Oleh Halimi Zuhdy
Setiap episode dalam kehidupan, selalu dimulai dari gerakan besar, demikian pula dalam setiap episode-episode masa keemasan Islam. Gerakan-gerakan besar dalam Islam muncul karena gencarnya gerakan gemar membaca dan menulis (literasi).
Contoh yang bisa disebut adalah “the golden age” dalam Islam pada masa Daulah Abbasiyah. Masa itu merupakan era puncak kejayaan dalam berbagai bidang, terutama ilmu pengetahuan. Hal tersebut berawal dari penerjemahan kitab-kitab yang berbahasa asing ke dalam bahasa Arab, meringkas, mensyarah, dan kemudian mengarang. Dan sebagai penghargaan dalam dunia kepenulisan (karya) seseorang, hasilnya (buku) ditimbang dengan emas, seberapa berat buku itu, seberat itu pula emas yang diberikan.
Dan ketika itu, lahirlah cendikiawan besar dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, seperti Ibnu Jarir al-Thabary, Ibnu ‘Athiyah al-Andalusy, As-Sudai, Muqatil bin Sulaiman, Jabir ibnu Hayya, Muhammad bin Ishak, Jabir Batany, Abu Ali al-Hasan al-Mawardi, Ibnu Sina, al-Razi, Ibnu Miskawaih, Ibnu Al-Haitim, Imam Sibawaihi, Ali bin Abbas, Imam Mali, Muhammad ibnu Musa al-Khawarizmi, Ibnu Sa’ad, Imam Ibnu Majah, Imam Gazali, Imam Syafi’i, al-Kindi, Abu Nuwas.
Setelah itu, lahir pula cendikiawan-cendikiawan Muslim yang luar biasa dari berbagai disiplin ilmu, berawal dari membaca dan menulis. Seperti Ibnu Mukaffa, Abu Tammam, Al-Jahiz, Abul Faraj, Ibnu Malik At-Thai dan lainnya.
Dalam bidang sastra, seni, sejarah, geografi, penelitian, astronomi, kedokteran dan sebagainya, lahir pula sejumlah penulis andal, misalnya Ahmad ibn Al-Hutai’ah Al-Maghribi, Al Ukhbari, Abu Abdillah Al-Azadi, Abu Muhammad Al-Anshari.
Ternyata untuk mengubah kenyataan kelam, menjadi terang, terutama dalam peradaban dunia, mesti dimulai dengan literasi. Ajaran Islam yang pertama pun adalah iqra' (bacalah, red), dan nama kitabnya pun disebut Qur'an (sebuah "bacaan"). Adakah sebuah kitab yang menyamainya? Inilah awal kemajuan dan pembuka alam berpikir, bertafakkur dan awal dari hebatnya sebuah umat, karena tanpa membaca, suatu bangsa atau kaum tidak akan pernah maju dan beradab.
"Iqra'" benar-benar mengubah segala, orang Arab kemudian memiliki pengetahuan yang luar biasa. Dunia literasi tumbuh membunga dan berkecambah, yang puncaknya, pengetahuan dunia berada di tangan umat Islam. Peradaban emas ditoreh oleh Muawwiyah, Abbasiyah, dan seterusnya yang kala itu di Barat masih benar-benar gulita. Tradisi membaca di kalangan ulama salaf tumbuh luar biasa. Hal tersebut benih dari kata "Iqra", benih dari Al-Qur’an yang diturunkan di bulan Ramadhan, seperti Al-Jahizh yang berkata, "Barangsiapa yang ketika membeli buku dan membacanya tidak merasa lebih nikmat daripada saat membelanjakan hartanya untuk membeli hal-hal yang diinginkan, atau tidak melebihi ambisi para hartawan untuk membangun bangunan, sesungguhnya ia belum mencintai ilmu."
