Oleh Muhammad Ishom
Belakangan mulai sering terdengar keluhan banyak orang, "Sekarang nyari pembantu susah banget." Apa yang dimaksud pembantu di sini adalah pembantu/asisten rumah tangga yang sering disingkat PRT/ART. Bagi saya berita ini positif dan saya tanggapi dengan mengajukan gagasan tentang buruh rumah tangga (BRT) sebagaimana judul di atas. Fenomena ini menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam meningkatkan pendidikan wajib belajar dari 9 tahun menjadi 12 tahun dan program-program kependidikan lainnya. .
Di negara-negara maju seperti di Eropa dan Amerika sangat sulit ditemukan adanya PRT/ART. Jika ada, pastilah sangat tinggi bayarannya yang umumnya orang tidak sanggup memenuhinya. Hal ini tidak lepas dari tingginya tingkat atau majunya pendidikan di sana baik di kalangan tenaga kerja maupun penggunanya. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, profesi sebagai PRT/ART sangat tidak menguntungkan baik secara sosial maupun ekonomi.
Secara sosial para PRT/ART tidak jarang mengalami perlakuan yang tidak bermartabat seperti pelecehkan, penyiksaan, bahkan hingga pemerkosaan karena mereka sering dipandang sebagai orang-orang dari kelas sosial rendahan. Secara ekonomi, mereka digaji sangat rendah karena beberapa alasan. Pertama, pekerjaan rumah tangga dianggap remeh atau hina meski selama hidup tak satu pun dari kita bisa lepas dari pekerjaan ini. Kedua, umumnya mereka memiliki latar belakang pendidikan yang kurang memadai sehingga dianggap pantas menerima bayaran rendah.
Oleh karena itu, ketika semakin langka keberadaan PRT/ART di Indonesia disebabkan salah satunya karena meningkatnya derajat pendidikan masyarakat, hal ini harus disikapi secara positif. Menurut hemat saya, selama bangsa Indonesia masih mem-PRT-kan bangsanya sendiri baik di dalam maupun di luar negeri, bangsa ini sebetulnya bukanlah bangsa yang sudah maju karena masih “memperbudak” bangsanya sendiri. Para PRT/ART sudah jelas bukan budak, tetapi realitas menunjukkan mereka tidak jarang diperlakukan seperti para budak.
Sebenanrya ada jalan keluar agar kita tidak menggantungkan pekerjaan rumah tangga kepada para PRT/ART. Kita harus mengubah cara pandang kita bahwa pekerjaan rumah tangga sebetulnya menjadi tanggung jawab bersama di antara para anggota keluarga. Hal ini karena pekerjaan rumah tangga memang tidak berjenis kelamin. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama baik mengerjakannya. Apalagi sekarang kemajuan teknologi sangat membantu untuk menyelesaikan berbagai macam jenis pekerjkaan rumah tangga.
Selain itu, harus ditumbuhkan kesadaran baru bahwa kita memang perlu menyediakan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang jadwalnya kita atur sendiri sesuai dengan situasi dan kondisi sekaligus untuk gerak fisik atau olahraga. Jika kita bisa bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan gaji, mengapa kita tidak bisa mengabdi untuk keluarga sendiri tanpa memusingkan untung rugi secara materi.
Jika waktu yang kita sediakan kurang efektif atau tenaga kita kurang mencukupi, kita bisa menambah tanaga kerja dari luar keluarga sebagai buruh rumah tangga (BRT) dan bukan PRT/ART. Durasi kerja BRT harus standar, yakni 8 jam/hari dengan gaji sesuai UMK atau UMP. Dengan cara ini seorang BRT bisa mandiri untuk memenuhi biaya hidup sendiri, mencukupi kebutuhan sehari-hari, biaya transportasi atau sewa kost jika perlu, dan sebagainya.
Hal yang tak kalah penting dari itu semua adalah janganlah kita berpikir bahwa melakukan pekerjaan rumah tangga sendiri menurunkan martabat kita. Hal ini sama sekali tidak benar karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri melakukannya sebagaimana diceritakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Siti Aisyah radliyallahu ‘anha– istri beliau. Oleh karena itu, haruslah kita tinggalkan mempekerjakan PRT/ART hanya demi menegakkan simbol keterhormatan diri sendiri maupun keluarga. Cara berpikir ini feodalistik dan eksploitatif.
Saya berpikir sudah saatnya kita memulai memikirkan era baru di negeri ini di mana terdapat sedikit saja atau bahkan tak ada lagi PRT/ART. Yang ada adalah buruh rumah tangga (BRT) yang tidak tinggal serumah dengan majikan untuk menghindari eksploitasi, kekerasan, dan sebagainya oleh majikan atau keluarganya. Selain itu, secara agama tidak afdhal jika para PRT/ART tinggal serumah dengan majikan dan keluarganya karena umumnya mereka adalah orang lain yang
bukan mahram. Sekali lagi mereka bukanlah budak sehingga hak-haknya sebagai orang merdeka harus dihormati.
Durasi kerja dan jam kerja mereka harus jelas - dari jam berapa sampai jam berapa. Demikian pula jenis pekerjaan rumah tangga apa yang harus mereka lakukan juga harus jelas. Jika mereka bekerja melebihi 8 jam/hari, maka harus dihitung sebagai kerja lembur. Mereka juga harus mendapatkan perlidungan hukum sebagaimana buruh atau tenaga kerja pada sebuah lembaga atau perusahaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Pemerintah memang telah mengeluarkan regulasi terkait dengan PRT/ART lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga pada tanggal 16 Januari 2015. Peraturan itu berisi antara lain tentang hak dan kewajiban seorang pembantu yang disebut pekerja rumah tangga. Peraturan ini, menurut hemat saya, perlu direvisi sedemikian rupa sehingga dapat mengakomodasi gagasan-gagasan sebagaimana telah saya uraikan di atas.
Atau, peraturan Menteri Tenaga Kerja di atas dapat digabung atau disatukan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sehingga pekerja rumah tangga dapat dikelompokkan sebagai buruh yang disebut Buruh Rumah Tangga (BRT). Untuk ini, diperlukan revisi terhadap undang-undang tersebut.
Jika gagasan tentang buruh rumah tangga (BRT) di negeri ini dapat terwujud dengan baik, maka apakah masih perlu banyak orang, terutama perempuan, berbondong-bondong ke luar negeri hanya untuk menjadi PRT/ART? Bukankah menjadi pembantu di luar negeri jauh lebih besar risikonya? Tentu masih kuat dalam ingatan kita kasus terakhir di Malaysia yang belum lama berlalu menimpa salah seorang TKI asal NTT bernama Adelina Lisao. Ia mati di tangan majikan sendiri setelah disiksa di sana.
Ketika orang-orang Indonesia pada saatnya tidak lagi berbondong-bondong ke luar negeri sebagai TKI, khususnya para PRT/ART, lalu bagaimana dengan devisa negara yang pada tahun 2017 diperoleh devisa dari mereka sebesar US$ 10,5 miliar atau sekitar Rp 140 triliun?
Jawabnya, devisa negara menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat, terutama para pengusaha eksportir dan sebagainya. Namun tidak sepatutnya rakyat jelata atau orang-orang kecil yang tak berdaya ikut “dibebani” apalagi “ditargetkan” mendapatkannya. Gelar sebagai pahlawan devisa yang disematkan kepada mereka, khususnya para PRT/ART, sebetulnya hanyalah sebuah “sanjungan” untuk menghibur mereka dari pahit getir kehidupan yang mereka alami, baik di dalam maupun di luar negeri.
Penulis adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.