Opini

Menghidupkan Toleransi, Membangun Kesejahteraan

NU Online  ·  Ahad, 25 Desember 2016 | 08:30 WIB

Oleh Mushafi Miftah

Beberapa minggu ini publik kembali gaduh, baik di dunia nyata maupun di media sosial akibat aksi intoleran kelompok-kelompok Islam garis keras. Mulai dari aksi bom bunuh diri hingga sweeping atribut perayaan hari Natal. Aksi sweeping terhadap atribut perayaan hari Natal ini berawal dari fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2016, tentang menggunakan atribut keagamaan non-Muslim. Dalam fatwa tersebut, MUI menegaskan bahwa hukum menggunakan atribut keagamaan non-Muslim adalah haram. Tentu saja yang dimaksud dengan atribut keagamaan di sini ialah segala sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.

Secara etimologis Natal berasal bahasa portugis yang berarti "kelahiran". Sedangakan secara terminologis, Natal berati hari raya umat Kristen yang jatuh pada tanggal 25 Desember. Hari raya Natal ini dirayakan untuk memperingati hari kelahiran Yesus Kristus. Natal dirayakan dalam kebaktian malam pada tanggal 24 Desember; dan kebaktian pagi tanggal 25 Desember. Atas dasar inilah perayaan Natal merupakan ekspresi kebahagiaan kaum Nasrani atas kelahiran Yesus. Sehingga, tidaklah berlebihan jika kita memberikan apresiasi terhadap kebahagiaan mereka. Memberikan apresiasi bukan berarti meyakini apa yang mereka yakini.

Dalam perspektif sosial, mengucapkan selamat hari Natal kepada orang non-Muslim (Kristen) bukanlah sebuah persoalan. Ucapan tersebut bukan berarti kita memberikan justifikasi terhadap keyakinan mereka yang mengatakan bahwa Nabi Isa adalah putra Tuhan. Tapi sebagai wujud kepedulian dan solidaritas kita sebagai umat Islam. Bukankah Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (qimah insaniyah). Dengan begitu, tidak ada yang salah jika kita saling mendoakan kepada teman, kerabat non-Muslim yang sedang merayakan kebahagiannya. Perbedaan adalah sebuah kenyataan yang harus disadari. Perbedaan adalah fitrah manusia sejak manusi itu diciptakan. Karena itu, kita semua harus menyadari bahwa perbedaan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan sosial.

Beragama, Haruskah Saling Membenci?


Beragama berarti mengakui adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, yaitu Tuhan (Allah). Pengakuan seringkali diekspresikan melalui ketundukan dengan cara menjalankan apa-apa yang menjadi ajarannya yang maha tinggi. Namun, dalam mengekspresikan keberagamaan ini, manusia tetap memerlukan adanya mediator yang bisa menuntun manusia pada ajaran yang Maha Tinggi tersebut. Mediator di sini tentu saja adalah apa yang kita kenal dengan sebutan Nabi dan Rasul. Sedangkan perasaan tunduk pada yang Maha Tinggi, yang disebut iman, atau itikad, tentu saja akan berdampak pada adanya rasa suka (rughbah), takut (ruhbah), hormat (ta’dzim) dan lain-lain. Kesemuanya itu adalah unsur dasar al-din (agama).

Secara subtansial, al-din (agama) berarti aturan-aturan atau tata-cara hidup manusia yang dipercayainya bersumber dari Yang Maha Kuasa untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Agama lahir di dunia ini dan membentuk suatu syariat (aturan) yang mengatur kehidupan manusia, yang termaktub dalam kitab sucinya masing-masing. Baik agama samawi (yang bersumber dari wahyu ilahi) maupun yang dalam agama ardli (budaya) yang bersumber dari pemikiran manusia. Semua agama-agama, baik samawi maupun ardli, memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Fungsi-fungsi tersebut ialah; pertama, menunjukkan manusia pada kebenaran sejati. Kedua, menunjukkan manusia pada kebahagiaan hakiki dan mengatur manusia dalam kehidupan bersama.

Atas dasar itu semua, maka pemeluk agama-agama yang ada di dunia ini, sejatinya telah memiliki strategi, metode dan teknik pelaksanannya masing-masing, yang sudah barang tentu dan sangat boleh jadi terdapat berbagai perbedaan antara satu dengan lainnya. Karenanya, umat manusia dalam menjalankan agamanya, sang pencipta agama telah berpesan dengan sangat, “Kiranya umat manusia tidak terjebak dalam perpecahan tatkala menjalankan agama masing-masing, apalagi perpecahan itu justru menciptakan motivikasi keagamaan.

Bertolak pada penjelasan di atas, semua agama memiliki tujuan yang sama. Namun, dalam menggapai tujuan tersebut, masing-masing agama memiliki cara yang berbeda-beda. Semua agama menghendaki kehidupan yang ideal, yaitu untuk menciptakan kehidupan manusia yang bermoral dan sejahtera dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks inilah sebuah sikap yang paradoks jika kita menjadikan agama sebagai pemicu terjadinya konflik horizontal. Akidah dan keyakinan kita memang berbeda, tapi setiap kaum beragama memiliki tujuan yang sama yakni menggapai apa itu yang disebut kebahagiaan hakiki.

Dalam beragama, tidaklah dibenarkan adanya aksi saling membenci dan mencaci pada penganut agama lain. Sebab, itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip beragama. Menjadikan agama sebagai alasan untuk membenci orang lain, hemat saya merupakan pemikiran yang tidak produktif. Jauh lebih penting energi kita digunakan untuk membangun kesejahteraan umat dan bangsa Indonesia. Egoisme agama harus kita kesampingkan untuk kepentingan yang lebih maslahat asalkan tidak menggadaikan akidah. Keyakinan biarlah menjadi hak pribadi-pribadi tapi soal kepentingan negara dan bangsa harus menjadi tanggung jawab bersama. Nilai-nilai agama harus menjadi spirit pembangunan sosial ekonomi bangsa ini. Karena hakikatnya agama tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Tapi juga tata cara hidup dan berinteraksi antar sesama manusia.

Dengan demikian, hanya dengan persatuan dan solidaritas kita bisa mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejahtera aman dan sentosa. Kaitanya dengan Natal, sudah sepatutnya kita saling mengahargai dan menghormati. Kita tidak perlu lagi mempersoalkan ucapan selamat Natal. Sebab ia tidak menyangkut akidah tapi hanya ikut merasakan kebahagiaan sesama manusia. Ucapan selamat Natal hakikatnya meruapakan wujud kepedulian dan solidaritas antarsesama manusia (ukhuwah bashariyah). Soal keyakinan biarlah menjadi otoritas Tuhan. Biarlah dia yang menilai kadar keyakinan atau keimanan kita. Kita tidak perlu mencampuri hak prerogatif Tuhan. Kita tidak perlu menghakimi kafir pada Muslim yang mengucapkan selamat Natal kepada temannya yang sedang merayakan Natal. Wallahu A’lam

Penulis adalah intelektual muda NU Jawa Timur dan dosen tetap IAI Nurul Jadid Paiton