Opini

Menyemai Kedewasaan dalam Beragama Melalui PAI di Sekolah

NU Online  ·  Rabu, 11 Oktober 2017 | 21:03 WIB

Menyemai Kedewasaan dalam Beragama Melalui PAI di Sekolah

Anak-anak sekolah (foto: isknews).

Oleh Suwendi

Di bulan Oktober ini, tepatnya tanggal 9 hingga 14 Oktober 2017, Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam menyelenggarakan sejumlah even berskala nasional, di antaranya adalah Pekan Keterampilan dan Seni Pendidikan Agama Islam (Pentas PAI) yang bertempat di Taman Sulthanah Ratu Shafiatudin Banda Aceh, Provinsi Aceh. Pentas PAI ini diikuti oleh seluruh siswa sekolah, mulai Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas dari 34 provinsi di Indonesia. 

Mereka akan mengikuti sejumlah even perlombaan yang mengasah atas pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan keagamaan dan kebangsaan yang telah diperoleh, khususnya, selamamengikuti mata Pelajaran Agama Islam (PAI) di sekolah. Pentas PAI yang kedelapan ini mengambil tema “Merawat Keberagaman, Memantapkan Keberagamaan”.

Even ini merupakan salah satu upaya Kementerian Agam dalam memperkuat PAI di sekolah, di samping terdapat upaya lain yang telah nyata dan sedang dilakukan, seperti program Bina Kawasan, Pengajaran Islam Rahmatan Lil’alamin, dan lain-lain. Memperkuat PAI di sekolah, termasuk di dalamnya melalui Pentas PAI, menurut hemat penulis, memiliki makna yang strategissetidaknya untuk menjawab tiga hal berikut. 

Pertama, merevitalisasi agama sebagai bagian dalam memperkokoh nilia-nilai kebangsaan di kalangan siswa sekolah. Agama didorong untuk menjadi penyanggah dalam meneguhkan komitmen kebangsaan di kalangan siswa sekolah, sehingga militansi kebangsaan di kalangan siswa sekolah tidak bisa dipisahkan dari sikap dan keyakinannya dalam beragama. Meneguhkan akan komitmen kebangsaan atas dasar agama di kalangan siswa ini, diakui belakangan menjadi sebuah kebutuhan mendesak. 

Sebab, fenomena lunturnya semangat kebangsaan di kalangan para siswa sekolah, yang sebagian didasarkan atas pemahaman keagamaannya, menjadi keprihatinan tersendiri.

Data yang diperoleh dari hasil Penelitian Wahid Institute bertajuk “Bagaimana Potensi Radikalisme di Kalangan Aktivis Organisasi Rohani Islam (Rohis) di Sekolah-sekolah Umum” (2016) dengan 1.423 responden yang terdiri atas para aktivis Rohis menyajikan bahwa pada aspek pandangan dan sikap terhadap isu-isu dalam pidana (jinayah) dan politik Islam (siyasah) ditemukan 33%responden mengartikan jihad adalah berperang dan mengangkat senjata melawan orang kafir; 78% mendukung ide khilafah, 17% mendukung orang yang murtad dibunuh, 62% setuju orang yang berzina dihukum rajam hingga mati, dan 58% mendukung hukum potong tangan bagi pencuri, serta 1% sangat setuju dan 3% setuju bahwa memberi hormat bendera haram dilakukan.

Pada aspek peta dukungan terhadap pelaku dan aksi terorisme ditemukan bahwa 33% meyakini Amrozi, Imam Samudera, Abu Bakar Baasyir, Abu Naim dan Oman Abdurrahman merupakan contoh muslim yang mempraktekkan jihad sejati; 37% meyakini Osama bin Laden mati syahid; 10% setuju terhadap Bom Sarinah; dan 6% mendukung ISIS. Aspek partisipasi bergabung ke Suria, Palestina, dan Poso ditemukan 60% siap bergabung saat ini dan 68% akan bergabung di masa akan datang.

Temuan di atas menujukkan betapa sebagian siswa di sekolah, utamanya pengurus Rohis, menghadapi problem kebangsaan dan keagamaan yang memprihatinkan. Untuk itu, melakukan revitalisasi peran agama dalam mendukung semangat nasionalisme kebangsaan di kalangan siswa sekolah mutlak dan segara dilakukan. Langkah dan kebijakan untuk menempatkan kesadaran bahwa Indonesia sebagai negara yang religius, bukan negara agama atau bukan negara sekuler, juga perlu ditanamkan. Demikian juga, gerakan menumbuhkan kesadaran bahwa nilai-niai keislaman di kalangan siswa juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan kita menjadi prioritas bersama. 

