Oleh Aswab Mahasin
Judul di atas adalah tema yang diangkat oleh Nahdlatul Ulama (NU) dalam memperingati Hari Santri 22 Oktober 2017. Seperti yang disampaikan oleh KH. Said Aqil Siroj melalui keterangan resminya pada Rabu (4/10) di Jakarta, tema hari santri 2017 adalah “Meneguhkan Peran Santri dalam Bela Negara, Menjaga Pancasila, dan NKRI”.
Menarik untuk dikupas oleh kita semua. Santri merupakan bahan wacana/diskusi yang tidak akan pernah habis. Tidak sedikit para peneliti dari luar Indonesia datang jauh-jauh hanya untuk meneliti kiai, isi pesantren, dan isi kepala santri. Tentu kita semua ingat, bagaimana pesantren menjadi bahan perdebatan dalam Polemik Kebudayaan antara Soetomo, Ki Hadjar, dan Sutan Takdir—Anda bisa baca dalam buku Pesantren Studies karya Ahmad Baso.
Wacana pesantren/santri selain tidak akan habis, ia pun tak akan pernah membosankan apalagi “kadal luarsa”, begitu juga dengan peran santri tak akan pernah kering dimakan zaman. Peran santri untuk bangsa ini sudah tidak bisa terhitung berapa jumlahnya, dan NU mencoba mengingatkan para santri melalui momen hari santri, dengan penegasan “meneguhkan peran santri”. Saya tertarik mengupas lebih dulu kata “meneguhkan”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “meneguhkan” mempunyai tiga makna, pertama; menguatkan, memperkuat, mengukuhkan, kedua; menyungguhkan (mengesankan dan sebagainya), dan ketiga; memenuhi janji (perkataan dan sebagainya). Dari sini telah jelas terbaca maksud dari penggunaan kata “meneguhkan” yang diikuti dengan “peran santri”—“meneguhkan peran santri”.
Berpedoman KBBI, kita bisa menariknya seperti ini, “meneguhkan peran santri” dalam rumusannya mempunyai tiga cakrawala juga, pertama, santri diharapkan menguatkan niat dalam peranannya terhadap Indonesia, santri pun diharapkan memperkuat barisannya—bersatu membangun kultur ramah lingkungan, dan santri diharapkan pula mengukuhkan prinsip-prinsipnya untuk selalu merawat taman perdamaian di alam Indonesia tercinta ini.
Kedua, setelah sebelumnya membangun niat, tekad, dan prinsip—menguatkan, kekuatan, dan kekokohan—itu semua harus diterjemahkan dalam tindakan “menyungguhkan”/sungguh-sungguh dengan memunculkan kesan kebaikan dan kemanfaatan. “Man Jadda wa Jada” (Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan berhasil)
Ketiga, “meneguhkan” juga mempunyai makna “memenuhi janji”. Artinya, niat, prinsip, dan tindakan ‘sungguh-sungguh’ santri dalam posisinya sebagai warga negara yang baik, harus memenuhi janji kemerdekaan dengan cara membela negara, menjaga pancasila, dan merawat NKRI/kebhinekaan. Dalam hal ini, bisa dilakukan dengan berbagai cara sesuai bidang dan kemampuan santri. Yang pasti, jangan sampai memecah belah atau membuat gaduh.
Merupakan urutan yang tepat NU memilih kata “meneguhkan” dalam tema perayaan hari santri. Santri sekarang harus menjadi agen perubahan bagi kemajuan bangsa Indonesia. Negara kita sedang mendapat ancaman disintegrasi cukup serius. Hiruk pikuk politik yang akhir-akhir ini nampak tidak kondusif lebih baik dimaknai sebagai tanggung jawab merajutnya kembali.
Kita harus mengingatkan kepada diri kita sendiri, bahwa kedamaian dan perdamaian di Indonesia adalah harga hidup sekaligus sampai mati yang harus terus ditunaikan. Bela negara bisa dilakukan dengan berbagai cara, dawuh KH. Wahab Hasbullah, “Cinta tanah air bagian dari bela negara, (mengobarkan) bangkitlah bangsaku, dan engakaulah panji martabatku.”
Artinya, kemunduran bangsa ini dari berbagai segi; ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya adalah bagian dari tanggung jawab kita bersama, karena ini merupakan martabat kita sebagai anak bangsa. Santri diharapkan menjadi pembeda, sebab santri telahir dari kultur dinamis, tidak kaku.
Cita-cita NU sendiri ialah santri mampu melanjutkan perjuangan para pendahulunya, tidak berhenti memberikan inspirasi dan inovasi, diharapkan mampu berkiprah disegala bidang dan di semua lini kehidupan. Dan NU merupakan wadah strategis sebagai jembatan/pijakan dalam membangun kualitas bangsa.
