Opini

Menyemarakkan Politik Hompimpa

NU Online  ·  Sabtu, 4 November 2017 | 02:02 WIB

Menyemarakkan Politik Hompimpa

Ilustrasi hompimpa (lintasgayo).

Oleh Aswab Mahasin

Akhir-akhir ini, wacana politik yang berkembang cenderung mengarah pada politik identitas—biasanya politik identitas terkait dengan isu etnisitas, agama, dan ideologi. Demo berjilid-jilid dan dipenjarakannya Ahok serta kebiasaan saling melapor di antara dua kubu adalah wujud menguatnya kembali politik identitas di Indonesia. Awalnya, saya kira akan berhenti setalah pemilihan Gubernur DKI Jakarta, ternyata tidak.

Fenomena tersebut masih menggelinding hingga sekarang—mungkin hingga 2019. Tidak menutup kemungkinan, pemilihan Gubernur Jawa Timur,Jawa Barat, dan pemilihan Presiden akan dihiasi dengan tontonan yang sama. Karena strategi politik identitas ini dianggap sukses. Pertanyaannya, apakah politik identitas akan membahayakan nasionalisme dan pluralisme di Indonesia? Coba Anda renungkan.

Dalam hal ini saya menganjurkan, agar kita memahami makna dari politik hompimpa. Politik hompimpa berbeda dengan politik identitas.Politik hompimpa bukan alternatif pengganti politik identitas, melainkan sebagai penyeimbang dari hiruk-pikuk politik identitas yang kaku dan cenderung “kurang dewasa”.

Sebelum lebih dalam memaknai politik hompimpa. Saya akan mengajak Anda untuk mengingat kembalikebiasaan kita ketika melakukan permainan tradisional.Sebelum bermain, biasanya kita mengawali dengan Hompimpa Alaihom Gambreng. Jika permainannya petak umpet, maka Hompimpa adalah jalan untuk menentukanorang yang akan menutup mata dan mencari teman-temannya yang “ngumpet”.

Dilakukan dengan cara menggoyang-goyangkan tangan lalu menunjukan bagian telapak tangan menghadap ke bawah atau ke atas. Hompimpa dilakukan minimal tiga orang. Jika Hompimpa dilakukan lebih dari tiga orang, maka akan ada putaran II, putaran III, sampai tersisa dua orang, lalu mereka pingsut, sampai mendapatkan satu orang.

Hompimpa adalah permulaan dari segalanya, di dalamnya mengandung unsur kesepakatan, keikhlasan, dan kepasrahan. Tidak ada yang protes dalam hompimpa, tidak ada kecurangan, dan tidak ada kesombongan. Semuanya disetarakan dalam dua kemungkinan, kalah dan menang—melalui media telapak tangan yang disepakati.

Memang, menentukan pemimpin tidak semudah hompimpa, berpolitik di Indonesia pun tidak segampang hompimpa. Karena hidup tidak semudah membalikan telapak tangan dari atas ke bawah—dari bawah ke atas—dan hompimpa identik dengan hal tersebut. Lucu jika dibayangkan, pemilihan Kepala Desa, Walikota, Bupati, Gubernur, sampai Presiden di pilih melalui jalur hompimpa. Bukan, bukan itu maksudnya. Melainkan filosofi/makna hompimpa yang harus kita serap.
 
Pendapat masyhur mengatakan, khususnya Zaini Alif (pengamat permainan tradisonal), makna bahasa dari Hompimpa Alaihom Gambreng adalah Hum, Hu, Huwa, berarti Tuhan. Hom Pim Pa Alaihom Gambreng, mempunyai arti “Dari Tuhan kembali ke Tuhan, Mari Kita Bermain”. Dari makna sejati tersebut, kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang kita nikmati di dunia ini adalah pemberian dari Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Dalam bahasa agamanya adalah ‘titipan Tuhan’, entah itu berupa jabatan, kesempatan menjadi Caleg, Cabup, Cagub, Capres, Cawapres, dan sebagainya. Merupakan anugerah Tuhan, semua orang belum tentu memiliki kesempatan tersebut.