Kedua, membangun kesadaran akan keragaman baik dalam budaya, bahasa, etnis, dan agama sebagai karateristik Indonesia penting dilakukan. Keragaman ini merupakan fitrah yang Allah berikan sebagai kekayaan yang perlu dipertahankan dan, sekaligus, diberdayakan. Keragaman tidak kemudian dinafikan, tetapi dirawat dan dilestarikan sehingga mampu menciptakan kedamaian dan keharmonisan. Tentu, ini merupakan “pekerjaan” yang tidak mudah. Jika tidak mampu mengelolanya dengan baik maka akan terjadi benturan-benturan. 

Di sisi lain, Indonesia merupakan negara yang lekat dengan nilai-nilai religius-keagamaan. Meski bukan negara agama, kehidupan kebangsaan Indonesia dipenuhi dengan norma-norma keagamaan. Dalam konteks ini, menghadirkan dan memaksimalkan peran agama dan nilai-nilai agama dalam merawat kesadaran atas keragaman di kalangan siswa sekolah tampaknya menjadi pintu masuk yang efektif. Siswa di sekolah perlu dimantapkan pemahaman dan kemampuannya dalam mengartikulasikan agamasebagai perekat sosial di tengah-tengah keragaman.

Ketiga, meneguhkan kontribusi PAI dalam membangun kedewasaan dalam beragama. Even Pentas PAI dengan tema “Merawat Keberagaman, Memantapkan Keberagamaan” menjadi pilihan yang tepat. Kondisi siswa di sekolah, sebagaimana ditemukan dari hasil studi Wahid Institut di atas, perlu untuk dilakukan kesadaran bahwa kita hidup di tengah negara-bangsa Indonesia dan kesadaran bahwa ternyata ada kebenaran agama lain menurut pengikutnya, selain kebenaran dalam agama yang kita anut.

PAI di sekolah mendorong untuk mengajarkan bahwa kita adalah orang Islam yang berwarganegara Indonesia sehingga artikulasi keislamannya harus sesuai dengan nilai keindonesiaan. Demikian juga, kesadaran bahwa Indonesia itu plural. Di samping kita yang beragama Islam, ada penganut lain yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan lain-lain. 

Kita meyakini bahwa kebenaran dalam agama yang kita anut merupakan sebuah keniscayaan. Namun, kebenaran di agama lain yang diyakini oleh patut penganutnya juga patut dihormati. Oleh karenanya, secara sosialkita harus menghargai atas kebenaran yang dianut mereka itu.Menghargai orang lain merupakan ajaran Islam itu sendiri.

Merevitalisasi agama dalam konteks kebangsaan dan merawat keragaman di kalangan siswa di sekolah merupakan domain dari pembelajaran PAI. Di banding dengan mata-mata pelajaran lainnya, PAI cenderung memiliki “hak” dan sekaligus “kewajiban” untuk mampu memposisikan agama pada tingkat yang semestinya. 

Kesuksesan dalam pembelajaran PAI di sekolahmerupakan modal dalam menatap masa depan Indonesia yang jauh lebih baik. Pasalnya, ada sekitar 80% siswa yang mengenyam pendidikan di sekolah dari seluruh siswa di Indonesia, yang mengikuti pelajaran PAI. Ini artinya, PAI memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan watak anak bangsa ke depan. Keberhasilan dalam menyemai kedewasaan dalam beragama merupakan langkah yang harus dilakukan melalui PAI. Di sinilah peluang dan sekaligus tantangan bagi guru, pimpinan sekolah, dan pemerintah untuk mampu menghadirkan agama melalui materi-materi PAI sebagai “ruang titik temu” kesadaran kebangsaan dan keragaman itu.

Dalam konteks pengajaran PAI di sekolah, perlu ditekankan bahwa agama bukan hanya mengajarkan tentang agama itu sendiri, tetapi juga bagaimana agama itu menjadi instrumen dalam meneguhkan kohesi sosial dan karakter kebangsaan kita. Agama harus kontributif dalam membangun bangsa, dan sekaligus hadir sebagai solusi atas problem-problem sosial. Di sinilah yang perlu ditekankan oleh seluruh stakeholder pendidikan di sekolah agar menempatkan dan mengartikulasikan agama pada posisi yang semestinya.

Untuk meraih itu, tentu diperlukan kematangan berfikir, pemahaman keagamaan, hingga keterampilan teknis-operasional secara komprehensif dan genah (sesuai) yang dimiliki oleh seluruh stakeholder di sekolah menjadi penting dilakukan. PAI bukan hanya memompa semangat keagamaan yang bersifat elementer dan emosional semata, tetapi lebih dari itu, yakni menempatkan dan memfungsikan agama yang senantiasa berkorelasi dengan dinamika kehidupan sosial kebangsaan segera ditanamkan. Semoga.

Penulis adalah Pegiat Pendidikan Islam.