Seperti pesan Kiai As’ad kepada para santrinya yang akan terjun di masyarakat, “ia wanti-wanti agar aktif berdakwah di organisasi NU (disamping harus mengurusi pendidikan Islam dan memikirkan ekonomi umat). Mengapa? Saya pernah mendapat amanah guru saya, Kiai Hasyim Asy’ari. Karena itu saya tak akan surut sedikit pun dari tanggung jawab ini”. Ini diungkapkan saat diwawancarai oleh wartawan Panji Masyarakat. (dikutip dari buku yang dieditori Syamsul A. Hasan, Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat, [LKiS Yogyakarta, 2003]. Hlm. 11)
Dalam pada itu, selain fokus pada pengembangan diri, santri juga harus mulai berkontribusi dalam ruang dakwah yang bebas ini. Medianya sekarang sudah mudah dan banyak. Tradisi menulis dan tradisi keberaksaraan (literasi) harus mulai dibangkitkan. Apalagi saat ini, banyak sekali tulisan, berita, dan informasi tidak mencerdaskan—santri harus hadir di tengah-tengah hiruk-pikuk itu.
Menjaga pancasila dan merawat NKRI/Kebhinekaan, cara menulis bisa dijadikan pilihan untuk menjaga dan merawatnya. Pesan-pesan positif yang kita sampaikan tidak menutup kemungkinan mampu menggugah hati-hati yang keruh.
Melihat sejarahnya, salah satu yang dilakukan oleh para Wali dalam menyebarkan inspirasi nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan yaitu menulis.Seperti yang disampaikan Ahmad Baso dalam pengantar buku Pesantren Studies 2a, “Para Wali Songo menulis dan menghasilkan karya. Mereka hadir di desa-desa (masyarakat) pada wawasan keislaman dan ke-Nusantara-an sekaligus. Kegiatan tulis-menulis adalah awal membangun peradaban tersebut. Selain untuk merawat tradisi yang sudah berkembang di kalangan masyarakat, juga untuk memelihara segenap potensi dan kekuatan peradaban bangsa ini. Peradaban ini dijaga dan dilestarikan melalui kegiatan kebudayaan dan kesastraan, dalam bentuk tulis-menulis, kemudian melahirkan sejumlah karya dan khazanah.” (Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a, Buku II: Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial, [Pustaka Afid: Jakarta, 2015]. Hlm. 2)
Telah jelas, salah satu cara “meneguhkan peran santri” dalam menjaga semuanya tentang Indonesia yaitu melalui media tulis-menulis. Dengan ini, wacana terus berkembang, pesan positif terus disampaikan, mengabarkan pentingnya menjaga pancasila dan merawat NKRI—akan selalu bersemi. Dan perlu kita sadari, media kita sedang dikuasi ‘ujaran kebencian’ dan pendangkalan patriotisme. Sayangnya, kita masih tertinggal jauh dan belum hadir secara maksimal untuk menjadi penyeimbang. Karena itu, mulai saat ini kita harus “meneguhkan peran”.
Kalau boleh usul, sepertinya seru juga NU membuat “gerakan website untuk pesantren/pesantren punya website”, karena banyaksekali pesantren yang belum memiliki website (daripada yang sudah memiliki). Bisa dibayangkan, seandainya semua pesantren yang berbasis Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) memiliki website semua dan mereka aktif menulis pesan-pesan perdamaian, tentu akan menyumbat informasi-informasi biadab.Setidaknya, akan memacu santri untuk aktif dalam menulis, dan itu bisa mengasah kreatifitas. Sehingga peran santri bisa lebih terlihat.
Dengan demikian, “Meneguhkan Peran Santri dalam Bela Negara, Menjaga Pancasila, dan NKRI”, kita semua berharap pesan ini tidak hanya menjadi aktifitas seremonial pada saat hari santri saja yang kemudian menghilang. Melainkan ada keberlanjutan dari semua pihak, khususnya NU sebagai rumah besar pesantren. Terlebih lagi, bagaimana kita mengupayakan pesan tersebut terinstal ke dalam pemikiran para santri, berarti harus diusahakan sejak dini dari mulai awal seseorang menjadi santri dan pada saat proses dipesantren. Salah satu caranya adalah menghidupkan tradisi menulis (dunia literasi) di lingkungan pesantren.
Saya tutup dengan tiga Firman Allah SWT, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan....” (QS. Al-Alaq [96]: 1). “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis” (QS. Al-Qalam [68]: 1). “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah” (QS. Al-Jumu’ah [62]: 2)
Penulis adalah pembaca setia NU Online.