As-Saghani lebih dari 50 tahun tidak berhenti membaca buku, Ali Asyafi'i bergadang semalam suntuk bersama buku, Fairuz Abadi ke mana-mana bawaannya hanya ada buku dan pena, Ibnu Taimiyah walau di kamar mandi tak lepas dari membaca, Abu Khair As-Sa'di sampai di penghujung usianya buku adalah teman abadinya, Adz-Zahabi yang sampai mengeluarkan kencing darah dua kali, ke mana-mana memikul buku di pundaknya. Belum lagi Abdullah Mubarok, Adz-Dzuli, Ibnu ‘Arabi, Ar-Razi, Ibnu Asakir, yang kehidupan mereka dipenuhi dengan membaca dan menulis, tiada hari tanpa menelaah kitab, mereka selalu bahagia dan tidak pernah kesepian karena selalu ditemani oleh buku-buku. Ada yang sehari-hari menghatamkan puluhan buku, satu bulan ratusan bahkan puluhan ribu buku selesai terbaca.
Inilah budaya dan peradaban keilmuan yang luar biasa, benar-benar buku menjadi inspirasi, membuka pintu-pintu ilmu, dan mereka tidak hanya menjadi pembaca, tetapi berkarya, yang setiap harinya puluhan lembar tertoreh dari tangan-tangan mulia mereka. Bisa dibayangkan berapa jilid buku yang diselesaikan dalam satu tahun saja. Maka tidak heran, satu tangan penulis bisa melahirkan ratusan buku, satu judul buku lebih dari 100 jilid.
Gerakan Satu Pesantren, Satu Buku
Di Era milenia ini, dengan jutaan buku dan ribuan kertas (juga paperless di HP, laptop, dll) ternyata tidak serta merta mengalahkan karya ulama Islam masa lalu, yang hanya menulis di pelepah kurma, tulang unta, tembikar, batu, kertas berkualitas rendah (untuk ukuran sekarang), atau alat-alat lainnya yang untuk ukuran hari ini sangatlah sulit dilakukan. Sebut saja Ath-Thabari yang semasa dengan penulis al-Kutub as-Sittah (Imam al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah dan an-Nasai), sehari bisa menulis ribuan kata, bahkan per hari 40 lembar, dengan tafsirnya yang berjilid-jilid, dan satu jilid mencapai 600 halaman. Belum lagi kitab al-Funun karya Ibnu Aqil yang mencapai 400-800 jilid, dan Ibnu Jauzi menyalin kitab dalam setahun mencapai 50-60 kitab ketika belum ada mesin cetak, demikian pula Al-Maqdisi yang menyalin 2000 kitab.
Demikian kesungguhan para ulama dan cendikiawan Muslim masa lalu, namun apakah hal tersebut hanya akan menjadi sejarah dan kenangam indah Muslim di era ini, pasti jawabannya, tidak. Bagaimana seandaianya sejarah itu juga terulang pada masa kini, walau tidak sama 100 persen seperti beliau-beliau yang sangat luar biasa. Dan pula, kalau tidak menemukan satu penulis sehebat beliau-beliau, bisa saja dengan cara lain, yaitu menulis bersama-sama dengan para penulis yang memiliki keilmuan yang sama, atau berkolaborasi dengan ilmuan lainnya, sehingga melahirkan banyak buku, terutama di pesantren-pesantren Indonesia, sehingga menjadi jargon “Satu Pesantren, Satu Buku”.
Jargon “Satu Pesantren, Satu Buku”, bukan hal muluk, ia dapat dilakukan minimal dalam satu tahun, atau lebih pendek dari itu, misalnya “Satu Bulan, Satu Buku”, disesuaikan dengan kemampuan pesantren masih-masing. Tetapi pesantren harus punya komitmen untuk melahirkan karya, seperti yang telah dilahirkan oleh cendikiawan masa lalu.
Penulis membayangkan, seandainya gerakan “Satu Pesantren, Satu Buku” ini mampu dilakukan, maka dalam satu tahun akan terbit 25.000 buku/kitab, itupun jumlah pesantren yang tercatat di Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada tahun 2011, sedangkan jumlah santri pondok pesantren di 34 provinsi di seluruh Indonesia, mencapai 3,65 juta. Mungkin, saat ini (tahun 2018), jumlah pesantren di Indonesia bisa lebih banyak, dan mungkin mencapai 27.000-30.000 pesantren.
