Opini

Menyibak Hikmah Dibalik Lailatul Qadr

NU Online  ·  Sabtu, 6 Oktober 2007 | 08:56 WIB

Zainuddin*

Tuhan semesta alam berkehendak dan berkuasa atas segala hal. Semua yang telah terjadi dan yang akan terjadi tidak tersembunyi dari pengetahuan tak terbatas-Nya. Dia bebas menentukan segala yang diinginkan. Tetapi, Dia tidak pernah tiranik dengan mata-rantai takdir-Nya. Dia selalu mengasihi serta menyayangi ciptaan-Nya. Sebagai salah satu bukti kasih sayang-Nya, Dia menorehkan beberapa keistimewaan bagi umat Islam pada bulan Ramadhan. Hal itu bisa dipahami dari ridha-Nya dalam menyiratkan satu malam pada bulan tersebut dengan segala keutamaannya yang melebihi seribu bulan.

<>

Umat Islam dianjurkan oleh nabi Muhammad SAW untuk ber-munajat memohon ampun dan ridha-Nya dalam keseluruhan bulan Ramadhan, utamanya pada lailatul qadr yang selalu menjadi pertanyaan besar. Nabi sendiri tidak pernah menjelaskan secara detail waktu turunnya lailatul qadr. Beliau hanya memprediksikan bahwa sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dengan hitungan ganjil, merupakan harapan yang mendekati malam barakah itu. Namun, bisa saja lailatul qadr jatuh di antara dua puluh malam sebelumnya. Lewat sabdanya yang diriwiyatkan oleh imam Bukhari, beliau menyampaikan kepada umat Islam bahwa ”siapa saja yang bangun pada lailatul qadr dengan hati yang iman dan tulus, akan diampuni segala dosanya yang telah berlalu”.    

Keutamaan dan rahasia yang tersimpan pada lailatul qadr menjadi mutiara tersendiri bagi bulan itu. Tidak diherankan apa yang telah menjadi upaya serta kebiasaan para sahabat  nabi pada awal perkembangan Islam. Mereka berlomba-lomba bangun malam sampai subuh. Tiada lain kecuali demi merealisasikan sebuah niat suci untuk mendapatkan ridha ilahi lewat malam paling istimewa tersebut. I’tikaf di masjid dibiasakan sebagaimana tempat ibadah ini diyakini mempunyai nilai sakral. Apalagi, rasul sendiri mengimbau para sahabat untuk mengamalkan itu sehingga upaya untuk menggapai lailatul qadr bisa lebih optimal.

Al-qur’an dan laialtul qadr 

Dimaklumi bahwa Al-qur’an diturunkan pada lailatul qadr di bulan Ramadhan. Al-qur’an sebagai kitab suci umat Islam merupakan kumpulan ajaran agama yang memuat aspek-aspek kehidupan. Di dalamnya, diajarkan kebaikan dan kebenaran. Absoluditasnya bagi umat Islam tidak terbantahkan sehingga prinsip-prinsip yang ditawarkan menjadi paradigma aksiomatik. Keutamaan dan kemuliaannya juga mendapatkan persepakatan umat Islam terkait kandungannya yang merupakan firman Allah, Tuhan semesta alam. Kemukjizatannya yang tidak tertandingi hingga saat ini menjadi keistimewaan tersendiri sehingga kebenaran ajarannya tidak perlu diragukan lagi.

Sakralitasnya hingga sekarang disepakati oleh mayoritas muslim sehingga ulama mewajibkan untuk bersuci dari hadas bagi orang yang ingin menyentuhnya, meskipun ada sebagian ulama yang berbeda pendapat. Tindakan mengagungkan Al-qur’an tidak terlepas dari ajaran nabi untuk senantiasa memuliakannya. Hal ini juga menjadi sebuah kewajaran ketika ditilik dari konteks sosio-kultural prapenurunannya. Dipahami bahwa pada waktu itu, masyarakat Arab hidup dalam nuansa yang bergelimang dekadensi moral. Kecarut-marutan tatanan kehidupan menginspirasikan nabi untuk ber-uzlah mencari ketenangan dan petunjuk ilahi. Pada suatu malam (baca: lailatul qadr) tepatnya di qua Hira, tempat nabi melakukan meditasi, datanglah sosok malaikat dengan perintah Tuhan yang diwahyukan kepada beliau. Perintah tersebut menjadi titik awal sejarah turunnya Al-qur’an yang kelak berhasil mendekonstruksi peradaban jahiliah menjadi peradaban Islami dengan penuh nuansa keilmuan.

