Opini

Menata Arah Baru Lembaga Bahtsul Masa'il Nahdlatul Ulama

Sabtu, 4 Agustus 2007 | 03:44 WIB

HM. Cholil Nafis, MA
Ketua Panitia Rakernas I Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Rapat kerja (Rakernas I) Pengurus Pusat Lembaga Bahtsul Masail sengaja mengambil tema “Norma Hukum Islam Sebagai Spirit Legislasi Hukum Nasional” sebagai upaya mendialogkan teori yang maha luas yang terkandung dalam kitab kuning dengan realitas sosial guna mengantarkan bahtsul masail pada eksitensi substansialnya di tengah-tengah masyarakat..

Lembaga Bahtsul Masail (pengkajian masalah-masalah agama) merupakan forum resmi  organisasi Nahdltul Ulama yang memiliki wewenang untuk menjawab permasalahan keagamaan yang dihadapi warga nahdliyin. Munculnya lembaga ini karena adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam praktis (‘amaly) bagi kehidupan sehari-hari yang mendorong para ulama dan intelektual NU untuk mencari solusinya dengan melakukan bahtsul masail.

t;Organisasi Nahdlatul Ulama sejak berdirinya 31 Januari 1926 di Surabaya, memulai aktifitas penyelesaian masalah sosial melalui lembaga bahtsul masail. Pada mulanya Bahtsul Masa'il dilaksanakan setiap tahun, yaitu pada Muktamar I sampai dengan Muktamar XV (1926 - 1940). Namun karena keadaan yang kurang stabil berkaitan dengan meletusnya perang dunia II, maka pelaksanaan bahtsul masail juga tersendat-sendat mengiringi tersendatnya Muktamar

Ada tiga periode besar dalam perkembangannya bahtsul masail sebagai wadah ilmiah NU dalam mencari solusi setiap probleb hukum Islam yang dihadapi oleh masyarakat. Pertama, periode ta’sis (pembentukan). Peride ini dimulai sejak berdirinya NU dan dipraktekkan setelah beberapa bulan berikutnya sampai tahun 1990-an. Pembentukan bahtsul masail merupakan pelembagaan dan formalisasi kegiatan yang merupakan bagian dari proses pelaksanaan fungsi tradisional para kyai pesantren sebagai simbol otoritas keagamaan atas permasalahan keagamaan aktual (masa’il diniyyah waqii’iyyah) yang diajukan masyarakat atau pribadi yang menjadi unsurnya.

Kedua, periode tajdid (pembaharuan). Periode ini dimulai dengan keputusan Musyawarah Nasional tahun 1992 di Lampung yang memutuskan tentang metode pengambilan (istimbath) hukum untuk mengatasi kebuntuhan hukum (mauquf) karena tidak ada ibarat kitabnya, sampai tahun 2000-an. Dalam keputusan Munas tersebut, metode istimbath dibagi menjadi tiga tingkatan; metode istimbath qauli (termaktub ibarat kitab), metode ilhaqi (analogi masalah kepada masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya dalam ibarah kitab) dan metode manhaji (menetapkan hukum dengan cara mengikuti metode imam mazhab tentang masalah yang tidak bisa dijawab oleh metode qauli dan ilhaqi).

Ketiga, periode tashih wa taqnin (perbaikan dan legislasi). Periode ini dimulai dengan proses pembersihan terhadap paham yang ekstrim, baik kanan maupun kiri yang menyusup ke tubuh organisasi NU dengan cara peneguhan keputusan Munas lampung 1992 tentang metode istimbath hukum dilngkungan NU dan ditolaknya konsep hermeneutika sebagai metode ta’wil dilingkungan NU pada Muktamar NU ke 31 di Asrama Haji Donuhudan Jawa Tengah tahun 2004. Pada Muktamar itu juga dimulai pembahasan tentang kebijakan pemerintah dan undang-undang yang dibahas dalam komisi masail diniyyah qonuniyyah (masalah keagama perundang-undangan) tersendiri.

Sejak tahun 1926 sampai 2007 telah diselenggarakan bahtsul masail tingkat nasional sebanyak 42 kali. Namun karena ada beberapa Muktamar yang dokumennya tidak/belum ditemukan, yaitu Muktamar XVII, XVIII, XIX, XXI, XXII dan XXIV, maka berdasarkan dokumen yang dapat dihimpun, hanya ditemukan 36 kali bahtsul masail yang menghasilkan 536 keputusan. Keputusan-keputusan Lajnah Bahtsul Masail pada awalnya dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok.