Kalau pesantren mampu melahirkan ribuan buku/kitab dalam satu tahun, maka beberapa tahun akan berjibun jutaan buku, ini baru satu buku dari satu pesantren. Kalau pesantren mampu menerbitkan buku, maka ia akan mampu melahirkan para penulis, bila setiap santri menulis, maka akan terbit jutaan buku dalam satu tahun. Ini hal sangat luar biasa. Maka cita-cita besar akan tercapai, sebuah peradaban baru, peradaban intelektual dan kemajuan Islam.
Para ulama yang kini namanya selalu tersemat dalam etalase pesantren dan kitabnya selalu menjadi rujukan, adalah orang-orang yang luar biasa dalam membaca dan menulis (melek literasi). Sebut saja Syekh Nawawi al-Bantani, karangan beliau mencapai ratusan, tidak hanya menulis dalam satu disiplin ilmu melankan berbagai disiplin, belum lagi karangan yang bersifat komentar dan syarahnya. Beberapa karangan beliau adalah; Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh, Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf, al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb, dan lain-lain.
Syaikhul Ahmad Khatib juga sangat produktif menulis, karya-karyanya yang berbahasa Arab dan berbahasa melayu banyak menjadi rujukan para ulama setelahnya, seperti Hasyiyah An Nafahat ‘ala Syarhil Waraqat lil Mahalli, Al Jawahirun Naqiyyah fil A’malil Jaibiyyah, Ad-Da’il Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Ma’a Wujudil Ushul wal Furu’, dan lainnya.
Belum lagi KH Hasyim Asy'ari yang kitabnya kini diburu oleh para pengagumnya. Beliau banyak membuat tulisan dan catatan-catatan. Beliau menulis beberapa kitab, di antaranya; kitab-kitab tersebut antara lain: Risalah Ahlis-Sunnah wal Jama'ah: Fi Hadistil Mawta wa Asyrathis-sa'ah wa baya Mafhumis-Sunnah wal Bid'ah, Al-Nuurul Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursaliin, Adab al-alim wal Muta'allim fi maa yahtaju Ilayh al-Muta'allim fi Ahwali Ta'alumihi wa maa Ta'limihi, Al-Tibyan: fin Nahyi 'an Muqota'atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan, Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah, Mawaidz, Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat, Al-Tanbihat al-Wajibat liman Yushna’ al-Maulid bi al-Munkarat.
Syekh Ihsan Jampes, seorang ulama yang terkemuka, yang kesehariannya tidak pernah lepas dari buku, membaca, dan menulis. Kitab yang dibaca mencapai ratusan dan ribuan, sedangkan pengasuh pondok ini, menulis banyak buku, seperti Tashrih al-Ibarat; Siraj al-Thalibin, Manahij al-Amdad, Irsyad al-Ikhwan Fi Syurbati Al-Qahwati wa al-Dukhan.
Gerakan "Satu Pesantren, Satu Buku" dapat dimulai detik ini juga, bila setiap pesantren memiliki kesadaran pentingnya menulis buku atau kitab, dan memiliki kesadaran bahwa sejarah keilmuan Islam dan lainnya, hanya mampu dicatat dalam lontar-lontar yang bernas. Gerakan itu akan mengindonesia, bila didukung oleh berbagai elemen masyarakat, terutama RMI pusat sampai Ranting, Diktis, Dikti, DitPDPontren dan didukung oleh halaqah-halaqah kepenulisan.
Bila "gerakan" ini mampu digerakkan, maka beberapa tahun kedepan, pesantren akan menjadi pusat intelektual yang luar biasa, perpus digital dan nondigital akan dipenuhi dengan karya santri, maka tidakakanada ketakutan lagi"kecolongan pemahaman dari luar", karena ada kesadaran membaca dan menulis tinggi. Menulis akan menjadi sebuah kebudayaan bagi santri, sehingga setiap santri memiliki kesadaran menulis dan berdakwah lewat menulis.
