonesia bagi perdagangan internasional, pembukaan pasar bagi barang-barang produksi luar negeri serta kebebasan lalu-lintas modal dan laba.
Dengan kondisi ini, dalam waktu singkat basis perekonomian Indonesia berubah dari pertanian ke industrialisasi. Namun pada waktu yang sama, akibat tidak utuhnya komitmen pelaksana pembangunan serta lambannya pembangunan unsur kelembagaan penyangga industrialisasi, terjadi ketimpangan sektoral sekaligus dalam penilaian mikro juga menunjukkan ketimpangan pendapatan antara pelaku sector industri dengan pelaku sector lainnya (terutama pertanian). Matinya industri kecil di pedesaan serta berkurangnya kesempatan kerja disektor industri menyebabkan semakin lemahnya posisi golongan miskin sehingga disparitas kaya miskin semakin lebar. Dalam kondisi demikian tenaga kerja tidak memiliki pilihan lain selain terjun kesektor jasa yang merupakan sector pemenuhan kebutuhan tersier, dari sini terlihat bahwa tumbuhnya sebagian besar sector jasa bukan merupakan hasil evolusi kenaikan produktivitas dan kenaikan struktur permintaan efektif tapi lebih merupakan sebagai alternatif pengurangan banjirnya tenaga kerja dari sector lain.
Sedangkan disektor perdagangan, Indonesia semakin terintegrasi secara penuh pada perputaran barang/jasa skala global. Pengintegrasian secara pen
Terpopuler
1
Idul Adha Berpotensi Tak Sama, Ketinggian Hilal Dzulhijjah 1446 H di Indonesia dan Arab Berbeda
2
Pemerintah Tetapkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025 M
3
Hilal Terlihat, PBNU Ikhbarkan Idul Adha 1446 H Jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025
4
Gus Baha Ungkap Baca Lafadz Allah saat Takbiratul Ihram yang Bisa Jadikan Shalat Tak Sah
5
Pengrajin Asal Cianjur Sulap Tenda Mina Jadi Pondok Teduh dan Hijau
6
Niat Puasa Dzulhijjah, Raih Keutamaannya
Terkini
Lihat Semua