Opini ISLAM NUSANTARA DI EROPA (11)

Menyambung Rasa Cinta Indonesia

NU Online  ·  Ahad, 8 April 2018 | 01:15 WIB

Menyambung Rasa Cinta Indonesia

Ki Ageng Ganjur di Belanda. (Istimewa)

Oleh Al-Zastrouw Ngatawi

Sore itu suasana Kota Den Haag benar-benar cerah. Selama lebih sepuluh hari kami berada di Belanda baru sore itu kami melihat matahari bersinar cerah, meski hembusan angin masih sedingin udara kulkas.

Baru kali ini kami benar-benar merasakan nikmatnya sinar matahari yang hangat. Kami baru sadar betapa selama ini kami talah menyia-nyiakan dan mengabaikan sinar matahari yang melimpah di negeri kami.

Satu persatu para diaspora Indonesia di Belanda dan para tamu undangan lainnya mulai berdatangan ke aula Nusantara Kantor KBRI di Den Haag. Mereka hadir untuk menyaksikan "Conclusion Performance Art of Religiius Musik Ki Ageng Ganjur". Sore itu memang merupakan  pagelaran pamungkas Ki Ageng Ganjur setelah melakukan roadshow Islam Nusantara di Eropa.

Menjelang pukul 6 sore, aula yang berkapasitas 200-an tempat duduk sudah penuh sesak. Mereka saling bertegur sapa, bercerita dan bercengkerama sambil menikmati makan malam yang disajikan oleh KBRI.

Suasana terlihat akrab dan bersahabat. Para pejabat, akademisi, kiai, mahasiswa sampai buruh dan kuli berbaur jadi satu tanpa ada sekat yang menghambat. Rasa gembira dan bahagia terlihat di wajah mereka. 

Menjelang pukul 7 sore acara dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Suara lantang dan penuh semangat terdengar saat menyanyikan lagu kebangsaan ini. Rasa cinta tanah air dan rindu kampung halaman seolah berbaur dan tertumpahkan saat menyanyikan Indonesia Raya. Setelah itu dilanjutkan dengan sambutan PCI NU Balanda yang disampaikan Gus Fikri.

Dalam sambutannya, Gus Fikri menyatakan bahwa tepat setahun lalu di gedung KBRI ditandatangani kesepakatan Den Haag oleh beberapa Duta Besar RI untuk negara Eropa dan Afrika dengan disaksikan oleh Pengurus Besar NU. Isi  kesepakatan itu di antaranya menyampaikan dan menyebarkan Islam rahmatan lil 'alamin di Eropa. Islam yang damai, toleran, menghargai perbedaan, dan menyenangkan.

Roadshow Islam Nusantara ke Eropa yang dilakukan oleh Ki Ageng Ganjur kali ini merupakan bagian dari realisasi kesepakatan tersebut. Selanjutnya PCINU berharap agar event-event seperti ini bisa terus dilaksanakan agar wajah Islam yang sejuk dan damai bisa lebih terlihat di kalangan masyarakat Barat, khususnya di Eropa.

Sambutan berikutnya disampaikan oleh Duta Besar RI di Den Haag, Bapak I Gusti Agung Wesaka Puja. Beliau menyampaikan bahwa Ki Ageng Ganjur inilah duta yang sebenarnya, karena bekerja dan berkarya secara nyata untuk menyampaikan misi dan memperkenalkan kebudayaan Indonesia dalam kemasan Islam Nusantara.

Kalau Duta Besar itu sebenarnya hanya manajer dan aparat yang bertugas memfasilitasi kegiatan nyata yang dilaksanakan oleh para duta di bidangnya masing-masing. Gaya bicara Pak Dubes Puja yang santai dan penuh canda namun berbobot membuat suasana menjadi cair dan akrab. 

Suasana menjadi tenang dan khusyu' ketika Ganjur mulai tampil membawakan lagu-lagu shalawat. Penonton menyimak dan menikmati setiap bait shalawat dengan ekspresi wajah terpesona. Mereka hanyut dalam alunan nada dan irama. Shalawat Nahdliyah dan syair Tombo Ati yang tampil membuka pagelaran malam itu langsung menyedot perhatian para pengunjung.

Seperti biasa, saat midley lagu-lagu Nusantara dinyanyikan penonton langsung menyahut. Suasana khusyu' saat lagu shalawat, tiba-tiba berubah menjadi teriakan heroik yang penuh semangat. Tak hanya ikut bernyanyi, penonton bergoyang bersama mengikuti irama.

Suasana menjadi tambah heboh ketika Mell Shandy tampil membawakan syair "Ya Badratim" dalam versi rock. Teriakan histeris penonton terdengar saat Mell Shandy memanggil Mas Didik Sucahyo untuk tampil melakukan jamp session dengan Ganjur. Mas Didik adalah mantan pemain bass grup band Elpamas yang tinggal di Belanda sejak 1998.

Langsung saja Mell Shandy menggebrak dengan album lamanya yang legendaris "Bianglala". Wajah-wajah bahagia bercampur haru saat lagu Bianglala dinyanyikan. Mereka seolah terseret kembali pada masa lalu yang penuh kenangan.

Ada beberapa penonton yang termangu dengan mata berkaca-kaca sambil bibirnya berucap lirih mengikuti syair lagu Bianglala. Aku tak tahu kenangan apa yang berkecamuk dalam pikiran orang tersebut, tapi yang kulihat dia sangat menghayati dan menikmati.

Setelah itu susana menjadi semakin hangat dan meriah. Lagu Bento, Sweet Child O Mine, Tua Tua Keladi meluncur dengan deras, disambut teriakan histeris para penonton. Mereka tak hanya ikut bernyanyi tetapi juga bergoyang bersama.

Melihat keadaan yang makin meriah, Pak Dubes Puja tidak mau ketinggalan, beliau tampil menyumbangkan suara dengan membawakan dua lagu; Ayat-ayat Cinta dan Takut Sengsara. Tak mau kalah dengan Pak Dubes seorang perempuan maju ke panggung dan menyanyikan lagu Laksmana Raja di Laut.

Untuk menurunkan suasana, Ki Agung Ganjur kembali menyanyikan lagu-lagu religi; Barakallah dan Demi Masa. Pagelaran malam itu ditutup dengan shalawat mahallul qiyam.

Melihat antusias penonton, sekali lagi kami merasa bangga dan bahagia. Kami yakin yang terjadi malam itu bukan sekadar ekspresi kerinduan pada kampung halaman, tetapi juga bentuk kecintaan mereka pada Indonesia.

Aku tahu mereka sangat mencintai Indonesia dan bersyukur malam itu kami bisa menyertai mereka, para diaspora Indonesia di Belanda, mengekspresikan dan menyambung cinta pada Indonesia. Danke well...!

Penulis adalah pegiat budaya, Dosen Sekolah Pascasarjana UNUSIA Jakarta. Tulisan ini merupakan catatan perjalanan Islam Nusantara Roadshow to Europe bersama Ki Ageng Ganjur.