Opini

Menanti Kebangkitan NU di Usia Satu Abad

Jum, 8 Oktober 2021 | 09:30 WIB

Menanti Kebangkitan NU di Usia Satu Abad

Ketum PBNU, KH Said Aqil Siroj dan Katib 'Aam PBNU, KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dalam momen Harlah ke-94 NU pada 2020 di PBNU Jakarta. (Foto: NU Online/Suwitno)

Pada 2026 mendatang atau sekira lima tahun lagi, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), akan berusia 100 tahun atau satu abad. Berbagai dinamika telah dialami dengan peran NU yang sangat signifikan dalam membangun peradaban di Indonesia, bahkan di tingkat global.


Kini, NU sedang menuju perhelatan akbar Muktamar ke-34 yang akan digelar di Provinsi Lampung, pada 23-25 Desember 2021. Kepengurusan NU mendatang, tentu akan berjalan lima tahun hingga NU menginjak usia satu abad.


Hal paling menarik dari gelaran Muktamar NU bukan soal pergantian ketua umum atau kepengurusan, tetapi soal pertarungan gagasan yang akan membawa NU ke arah perubahan yang lebih baik. Terutama, dalam menyongsong usia satu abad kelak.


Kita semua sudah mafhum, NU telah banyak ‘memakan’ asam-garam kehidupan dengan seluruh lika-likunya. Salah satunya, NU harus menerima kenyataan pahit selama masa kepemimpinan totaliter Presiden Soeharto, 32 tahun. 


Para kiai dan aktivis NU, selama itu, nyaris tak diberi kesempatan untuk berperan di sektor-sektor penting pengelolaan negara ini. Bahkan, jalan orang NU selalu saja dihalang-halangi untuk menjadi pegawai negeri. Wirausaha yang dilakukan warga NU di akar rumput pun kembang-kempis.


Selama lebih dari tiga dasawarsa itu, para alumni pesantren tidak bisa jadi pegawai. Saat hendak berwirausaha juga tidak didukung alias dianaktirikan oleh Soeharto. Pada masa itu, sama sekali tidak ada kesempatan bagi santri NU untuk bergulat mengembangkan kapasitas peran. 


NU tidak diberi kesempatan untuk membangun rekam jejak sejarah di berbagai bidang. Hal ini tentu saja berdampak saat NU mulai memasuki era reformasi dengan berbagai keterbatasan sumber daya manusia, jika dibandingkan dengan yang lain. 


Namun, kini keadaan mulai membaik. Sebab reformasi memang membuka pintu bagi semua orang, tanpa terkecuali. Berbagai tuntutan perjuangan untuk masa depan sangat diperlukan dengan mengharuskan akselerasi pembangunan kapasitas kader secara lebih progresif. Karenanya, NU yang bermakna kebangkitan ulama sangat membutuhkan kebangkitan. 


Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dalam buku Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (2020) memiliki gagasan untuk membangun kebangkitan NU di masa depan. Terdapat tiga poin kebangkitan yang harus dilakukan NU dengan berbagai kekayaannya. Ketiganya adalah kebangkitan intelektualisme, teknokrasi, dan kewirausahaan. 


Pertama, kebangkitan intelektualisme. Hal ini lebih dari sekadar kesarjanaan yang hanya berfokus pada kapasitas akademik. Intelektualisme menggabungkan penguasaan atas khazanah akademik, perhatian sepenuh hati terhadap realitas masyarakat, dan pergulatan pemikiran untuk meretas jalan keluar dari berbagai problematika umat. 


Gus Yahya memaparkan perbedaan antara akademisi dan seorang intelektual. Menurutnya, seorang akademisi hanya tenggelam dalam buku-buku, laboratorium, dan kuesioner-kuesioner penangguk data. Sementara seorang intelektual mampu hadir ke tengah pergulatan masyarakat mengarungi realitas. 


Strategi untuk membangun kebangkitan intelektualitas memerlukan wahana dan berbagai instrumen yang telah banyak tersedia di lingkunan NU. Sesuatu yang dibutuhkan selanjutnya adalah mengembalikan orientasi aktivisme di berbagai wahana itu dan pengelolaan instrumen-instrumen secara lebih sistematis. 


Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai salah satu instrumen penting dalam kaderisasi intelektual NU di perguruan tinggi harus memikirkan model kaderisasi yang tidak hanya lebih memacu pengembangan kapasitas akademik. Namun mesti juga terlibat dalam jejaring kepemimpinan masyarakat yang strategis. 


Sementara pesantren sebagai tempat persemaian bibit NU juga perlu membuka diri terhadap realitas faktual masyarakat, mulai dari lingkungan lokal hingga realitas global. Pesantren tidak cukup dengan wacana normatif yang selama ini mendominasi tradisinya. 


Gus Yahya menggarisbawahi bahwa strategi kebangkitan intelektualisme di tubuh NU juga harus bertumpu pada upaya menguhubungkan berbagai jaringan, baik di luar maupun di dalam NU. Di antaranya jaringan kiai-kiai, kalangan kampus, bahkan jaringan politik dan ekonomi, di dalam negeri dan lingkup internasional, dalam kerangka pergulatan untuk menjawab berbagai persoalan keagamaan, sosial, pendidikan, ekonomi, dan kemanusiaan. 


Kedua, kebangkitan teknokrasi. Di era reformasi ini, teknokratisme dan kepakaran luruh. Pada praktiknya, orientasi masyarakat dipandu oleh kaum selebritas yang dibesarkan dengan techno-marketing atau metode pemasaran melalui pemanfaatan kecanggihan teknologi. 


Akhirnya, para pemimpin selebritas pun hadir mengisi berbagai ruang di segala bidang. Mulai kalangan politisi, pendakwah, jurnalis, intelektual abal-abal, hingga sekadar orang iseng. Menurut Gus Yahya, teknokratisme di era reformasi telah digeser oleh ‘selebritisme’ dan ‘kesohorisme’. 


Gus Yahya beranggapan, agenda peradaban NU menuntut tranformasi menyeluruh pada segenap warganya melalui strategi yang terencana dan terkelola dengan cermat. Pada konteks ini, jamiyah sebagai sistem kepemimpinan dan kepengurusan harus difungsikan menjadi generator transformasi dengan teknokrasi yang berperan sebagai tulang punggungnya.


Dengan menerapkan kualifikasi perekrutan pengurus, NU sebagai organisasi akan mendapatkan ‘bahan mentah’ untuk membangun teknokrasi, sebagaimana pemerintah merekrut pegawai negeri. Sementara pergulatan berbagai dinamika di dalam organisasi akan mengasah keterampilan teknokratik para kader.


Ketiga, kebangkitan kewirausahaan. Menurut Gus Yahya, kewirausahaan tidak melulu soal ekonomi tetapi juga sosial di saat orang-orang menggagas, merintis, serta mengembangkan suatu lembaga yang menyediakan layanan masyarakat secara rela dan tidak mengambil keuntungan ekonomi. Kebangkitan kedua jenis kewirausahaan itu sangat diperlukan oleh NU. 


Akibat marginalisasi di selama orde baru, postur warga Nahdliyin hingga kini, secara demografi dan budaya, masih didominasi oleh kalangan petani dan warga sektor informal. Karena itu, dalam menghadapi dunia yang serba rentan, tak menentu, dan abu-abu, masyarakat perlu didorong agar mengadopsi karakter tangkas, ulet, dan luwes.


Kewirausahaan merupakan wahana paling tepat untuk memupuknya. Pada saat yang sama, kewirausahaan juga tampak sebagai pilihan paling masuk akal untuk membangun ketahanan dan independensi ekonomi. 


Kekayaan dan kekuatan NU

Dalam menyongsong kebangkitan di usia satu abad, diperlukan sebuah kekuatan dan kekayaan sebagai penyangga utamanya. Kebangkitan tidak mungkin bisa dirasakan tanpa adanya kekuatan. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian para pengurus NU atau warga Nahdliyin pada umumnya.


Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam sebuah ceramahnya yang ditayangkan TVNU, menyampaikan beberapa hal yang menjadi kekuatan NU. Bahkan sebagian golongan, baik kiri maupun kanan, tak segan-segan ingin menyingkirkan kekuatan dan kekayaan NU itu.


