Opini

Menguji Kesungguhan Berkurban

Sen, 20 Agustus 2018 | 20:00 WIB

Oleh Ahmad Yahya

Mulai Rabu (22/8) hingga Sabtu (25/8) mendatang, umat Islam melaksanakan penyembelihan hewan kurban, dalam rangka merayakan Idul Adha. Sejatinya perayaan Hari Raya Idul Adha tidak semata-mata memiliki dimensi makna teologi sebagai ibadah untuk mendekatkan diri manusia kepada Sang Khalik. 

Justru Idul Kurban alias Idul Adha tersebut lebih melaksanakan pada pemunculan kesadaran batin manusia gemar berjihad sosial. Maksudnya, melalui ritual penyembelihan hewan kurban itu manusia diajak untuk semakin peduli pada nasib fakir miskin dan pihak-pihak yang lemah.  

Dalam peristiwa perintah menyembelih Ismail kepada Nabi Ibrahim, tak siapa pun menyangkal, perintah menyembelih anak sendiri adalah suatu yang mengerikan, berat dan nyaris mustahil dilaksanakan. Namun tidak bagi nabi ulul azmi itu. Padahal, lamanya usaha dan penantian untuk memperoleh anak, Ismail, melebihi umur umumnya umat Nabi Muhammad SAW. 

Tuhan hanya hendak melihat kesungguhan komitmen manusia atas perintah-Nya. Buktinya, begitu Ismail disembelih Tuhan menggantinya dengan domba. 

Perintah menyembelih Ismail dan digantikan dengan domba banyak menyimpan makna. Dalam Tafsir Al-Misbah-nya, Quraish Shihab menafsirkan ayat yang menceritakan peristiwa saat Ibrahim menyembelih anaknya dan digantikan dengan domba sebagai ujian terhadap Ibrahim untuk menguji kecintaanya terhadap Allah. Di samping itu ternyata Allah ingin mendekonstruksi tata cara berkorban kala itu. 

Kesungguhan Berkurban
Andai manusia memiliki kesungguhan berkurban layaknya Nabi Ibrahim atas Ismail. Berkurban menyingkirkan segala kekhawatiran, kegundahan, serta memupuk prasangka baik pada Tuhan. “Niscaya kemulian dan kebahagiaan keloktif akan datang.” 

Namun sayang, manusia kadang cukup berani. Bahkan kepada Tuhannya pun ia berani marah. Na’udzubillah.

Sebetulnya Tuhan menyuruh berkorban tidak hanya pada era Nabi Ibrahim tetapi semenjak Nabi Adam perintah itu sudah ada. Peristiwa ketika anak Adam disuruh berkorban, yakni Habil dan Qobil, adalah awal bagaimana perintah berkorban dimulai. Meskipun dalam konteks peristiwa yang melahirkan ihwal berkorban jelas berbeda dengan berkorbannya Nabi Ibrahim. 

Nabi Ibrahim hidup pada masa persimpangan pemikiran manusia menyangkut pengorbanan manusia kepada Tuhan. Ketika itu hampir di seantero dunia, masyarakat manusia rela mempersembahkan manusia sebagai sesaji kepada Tuhan yang disembah. Di Mesir misalnya, gadis cantik dipersembahkan kepada Dewa Sungai Nil. Di Kan’an Irak, yang dipersembahkan kepada Dewa Baal adalah bayi, berbeda dengan Suku Aztec di Meksiko, mereka mempersembahkan kepada Dewa Matahari, jantung dan darah manusia.  

Demikianlah dalam berbagai tempat di bumi ini, termasuk di Jawa juga dikenal korban yang mempersembahkan manusia untuk sesembahannya seperti kebiasaannya Suku Tengger kala itu dengan melempar manusia ke kawah Gunung Bromo. Legenda tentang asal usul padi yang dipercayai sebagai penjelmaan Dewi Sri. Tatkala itu Sang Dewi merelakan dirinya sebagai persembahan dewa karena masyarakat dilanda paceklik dan para dewa meminta mensyaratkan korban manusia jika ingin paceklik ini segera berakhir.  

Makna berkurban adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. “Berkurban” itu berarti kesungguhan manusia dengan menyerahkan segalanya kepada Tuhan Sang Pencipta. Dengan cara berkurban manusia tersebut diajarkan untuk berbagi kepada para mukmin lain, yang pastinya mereka yang kurang mampu. 

Dengan berkurban keihlasan dari manusia itu pastinya diuji, diuji dari sifat rakus dan tamak akan harta dunia yang mereka senangi. Kurban itu berarti memberikan apa yang telah kita cintai (duniawi) serta apa yang kita sayangi, dalam hal ini adalah harta yang kita miliki, yakni dengan cara berkurban tersebut. 

Berkurban adalah salah satu amalan kita yang dapat meningkatkan kepedulian sosial terhadap sesama. Apabila kita termasuk orang yang cukup dalam harta, hendaknya kita menyisihkan sebagian harta kita untuk berkurban dimana kemudian berkurban tersebut dibagikan kepada orang-orang yang lebih membutuhkan. 

Sehingga perlu ditumbuhkan dan dipelihara menjadi sebuah kepribadian. Oleh karenanya sikap dermawan dapat dilatih dengan berkurban. Harta kita tidak akan habis jika digunakan di jalan Allah.. 

Korban yang kita lakukan dengan frekuansi setiap tahunnya, dengan berapa banyak hewan yang kita jagal bukanlah festival, pesta rakyat yang meriah dengan peyembelihan sapi, kambing, maupun unta terus meriah dibagi-bagikan dan ramai-ramai pula memasak dagingnnya.

Sekali lagi, Idul Kurban bukan pesta tetapi sebuah momentum yang sangat mendalam dan sarat dengan ibrah. Jika kita mampu meyembelih binatang seharusnya kita juga mampu menyembelih sifat kebinatangan kita. Zulhijah adalah maqom pertama untuk menghijrahkan nafsu-nafsu rendah manusia : menghijrahkan nafsu hewaniyah, menuju insaniyah dan mencapai puncak maqom cahaya yakni mencercap akhlak Tuhan (tahalluq). Selamat hari raya Idul Adha. Wallahu a’lam.