Opini

Menjadi Pembelajar Sejati

NU Online  ·  Senin, 9 Juli 2018 | 22:00 WIB

Oleh: Ajang M Abdul Jalil

Sebuah proses dari tidak tahu menjadi ingin tahu, semakin tahu, merasa semakin ingin tahu dan tidak merasa sudah tahu adalah sebuah karakter yang dimiliki oleh seorang pembelajar sejati.

Belajar adalah sebuah proses pengembangan kemampuan yang akan mengantarkan para peserta didik agar menjadi manusia yang seutuhnya. Belajar adalah cara untuk mencapai cita-cita. Namun, faktanya 'ritual' belajar saat ini malah menjadi sebuah ritual yang sangat menjemukan, menakutkan dan memuakkan. 
 
Dalam gambaran imajinasi para pelajar, yang ada adalah guru galak, serius, papan tulis yang penuh tulisan, buku tebal, diktat kuliah, mengetik di depan laptop. Sehingga, kerap kali hal tersebut membuat para pelajar kumeok memeh dipacok, kalah sebelum berperang, membleh saat kegiatan belajar mengajar.

Padahal, sejatinya hal tersebut menjadi style atau gaya para pelajar itu sendiri. Menyenangi baca buku-buku, ketagihan menulis, menjadi pecandu diskusi, dan tertuntut pribadi untuk mengamalkan ilmu yang telah didapat. 

Ironisnya, hampir setiap pelajar lebih berbahagia ketika mendengar libur daripada giat belajar. Segala cara dilakukan untuk menghindari kegiatan tersebut. Bahkan yang lebih parah, mereka lebih memilih sakit daripada harus mengikuti kegiatan proses mencapai cita-cita tersebut. 

Sebuah mindset yang kini diderita bangsa ini adalah fenomena menyontek. Mnyontek seakan-akan menjadi budaya yang mesti terjadi. Sudah bukan rahasia lagi bahwa contekan adalah rutinitas tahunan yang terjadi banyak di berbagai sekolah. 

Hal ini patut menjadi sorotan yang sangat penting untuk disikapi lebih serius oleh pemerintah. Menyontek berdampak sangat besar bagi pembentukan mental bangsa. Bayangkan saja, jika dari kecil sudah terbiasa menyontek sehingga menjadi ahli, lama kelamaan menjadi skala besar, budaya plagiarisme tidak akan bisa dihindari.

Dalam skala yang lebih besar dapat dianggap biasa fenomena bisnis gelap pembuatan makalah, jual beli skripsi dan tesis, onani intelektual. Dampak dari semua itu adalah pemerkosaan jabatan cendekiawan yang akan menghasilkan para pendidik dan generasi yang tidak berkualitas karena di proses dengan cara karbitan (contek menyontek). 

Sebuah pepatah yang pernah dikatakan oleh Nelson Mandela, "Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan itu Anda dapat mengubah dunia." Pepatah itu berarti pendidikan adalah faktor utama yang menunjukkan maju mundurnya sebuah peradaban. Bagaimana bangsa ini akan maju, sementara pendidikannya saja jauh dari berkualitas, seperti fenomena menyontek tersebut,

Belum lagi tata kelola sekolah yang banyak berkutat dalam masalah, sehingga kurang memerhatikan wilayah praktis kegiatan belajar di lapangan. Lalu masalah aktualisasi pembelajaran yang saat ini stagnan, padahal seharusnya hal ini harus diperhatikan secara seksama karena berdampak besar. 

Pendidikan idealnya menyuguhkan aktualisasi yang akurat dengan keadaan psikologis, sosiologis, geografis dan antropologis masa kini. Dengan itu ilmu-ilmu yang disajikan dari setiap institusi berisi pemecahan masalah yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat saat ini. Pengentasan kemiskinan, misalnya. Relevansi teori mata pelajaran dengan kebutuhan perlu adanya keselerasan yang akurat agar lembaga pendidikan mendapat peran dalam menentukan nasib bangsa.
 