Pertama, NU memiliki kekayaan masyarakat dengan jumlah yang sangat besar. Meski begitu, masyarakat yang banyak itu belum seluruhnya terafiliasi dengan organisasi. Dalam kata lain, jamaah belum menjadi jamiyah atau jamaah belum diarahkan dengan benar dan dipergunakan sebagaimana mestinya. 


Berdasarkan data Lingkaran Survei Indonesia yang dirilis pada 2020 dan dilakukan pada Februari 2019 mencatat, jumlah warga NU mencapai 49,5 persen atau sekitar 108 juta orang dari jumlah penduduk Muslim Indonesia sekitar 229 juta orang.


Kehadiran program pembuatan Kartu Tanda Anggota Nahdlatul Ulama (Kartanu) yang digagas Tim Kesekjenan PBNU berupa aplikasi di ponsel pintar, akan membuat pendataan warga NU di seluruh Indonesia, bahkan di dunia, dapat lebih baik dan terorganisasi secara lebih sistematis.


Kedua, NU memiliki kekuatan dan kekayaan budaya. Sebab NU dalam berbagai ruang dakwah kerap memadukan antara budaya dan agama. Hal ini merupakan sebuah warisan penting dari para walisongo saat menyebarkanluaskan Islam di Bumi Nusantara. 


Berbagai kebudayaan yang dibalut dengan kemasan lebih baik berupa nilai-nilai keagamaan itu adalah tradisi haul, maulidan, selamatan orang hamil, tahlilan, shalawatan, dan ziarah kubur. Buday aini sudah menjadi keseharian yang melekat dan menjadi ciri khas di dalam masyarakat NU.


Ketiga, NU memiliki kekuatan berupa simbol yang sudah dan mudah teridentifikasi. Kiai Said menyebutkan, simbol-simbol itu berupa peci hitam dan sarung. Meski belum tentu orang NU, tetapi sebagian besar orang akan menganggap peci hitam dan sarung merupakan simbol NU.


Keempat, dengan jumlah massa yang sangat besar sebenarnya NU memiliki kekuatan politik dalam tata kelola negara ini. Jika NU memiliki kekuatan penentu dalam ranah politik tentu pengaruhnya sangat besar terhadap umat.


Namun lagi-lagi, akibat hegemoni pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang menganaktirikan NU di berbagai peran kenegaraan membuat ormas Islam terbesar di Indonesia ini masih tertatih-tatih dalam mengelola kekayaan dan kekuatan politik.


Menurut Kiai Said, saat ini NU masih sangat jauh tertinggal di bidang politik. Kelompok ekstrem kiri dan kanan selalu saja takut apabila NU memiliki kekuatan dalam politik. Karena itu, tak heran jika NU seringkali kesulitan untuk masuk ke ranah politik.


Kelima, kekuatan ekonomi. Lagi, dengan jumlah massa yang sangat besar sebenarnya NU mampu mengelola kekuatan ekonomi menjadi sebuah kekayaan bersama. Sudah banyak orang yang secara kultur NU menjadi pengusaha, bahkan ada Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN), tetapi kekuatan-kekuatan ekonomi itu belum dapat disatukan.


Padahal, jika kekuatan ekonomi para pengusaha di lingkungan NU itu disatukan maka konglomerat mana pun di Indonesia tidak bisa menyaingi dan menandingi kekayaan ekonomi NU. Inilah yang masih menjadi catatan Kiai Said untuk menciptakan kebangkitan NU di usia satu abad. 


Dengan demikian, mengacu pada penjelasan di atas, baik gagasan Gus Yahya maupun Kiai Said, kita dapat melihat optimisme bahwa di usia 100 tahun pertama, NU akan mengalami kebangkitan yang tak terduga. Namun dengan catatan, agar semua kekayaan dan berbagai wahana atau perangkat pendukung di dalam lingkungan NU dapat terorganisasi dan tersistematisasi secara baik.


Inilah yang juga mesti diperhatikan agar gelaran muktamar mendatang tidak hanya menjadi ajang kontestasi perebutan kursi kepengurusan, tetapi ada pula gagasan baru yang dapat membawa NU menjadi organisasi yang dapat membawa angin segar bagi perubahan peradaban di dunia.


Aru Lego Triono, Nahdliyin Bekasi