Opini

Menegaskan Ansor sebagai Pewaris NU

NU Online  ·  Senin, 1 Agustus 2011 | 01:21 WIB

Oleh: Dwi S. Nugroho


Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nusron Wahid berkali-kali menegaskan bahwa Ansor sebagai gerakan generasi muda NU memegang teguh Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945 sekaligus Ahlussunnah wal Jamaah. Tidak ada hal baru memang dalam statemen ini. Jauh sebelumnya hampir empat dasawarsa NU telah mengambil pilihan itu. Gus Dur sebagai corong utama NU telah meletakkan dasar-dasar hubungan NU dan negara.

Tak terkecuali, kepemimpinan KH Said Aqiel Siroj juga meneruskan platform tersebut. Dalam taushiyahnya saat Harlah ke-85 NU di Gelora Bung Karno, Ketum PBNU menegaskan komitmen dan tanggungjawab kultural NU untuk mempertahankan Islam toleran, ummat wasathan yang moderat. Waketum As’ad Said Ali juga menegaskan Pancasila sebagai jalan kemaslahatan menjadi pilihan warga Nahdliyin, selain penegasan kesetiaan pada NKRI dan UUD 1945.

Ansor mengklaim diri sebagai gerakan Islam inklusif seraya menegaskan perlawanannya terhadap gerakan Islam fundamentalis. Titik tekannya pada keharmonisan Islam dengan nasionalisme, pluralisme, kebebasan beragama, demokrasi, kesetaraan jender, dan penolakan terhadap konsep Khilafah Islamiyah. Itulah prinsip-prinsip yang menjadi visi kepemimpinan Ansor di bawah Ketua Umum Nusron Wahid, sebagaimana tergambar dalam buku “Ansor dan Gerakan Islam Inklusif”.

Dalam kaitan Islam dengan nasionalisme, ditegaskan bahwa meskipun Islam sebagai agama yang kaffah meliputi segenap aspek kehidupan, namun dapat penerapannya harus bersinergi dengan konsep negara kebangsaan yang telah menjadi komitmen berdirinya negara ini. Ketika Islam menghendaki masuk ke ranah negara maka harus bersimbiosis, setidaknya gagasan nasionalis religius menjadi tawaran yang moderat.

Di satu sisi negara tidak benar-benar sekuler terhadap kehidupan agama, melainkan memberikan perlindungan terhadap kehidupan beragama. Sebaliknya, agama memberikan inspirasi dan menjadi sumber dalam pembentukan hukum nasional dengan dikeluarkannya berbagai perundang-undangan berspiritkan Islam. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan syariat Islam dengan perjuangan tujuh kata Piagam Jakarta menjadi tidak relevan.

Islam inklusif juga memastikan adanya toleransi terhadap pluralisme, baik pluralitas agama dengan penghargaan terhadap pemeluk agama lain, maupun pluralitas budaya, tradisi dan adat istiadat. Islam juga mengajarkan adanya kebebasan beragama, karena sejatinya urusan beragama merupakan urusan manusia dengan Tuhan. Dalam arti tidak ada paksaan dalam agama. Hal ini tentu relevan dengan makna UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: “(1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Islam juga menghargai adanya Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak yang melekat pada manusia, yang diberikan oleh Tuhan dan tak ada kekuasaan apapun yang boleh mencabutnya. HAM versi barat dalam Universal Declaration of Human Rights tidak perlu dipertentangkan dengan konsep Islam. Sebab, Deklarasi Islam tentang HAM juga memiliki kesamaan secara substansial. Bahkan konsep Piagam Madinah yang monumental sebagai perjanjian luhur mencerminkan sikap humanis dan egaliter dalam memperlakukan manusia lainnya.

Islam juga mengenal konsep musyawarah sebagaimana dalam Qur’an Al-Syura ayat 38 dan Ali Imran 159, dimana keharusan satu keputusan sebagai hasil musyawarah, namun membuka juga kemungkinan suara terbanyak. Dalam musyawarah memutlakkan adanya persamaan antar sesama umat, yang tentunya relevan dengan konsep egalitarian dalam demokrasi. Sebagaiman kata intelektual Iqbal “hakeket tauhid sebagai gagasan kerja adalah persamaan, solidaritas dan kebebasan.”

Islam inklusif tidak mempertentangkan Islam dengan barat, akibat sejarah hubungan Islam dan barat di masa lalu yang penuh konflik sejak paruh waktu abad 19. Tesis Huntington tentang The Clash of Civilization memang tak dapat dibantah seluruhnya. Namun harus dikaji ulang apakah yang terjadi benturan peradaban atau benturan kepentingan? Untuk merespon hal itu reaksi dunia muslim dengan mengembangkan dialog yang intensif, selain juga bersikap kritis terhadap berbagai pengetahuan yang dikembangkan dan untuk kepentingan barat.

Gerakan Islam inklusif juga mengecam ideologi Islam fundamantalisme dengan terorisme sebagai turunannya. Pasalnya, citra Islam sebagai agama damai menjadi rusak karenanya. Oleh karena itu, fundamantalisme sama sekali tidak mewakili Islam, karena kecenderungan gerakan-gerakan tersebut mempolitisir dan mendistorsi substansi ajaran Islam itu sendiri. Tak ayal lagi, makna jihad pun harus direkonstruksi ulang. Jihad yang dimaknai sebagai perang suci atas nama agama cenderung menyesatkan. Pandangan ini bisa memunculkan stigma Islam disebarluaskan dengan cara perang, padahal Islam agama cinta damai. Gerakan Islam inklusif juga menolak konsep Khilafah Islamiyah sebagai tawaran final bentuk negara yang sesuai dengan cita-cita Islam.

Terakhir, Islam inklusif merupakan Islam rahmatan lil alamin yang mampu menjadi penuntun jalannya sejarah sekaligus mengayomi umat manusia. Islam juga membawa perubahan ke arah lebih baik menuju sistem sosial yang adil. Sebagaimana pesan qur’an dalam Al-Anbiya: “Dan tidakkah Kami (Allah) mengutusmu (Muhammad) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam.”

Menurut hemat penulis, jika merujuk pada visi ideal yang terurai dalam buku ini, Ansor niscaya menjadi penerus nilai-nilai Nahdlatul Ulama. Sekarang tinggal pelaksanaannya yang dalam pengamatan penulis masih belum ideal. Nuansa pragmatisme dan politik praktis amant kental dalam kebijakan dan sepak terjang Ansor di masa lalu. Oleh karena itu, kita sambut gagasan dan visi sahabat Nusron Wahid dengan harapan adanya satu kata dengan perbuatan. Ansor, NU menunggu kiprah konkritmu untuk kebesaran Jamaah pendukung Ahlusunnah Wal Jama’ah. Selamat Harlah ke-85 NU.
     
* Generasi Muda NU, Ketua LBH&HAM PB PMII