Literasi Pesantren, Menjadi Tombak Terdepan
Perkembangan literasi di Nusantara, khususnya di Indonesian tidak terlalu menggembirakan, butuh usaha besar dan sungguh-sungguh dari berbagai pihak untuk selalu mendorong masyarakat Indonesia agar gemar membaca dan menulis.
Data yang cukup mengenaskan, dari 61 negara yang diteliti tingkat literasinya, menempatkan Indonesia peringkat kedua dari bawah, yaitu ke-60 setelah Bostwana. Prestasi yang tidak perlu terjadi, apalagi negara ini negara besar dan sudah cukup lama berdiri di dunia. Seharusnya, besarnya (banyaknya) juga sejalan dengan budaya literasinya.
Budaya literasi yang rendah, akan menyebabkan pengetahuan rendah, negara terbelakang, hoax bergelimang, dan serta sulit bangkit dari keterpurukan. Penyebab rendahnya minta tersebut, menurut beberapa pakar di Indonesia, karena; orang tua tidak mengenalkan literasi sejak dini, orang tua yang meletakkan buku sebagai sampingan dari belanja lainnya, orang tua lebih mendekatkan pada TV dari buku, sulitnya mengakses buku-buku, figur publik yang tidak suka literasi.
Hal di atas menjadi tugas kita bersama, membudayakan literasi, agar Indonesia menjadi negara maju, dan membukan peradaban baru Islam di Nusantara, maka harus ada gerakan yang masif untuk menggerakkan rakyat Indonesia untuk gemar membaca dan menulis (literasi), gerakan ini dapat dimulai dari pesantren, sebagai ujung tombak pembuka peradaban itu.
Pesantren sudah banyak melahirkan para cendikiawan, dan sejarah sudah mencatatnya dalam etalase emas, namun akan semakin luar biasa, bila ada gerakan sebagaimana gerakan Darul al-Hikmah dengan membuka penterjemahan dari berbagai bahasa ke dalam bahasa Indonesia dan pula menerjemahkan kitab-kitab pesantren Nusantra ke dalam bahasa Asing, serta disiapkan khusus perpustakaan pesantren 24 jam, dan adanya penerbit yang mengorbitkan buku-buku pesantren Nusantara, hal tertsebut dapat dikoordinir oleh RMI dan lembaga yang konsen dengan kepesantrenan.
Pesantren, sebagai lembaga yang pendidikan 24 jam ini, akan mampu banyak melahirkan para intelektual yang mengisi seluruh aspek kehidupan, dan melahirkan banyak inteletual dari berbagai disiplin ilmu, seperti lahirnya para santri “Bait a-Hikmah” pada masa Abbasiyah, dan santri dari “Darul Ilmi” pada Kerajaan Fatimiyah, serta lahir pula para ilmuan-ilmuan hebat dari “Darul Hikmah” di Mesir pada tahun 395 H.
Pesantren dengan aktifitasnya 24 jam, akan mampu membuat rakyat Indonesia melek huruf, pesantren sudah banyak melahirkan tokoh tokoh hebat, baik tokoh nasional, tokoh agama, pahlawan, dan lainnya. Maka, pesantren menjadi tombak terdepan untuk menghilangkan buta aksara, dan juga buta hati.
Untuk memulai gerakan mulia ini, maka RMI Kota Malang mulai menggandeng Pondok Pesantren Darun Nun Malang, dengan mengadakan sosialisasi “Pesantren Menulis Buku”, dan harapan kedepan, gerakan ini dapat dilakukan oleh RMI Pusat yang bekerjasama sama dengan PDPontren, serta lembaga-lembaga lainnya, sehingga “Gerakan satu Pesantren, satu Buku” akan benar-benar terwujud dengan baik. Dan dari Indonesia lahir para santri-intelektual-ulama dengan berbagai ta’lifat yang dibuat refrensi dalam berbagai disiplin ilmu. Allah’alam bil shawab.
Penulis adalah Wakil Ketua Rabithah al-Ma’ahid al-Islamiyah NU (RMINU) Malang, Pengasuh Pondok Pesantren Darun Nun, Dosen BSA UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, pendiri beberapa komunitas literasi.