Karena itu, kita harus mensyukuri nikmat yang telah diberikan Tuhan dengan cara menebarkan kebaikan dan kemanfaatan. Tidak menyalahgunakan jabatan, tidak berprilaku arogan dalam politik, dan tidak melakukan kampanye hitam (black campaign), menyebar fitnah, hoaks, menjatuhkan lawan dengan menghalalkan segala cara, mencerca etnisnya, sukunya, agamanya, dan sebagainya.

Politik hompimpa adalah politik yang menyejukkan, hompimpa secara makna berbanding lurus dengan makna demokrasi, “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.Antara demokrasi dan hompimpa memiliki nilai kesinambungan, dimana demokrasi diejewantahkan Hablu Min Annas sedangkan hompimpa merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya Hablu Min Allah. Kalau kita gabungkan kesadaran demokrasi bersamaan dengan kesadaran hompimpa maka politik damai, politik sejuk, politik saling menghormati, dan politik santun akan terlahir di bangsa ini.

Selain itu, politik hompimpa menggambarkan sikap demokrasi yang hakiki dan pancasila sejati, yaitu musyawarah mufakat, setiap orang yang terlibat di dalamnya mengakui dan menerima semua aturan permainan, tanpa menggugat apalagi menuntut. Jika ia kalah ia menjadi tim oposisi, jika ia menang ia menjadi tim koalasi, dan dilanjutkan dengan permainan yang sehat, tanpa menekan oposisi, dan tanpa mengolok-ngolok koalisi.

Berbeda dengan tradisi politik praktis kita sekarang—seringkali menampilkan tontonan membingungkan, baru saja aturan diumumkan—sudah melanggar, baru saja proses kampanye dimulai—sudah colong start, baru saja masa kampanye ditutup—serangan fajar, baru saja terpilih—saling hajar, baru saja dilantik—menyalahi jabatan (korupsi). Dan prosesnya pun cukup menegangkan, tiada kesantunan, tiada kesejukan, yang ada manuver-manuver perpecahan.

Begitulah yang mengakibatkan kebiasaan politik kita tidak sehat, semuanya untuk kekuasaan dan kepentingan, tidak menyadari bahwa sesungguhnya hidup ini hompimpa alaihom gambreng (dari Tuhan kembali ke Tuhan, Mari Kita Bermain).

Dengan demikian, kesadaran hompimpa harus ditumbuhkan pada setiap politisi. Kenapa? Politik identitas jika diliarkan mempunyai potensi rawan. Sistem persaudaraan sesama manusia di Indonesia yang sudah lama rusak semakin terancam rusak, tidak hanya sesama Muslim, melainkan seluruh elemen—mulai dari etnis, suku, tradisi, budaya, perbedaan agama, dan sebagainya.

Meminjam kalimat Buya Syafi’i Ma’arif, “Politik identitas itu saling memonopoli kebenaran, sebuah keangkuhan teologis/politis yang muaranya satu: menghancurkan peradaban dengan memakai lensa kaca mata kuda.” Sedangkan efek politik identitas menurut buku yang saya baca setidaknya melahirkan tiga bentuk kedzoliman/kekerasan.

Pertama, kekerasan fisik seperti pengrusakan, penutupan tempat ibadah, seperti gereja dan masjid maupun tindakan kekerasan fisik lainnya yang menyebabkan obyek kekerasan tersebut menjadi terluka, trauma, maupun terbunuh. Kedua, kekerasan simbolik, yang dapat berupa kekerasan-kekerasan semiotik seperti berbentuk tulisan-tulisan atau ceramah-ceramah atau ujaran-ujaran kebencian yang bernada melecehkan etnis, agama, dan sebagainya. Ketiga, kekerasan struktural, yang berbentuk kekerasan dilakukan oleh negara, baik melalui perangkat hukum maupun aparatnya sendiri. (Siti Musdah Mulia, Politik Identitas: Ancaman Terhadap Masa Depan Pluralisme Indonesia, dalam buku, Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, [Paramadina: Jakarta, 2010], hlm. 44)

Efek dari politik identitas sangat menakutkan. Karena itu, sikap kesepakatan yang diajarkan politik hompimpaharus kita resapi sungguh-sungguh, khususnya kebersamaan pada setiap individu. Memajukan bangsa ini tidak bisa sendiri, sekelompok, satu organisasi, dan satu partai. Dibutuhkan usaha bersama-sama dengan membangun paradigma rahmatan lil ‘alamin atau hompimpa.