Bisa dibayangkan bahwa Allah menurunkan kitab suci itu pada waktu yang tepat. Momen itu menjadi awal peralihan kehidupan hewani kepada peradaban orientatif sehingga tidak heran kalau terdapat keistimewaan khusus pada malam tersebut. dalam surat Addukhan : 3, dinyatakan bahwa Al-qur’an diturunkan pada malam yang barakah. Kemudian dalam ayat ke-4, 5 dan 6, dibahas bahwa pada malam itu pula, Allah menjelaskan segala urusan yang penuh hikmah, begitu juga Dia yang  mengutus para rasul, termasuk nabi Muhammad sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Persandingan Al-qur’an dengan lailatul qadr mengindikasikan hubungan erat yang berbasis kemuliaan. Al-qur’an diposisikan sebagai panduan yang menjadi pintu kesejahteraan bagi kehidupan umat manusia. Lailatul qadr dipersepsikan sebagai satu malam yang kebaikannya bisa mengungguli seribu bulan. Jelas bahwa keutamannya membawa kebahagiaan ukrawi yang tiada bandingannya. Dualitas keistimewaan itu merupakan pemberian Allah yang didambakan oleh setiap insan sehingga kebruntungan besarlah bagi orang yang bisa menikmatinya.

Mutiara hikmah

Terdapat banyak hikmah yang bisa digali dari inspirasi lailatul qadr. Tentunya ada beberapa hal yang bisa ditransfer ke dalam kehidupan nyata dengan memahami pesan implisit dalam fenomena lailatul qadr. Allah tidak menentukan tanggal atau malam yang tetap dalam turunnya lailatul qadr. Tanggal 17 Ramadhan yang menjadi awal turunnya Al-qur’an tidak bisa dijadikan parameter tetap tentang turunnya lailatul qadr. Hal itu sesuai dengan riwayat hadis yang diceritakan imam Bukhari bahwa nabi menengarai sepuluh terakhir bulan Ramadhan pada hitungan ganjil merupakan malam yang paling diharapkan sebagai lailatul qadr.

Ada proses perahasiaan yang memang disengaja oleh Allah. Hal ini terkait spirit umat Islam dalam “menghidupkan” malam-malam Ramadhan. Seandainya lailatul qadr ditetapkan pada malam tertentu, perhatian umat Islam hanya akan tertuju pada satu malam karena sudah dianggap lebih dari cukup. Senada dengan ini, Zamakhsyari dalam kitab kasysyaf-nya, menyatakan bahwa seandainya lailatul qadr ditentukan pada malam yang diketahui oleh semua orang, niscaya semua umat Islam akan berlomba-lomba untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan malam yang lain.

Kalau hal itu terjadi, tidaklah ada perbedaan antara orang-orang yang tekun beribadah yang berupaya keras mengisi malam-malam Ramadhan dengan ibadah, dengan orang yang hanya mementingkan kuantitas ganjaran pada lailatul qadr saja. Selayaknya, keutamaan semacam itu didapatkan oleh orang yang betul-betul shaleh dan tulus dalam menjalankan ibadah. Layaknya seorang pembantu yang melayani rajanya tanpa mengharapkan imbalan. Dia melakukannya dengan sepenuh hati karena merasa berhutang budi atas kebaikan yang diterima dari rajanya. Balasan materiil tidak terbersit di hatinya karena prioritasnya adalah pengabdian. Orang seperti inilah yang pantas mendapatkan penghargaan dari tuannya. Bisa disimpulkan bahwa dalam hal itu, termuat pendidikan keikhlasan dengan orientasi yang mengacu pada kualitas ibadah yang berkesinambungan, bukan hanya kuantitas yang didasarkan pada kepentingan sesaat.

Di antara hikmah yang bisa dipetik adalah pendidikan budaya “proses”. Tradisi instant yang sering menjadi budaya pragmatis disisihkan dalam peraihan lailatul qadr. Hal ini meniscayakan intensitas dan kontinyuitas yang tinggi bagi umat Islam dalam menghambakan diri kepada sang Pencipta. Disadari atau tidak, pembiasaan diri untuk berkonsistensi dalam beribadah akan menciptakan sebuah kesadaran yang tinggi bahwa di balik ganjaran ibadah, ada hal yang lebih penting, yakni perkenan Tuhan. Ketika seorang hamba sudah larut dalam keasyikan pengabdian, cinta menjadi dasar amalnya sehingga iming-iming tidak lagi diprioritaskan. Yang terpenting bagi dia adalah ridha ilahi sebagai balasan cinta sejatinya. Dengan begitu, akan terbangun sebuah keinginan kuat untuk tidak sekadar mementingkan harapan-harapan kesenangan semata, tetapi menikmati perkenan Allah yang merupakan hakikat kesenangan adalah tujuan utamanya. 

Selajutnya, tersimpan pesan kesabaran dalam menunggu datangnya lailatul qadr. Ada adagium bahwa pekerjaan paling membosankan adalah menunggu. Dalam hal ini, umat Islam dilatih untuk tetap setia merajut malam keutamaan yang tidak tentu. Bisa dibayangkan  bahwa menunggu hal yang pasti saja cenderung melelahkan, apalagi sesuatu yang tidak diketahui. Tentunya pekerjaan ini membutuhkan mentalitas yang tinggi untuk senantiasa mengharapkan dambaan yang tidak bisa ditebak. Namun, keberhasilan mendapatkannya akan mendorong seseorang untuk hidup lebih arif karena proses yang ditempuh betul-betul penuh pengorbanan. Wallahu a’lamu bisshawab.

*Aktif di Forum Komunikasi Santri Surabaya (FoKSA) serta mahasiswa kelas Internasional di Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya