Oleh Al-Zastrouw Ngatawi
Sekitar pukul 22.50 kami bersama rombongan Ki Ageng Ganjur yang melakukan misi kebudayaan Islam Nusantara ke Eropa mendarat di Hamad International Airport (HIA) Doha, Qatar. Kami transit di sini lebih dari delapan jam, sehingga cukup leluasa untuk jalan-jalan dan melihat suasana bandara di malam hari.
Saat tiba di bandara Doha, kami teringat sembilan tahun lalu (2009) saat Ki Ageng Ganjur melakukan konser religi di Qatar dan Uni Emirat Arab. Waktu itu, hanya ada bandar udara internasional. Doha sebagai satu-satunya bandara yang ada di Doha. Pada saat itu mulai dilaksanakan pembangunan besar-besaran bandara New Doha International Airport (NDIA).
Pembangunan bandara baru yang terletak tidak jauh dari bandara lama ini menelan biaya US $ 15 miliar atau setara dengan Rp197 triliun dengan luas 3.500 hektar. Pada tahun 2013 bandara tambahan ini selesai dibangun dan diresmikan pada tahun 2014.
Tak berhenti di sini, pembangunan bandara terus dilakukan. Pada tahun 2016 diresmikan bandara Hamad International Airport (HIA) yang merupakan bandara pendukung dari NDIA. Pembangunan bandara HIA dilakukan dengan tanah reklamasi pantai. Selain sebagai insfrasuktur ekonomi, pembangunan bandara bersar-besaran ini juga sebagai persiapan menjadi tuan rumah World Cup 2022.
Ada perubahan yang sangat mencolok dibanding dengan sembilan tahun yang lalu, katika kami datang ke bandara Doha. Selain bangunan yang megah dengan fasilitas canggih, bandara ini juga dilengkapi berbagai ornamen dengan sentuhan seni tinggi. Seperti terlihat pada patung Lamp Bear yang didesain oleh seniman Swiss Urs Fischer.
Sejak awal tahun 2000 penulis melihat ada persaingan antar negara di kawasan Arab, terutama di Qatar dan UEA untuk merebut perhatian dunia. Masing-masing ingin menunjukkan sebagai negara maju, modern dan kaya. Hal ini ditandai dengan pembangunan infrastruktur fisik secara besar-besaran dengan berbagai sarana dan prasarana yang canggih.
Dubai merupakan kota terpenting bagi UEA. Kota ini menjadi kawasan bisnis internasional yang menwarkan berbagai kemewahan dan kemudahan bagi siapa saja yang ingin berbisnis atau berhibur. Hotel yang megah sampai tempat hiburan mewah tersedia di Dubai. Salah satu bangunan monumental yang ada di Dubai adalah Burj Khalifa yang diresmikan pada 4 Januari 2010. Bangunan yang terdiri dari 160 lantai dengan ketinggian 868 meter ini didesain dengan bentuk bunga Hymenocollis dari Yunani.
Selain Dubai, UEA juga membangun kota2 lain sebagai pusat bisnis, misalnya kota Syarjah yang memiliki bank syariah terbessr di dunia. Di dekat Syarjah juga dibangun kita wisata yang indah dan megah yaitu di Kalba City yang diresmikan pada 03 Otober 2017 lalu. Melalui Mansour bin Zayid, UEA juga merambah bisnis olah raga dengan membeli klub sepak bola terkaya di Inggris, Manchester City.
Seperti tak mau kalah dengan UEA, Qatar juga melakukan pembangunan besar-besaran di bidang infrastruktur untuk bisa masuk dalam dunia bisnis internasional. Selain minyak dan gas, sebagai bisnis yang dikuasai negara, di negeri sini juga tumbuh mall, pertokoan, hotel dan berbagai fasilitas bisnis lain yang tak kalah megah dan mewah yang dikuasai swasta.
Sejak menjadi tuan rumah Asian Games 2006, industri olahraga di Qatar juga maju sangat pesat. Pusat-pusat olah raga dibangun dengan standar Internasional. Untuk meningkatkan iklim bisnis olahraga, klub bisnis Oryx Qatar Sport Investment (QSI) yang dipimpin Nasser Ghanaim al-Khrlaifi mengakuisisi klub sepak bola ternama dari Prancis, Paris Saint-German (PSG) pada tahun 2011. Bukti lain keberhasilan di bidang bisnis olahraga adalah terpilihnya Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
Dalam iklim persaingan bisnis, kedua negara ini telah menghasilkan percepatan pembangunan yang sangat fantastis. Mereka berlomba menarik investor dengan berbagai penawaran fasilitas bisnis yang mewah, megah dan mudah. Dengan kata lain, persaingan busnis telah melahirkan geliat peradaban di Timur Tengah.
Melihat kenyataan ini, bisa dikatakan kapitalisme modern telah menjebol kekuatan ideologi Islam yang eksklusif, puritan dan fundamentalis. Wajah Islam yang kaku, tertutup dan keras sama sekali tidak terlihat di sini, sekalipun negeri ini mengaku sebagai negara Islam.
Sebaliknya di sini sikap toleran, terbuka dan pragmatis lebih tampak nyata, seperti terlihat dalam cara berpakaian dan berinteraksi yang lebih banyak didasari dari hukum bisnis daripada tuntunan Islam tekstual simbolik.
Juga bentuk bangunan, model pakaian dan gerai makanan sampai gaya hidup modern Barat ada semua di kota metropolitan negeri Arab ini. Bahkan di tenpat ini tidak terasakan suasana religuis Islamis, tetapi lebih kental suasana kehidupan Barat yang modern dan sekuler.
Memang ada ketegangan antara negara Timur Tengan yang sepertinya terbungkus ideologi seperti terlihat pada hubungan politik yang tegang antara Arab Saudi dan para sekutunya dengan Qatar dan para pendukungnya. Meski berbungkus ideologi keislaman (Sunni-Syiah) namun jika ditelisik lebih jauh akan ditemukan kepentingan politik ekonomi di baliknya.
Yang menarik, meski secara formal simbolik negara-negara tersebut bercorak sangat Islam namun proses menuju negara kapitalis modern berlangsung secara baik. Artinya tak kegaduhan, seperti demo bela Islam, atau gerakan anti pemerintah yang bisa merecoki atau menghambat proses menjadi negara modern. Meski sebenarnya di sana juga ada beberapa korban pembangunan yang diperlakukan tidak adil.
Selain itu, terjadinya ketegangan politik dalam hubungan antar negara juga tidak menggangu proses transformasi yang sedang terjadi. Menurut kami semua ini terjadi karena kesadadaran pemerintah dan masyarakatnya untuk maju lebih tinggi daripada ego kelompok dan ambisi kekuasaan.
Pemerintah bersikap tegas terhadap para kelompok yang bikin gaduh sehingga menggangu proses pembangunan dan rakyat juga tahu batas terjauh melakukan kritik dan oposisi agar tidak menggangu kerja pemerintah memajukan negara
Melihat geliat peradaban di Timur tengah rasanya pamerintah dan rakyat negeri ini perlu belajar dari para pemimpin dan rakyat Timur Tengah (khususnya Qatar dan UEA) dalam mempersiapkan diri masuk dalam arus baru kekuatan ekonomi politik dunia. Bagaimana pemerintah mengelola konflik, bagaimana rakyat memberikan kritik dan bagaimana mereka menjaga stabilitas nasional agar transformasi sosial ekonomi tidak terganggu.
Di tengah geliat peradaban Timur Tengah yg sedang tumbuh dan melihat berbagai ketegangan yang ada di sana, maka akan muncul dua pertanyaan dasar. Pertama, haruskah peradaban yang sudah mulai menggeliat ini akan kembali dihancurkan, karena alasan teologi yang memancing konflik terus menerus.
Kedua, ketika negara-negara Arab sudah mulai membuka diri menerima konsep demokrasi, toleransi dan kapitalisme tapi mengapa bangsa Indonesia yang terkenal toleran, moderat dan terbuka terhadap perbedaan justru sekarang makin terjebak pada sikap intoleran dan radikal?
Sambil menunggu jawaban dari kedua pertanyaan tersebut, kami meneruskan perjalanan menuju Amsterdam, setelah istirahat dan merenung di bandara Qatar selama kurang lebih 8 jam. Tabik.
Penulis adalah pegiat budaya, Dosen Sekolah Pascasarjana UNUSIA Jakarta. Tulisan ini merupakan catatan perjalanan Islam Nusantara Roadshow to Europe bersama Ki Ageng Ganjur.