Politik hompimpa bukanlah alur politik yang mengatasnamakan agama sebagai pijakan, tetapi mengingatkan manusia sebagai homo spiritus (makhluk spiritual) untuk memahami keimanan agamanya secara lebih mendalam. Apalagi kita sering menyeret-nyeret Tuhan pada saat proses kampanye dan bersumpah jabatan di bawah Kitab Suci, apakah kita sama sekali tidak punya rasa malu kepada Tuhan yang telah menciptakan kita, sehingga kita berlaku seenak wudel kita sendiri menjadikan Tuhan sebagai bemper kepentingan kekuasaan kita? Menyitir bahasa Weber, “meluruhnya tuah Tuhan”.

Kebiasaan berpolitik seperti itu yang harus dirubah, meminjam istilah Ibnu Khaldun kadar kita sebagai manusia masih dalam taraf “mata” (melihat saja), sehingga orientasi politik kita hanya kepentingan duniawi semata—kita belum sampai pada taraf “telinga” mendengar, belumjuga merasa “hati”, apalagi mencapai keseimbangan hubungan linear-siklus. Sebab itu, seruan rakyat kita biarkan, nasib rakyat kita tinggalkan, dan kepentingan rakyat kita bungkam. Fabi-Ayyi Ala-i Rabbikuma Tukazziban (Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?)

Tidak lama lagi, satu sampai dua tahun ke depan (tepatnya 2019) kita akan merayakan pesta demokrasi akbar, saya hanya bisa berdoa, semoga bangsa kita diselamatkan dari perpecahan-perpecahan. Kita harus sama-sama menyadari, keuntuhan bangsa ini lebih utama dibandingkan berebut kuasa sementara. Politik hompimpa ‘mungkin’ bisa menjadi jalan sunyi, di antara kebisingan politik gaduh.

Kita bisa belajar dari kisah kaum Nabi Nuh yang terkenal sewenang-wenang. Martabat dan harga diri diukur dari banyaknya harta, mereka menjadi sombong, memperlakukan orang semena-mena, tanpa rasa takut. Seruan kebaikan Nabi Nuh tak mendapat sambutan positif, mereka acuh. 

Tiba saatnya Allah menurunkan bencana begitu hebatnya, Allah memerintahkan langit dan bumi memancarkan air dari berbagai penjuru, air dari langit dan bumi berkumpul terjadilah air bah yang dahsyat. Dan bagi kaum-kaum yang beriman dan taat kepada Allah, mereka terselamatkan.
 
Ya, Allah lindungilah mereka dari iklim zaman yang memburamkan penglihatan mereka. Jagalah mereka dari musuh-musuh-Mu yang menjualbelikan angka-angka dan suara mereka. Temanilah mereka dalam melayani kaum yang Engkau merasa heran kepadanya, sebagaimana firman-Mu, “Aku heran kepada mereka yang meyakini maut, tetapi tetap saja mantap menyombongkan diri. Aku heran kepada mereka yang percaya kepada Hari Perhitungan, tetapi tetap saja sibuk menumpuk kekuasaan dan harta benda. Aku heran kepada mereka yang tahu persis akan masuk pintu kubur, tetapi tetap saja tertawa-tawa karena merasa senang di dunia. Aku heran kepada mereka yang yakin akan akhirat, tetapi tetap saja tenggelam di kursi dunia. Aku heran kepada mereka yang mengerti kefanaan dunia, tetapi terus saja menambatkan hati padanya...” (Emha Ainun Nadjib, Gelandangan Di Kampung Sendiri: Pengaduan Orang-orang Pinggiran, [Bandung: Bentang, 2015], hlm. 104).

Penulis adalah Pembaca Setia NU Online.

*) Catatan: penulisan “alaihom” dalam lanjutan hompimpa berbeda-beda, ada alaium, alaihum, dan alaihom. Dalam tulisan ini menggunakan yang alaihom. Dengan alasan, yang biasa diucapkan penulis.