Pertama adalah keputusan non-fiqih, yaitu keputusan yang tidak berkaitan dengan masalah hukum praktis. Kedua adalah keputusan hukum fiqh, yakni yang berkaitan dengan hukum-hukum praktis (’amaliy). Tetapi pada tahun 2000-an kebelakang keputusan-keputusan bahtsul masail diklasifikasi menjadi tiga tema besar. Pertama, waqi’iyah. Yaitu membahas tentang masalah-masalah keagamaan yang berkaitan dengan halal dan haramnya suatu masalah. Kedua, maudlu’iyah. Yaitu membahas masalah-masalah aktual tematik yang perlu disikapi oleh warga nahdliyin. Ketiga, qanuniyah, yaitu membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan respons NU terhadap kebijakan publik, undang-undang dan khususnya Rencangan Undang-Undang.

Karena kita sadar bahwa bahtsul masail adalah upaya formalisasi dan pelembagaan fungsi kyai sebagai muftiy, mau tidak mau ia mengadopsi juga karakteristik paling menonjol dari sebuah fatwa: ketiadaan daya ikat. Secara teoretik, fatwa yang dikeluarkan tidak memiliki kekuatan untuk mengikat siapapun, bahkan si mustafti, pihak yang secara aktif berkepentingan terhadap lahirnya fatwa itu sendiri. Mustafti yang merasa tidak puas dengan suatu fatwa bisa saja mengajukan masalah yang sama kepada mufti lain untuk memperoleh second opinion (pendapat lain)

Keputusan-keputusan bahtsul masail yang dibahas secara susah-payah, memeras keringat, pikiran dan waktu tidak serta merta mengikat hukum menjadi kewajiban warga nahdlyin untuk mematuhinya, apalagi umat diluar nahdliyyin. Fenomena ini sebetulnya merupakan bagian dari fatwa yang bersifat himbauan moral bukan kepastian hukum yang berimplikasi pada sanksi dan juga merupakan bagian dari proses demokratisasi fiqh Islam. Kedudukan hasil bahtsul masail seperti ini, kontribusinya kepada perbaikan tatanan sosial kurang maksimal. Padahal hasil-hasil keputusan bahtsul masail banyak sekali yang dapat diadopsi sebagai nilai, spirit dan prinsip-prinsip hukum nasional.

Fenomena hukum nasional sekarang ini menunjukkan bahwa banyak sekali agenda perundang-undangan yang membutuhkan gagasan segar, asli dan muncul dari tradisi masyarakat. Misalnya, Peradilan Agama yang belum memiliki undang-undang yang dijadikan sumber hukum materinya, revisi undang-undang perkawinan tahun 1974, rencana undang-undang keuangan syariah yang memerlukan lebih banyak payung hulum Islam yang kreatif dan responsif.

Ditambah lagi, semangat keagamaan yang hendak mengisi kemerdekaan makin menguat di daerah-daerah untuk menyerap norma hukum Islam. Fenomena ini menunjukkan begitu banyaknya permintaan (demand) bahan baku legislasi dari pada pesokan (supply) sumber bahan baku.  Sehingga terkadang pemahaman indvidu atau kelompok yang tidak memiliki tepat dan komprehensif tentang hukum Islam dipaksakan menjadi pemahaman keagamaan untuk diformalkan dalam bentuk legislasi.

Fokus bahtsul masail ke arah proses legislasi ini bukan bentuk ideologi teokratik yang berobsesi menerapkan syariat Islam secara membabi buta. Ini adalah bagia sikap kreatif dan responsif dalam mengisi kemerdekaan yang secara final berdasarkan Pancasila dan UUD 1945  serta untuk menyikapi perkembangan dan tantangan aktual. Dan salah satu tantangan aktual adalah adanya kebutuhan akan legislasi yang bersumber dari hukum yang hidup di masyarakat. Maka bahtsul masail menyiapkan sumbangan pemikiran yang bisa menjadi bahan mentah proses legislasi itu.

Pengalihan bahasa fiqh hasil bahtsul masail kepada bahasa peraturan dan undang-undang modern  memerlukan keterampilan dan bahan yang lebih komprehensif, pembahasan lebih utuh, legal drafting yang lebih khas. Ini tantang baru bagi bahtsul masail. Kesadaran ini telah dirintis sejak Muktamar NU ke 31 di Asrama Haji Donuhudan Jawa Tengah tahun 2004 yang secara khusus membentuk komisi masail diniyyah qanuniyyah (masalah keagamaan perundang-undangan) selain masail diniyyah waqi’iyyah (masalah keagamaan aktuan), dan masail diniyyah maudlu’iyyah (masalah keagamaan tematik).

Oleh karena itu, Rakernas I sebagai kegiatan kelembagaan pertama diharapkan bisa menjadi pijakan dan forum untuk memantapkan kegiatan-kegiatan organisasi Lembaga Bahtsul Masail dalam menjalankan dasar-dasar keorganisasian yang telah digariskan oleh para masyayikh (para kyai) dan keputusan-keputusan organisasi dalam Muktamar NU ke 31 dalam bentuk program  yang mampu menjawab kebutuhan keagamaan masayarakat. Semoga....