Sindrom yang  menjangkiti para pelajar adalah adalah kegiatan belajar hanya dilakukan saat menjelang ujian. Jika jauh dengan jarak itu maka kegiatan belajar sering dijauhi bahkan dihindari. Sebuah pertanda kejemuan akut yang dihasilkan dari sistem yang stagnan. Sudah seharusnya setiap pelajar memilih dan menemukan metode belajar yang cocok dengan karakter individu. Diakui atau tidak, setiap orang mempunyai cara tersendiri yang lebih disukai dalam mendapatkan ilmu.

Dalam buku Quantum Learning, Bobbi Depote dan Micke Hernacki menyebutkan kategori atau metode belajar secara garis besar terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu visual, auditorial dan kinestetik. Ketiga hal itu, dengan menyesuaikan ritme belajar yang sistematis dan akurat sesuai karakter pribadi, kiranya akan memberikan dampak dan hasil yang signifikan, sehingga membuahkan pemahaman yang lebih maksimal.

Bayangkanlah, seandainya budaya menyontek atau juga yang sama mengerikan yaitu SKS atau sistem kebut semalam yang hanya dilakukan saat ujian tiba, sempurnalah sebuah kemerosotan intelektual yang tengah terjadi di negara ini.

Lain halnya jika sistemasi belajar ini bisa diterapkan secara massif dan total maka sebuah pemahaman yang ditangkap akan mampu diandalkan saat ujian tiba. Juga bisa digunakan untuk memecahkan setiap permasalahan yang dialami didunia nyata, karena terbangun dengan sistematis. Materi yang diajarkan bukan hanya sebagai monumen ilmiah saja yang ketika terjun ke dunia nyata menjadi tak berarti apa-apa, tetapi menjadi solusi tepat guna dan tepat sasaran. 

Setelah lulus jenjang pendidikan, kegiatan belajar tidaklah berhenti. Orang yang masih terus belajar usai lulus dari pendidikan, akan menjadi seorang pembelajar sejati. Ia belajar dengan mengeja kehidupan dan terbiasa melakukan eksperimen-eksperimen sendiri di dunia nyata. Ia terbiasa menghadapi masalah dan mencarikan solusi dari setiap persoalan yang dihadapi.

Fenomena saat ini adalah setelah lulus dari jenjang pendidikan, orang seperti kuda lepas tina gedogan; kuda lepas dari kandangnya. Mereka melakukan aksi balas dendam dengan menjauhi segala aktivitas yang berbau belajar semisal membaca dan menulis. Buku-buku LKS dan buku paket yang dulu menjadi sumber utama dengan setia dibawa ke mana-mana, kini hanya menjadi sekedar tumpukkan barang bekas yang siap dijual di pasar loak atau hanya menjadi terusan dari pemantik api ketika pertama kali menyalakan tungku, seperti di kampung-kampung di pelosok desa. 

Seharusnya buku-buku tersebut menjadi pegangan dan bahkan menjadi pedoman untuk hidup sehingga menghiasi dinding rumah yang elok dipandang. Buku-buku dibaca ketika menemukan permasalahan hidup yang sebenarnya. Pelajar sejati akan memuliakan dan menyayangi buku-buku tersebut, menyenangi aktivitas membaca, kecanduan menulis dan berbagai aktivitas lain yang erat kaitannya dengan mengasah otak dan berbau literasi. 

Pelajar sejati tidak harus melakukan sebuah pencitraan yang menunjukkan dirinya bisa, bahkan tidak perlu terjangkit dengan virus narsisme seperti yang tengah mendera umat manusia zaman now. Pelajar sejati adalah setiap mereka yang menjadikan kegiatan belajar sebagai budaya dan ritual yang mesti dilakukan sehari-hari, menjadi kewajiban, tuntutan di setiap waktu. Menjadikan senam otak yang akan melatih kerja pikiran, serta menjadikan ilmu sebagai makanan pokok ruhani.

Pelajar sejati adalah yang senantiasa berdzikir tanpa henti, yang menjadikan buku sebagai tasbihnya. Sikap pelajar sejati itulah yang disinyalir oleh Rasulullah saw dalam salah satu hadits, Uthlubuu al-ilma min al-mahdi ila al-lahdi. "Jadilah seorang pembelajar sejati." 

Penulis adalah Koordinator Departemen Dakwah dan Kajian PC IPNU Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.