Oleh: Badrul Munir
Memasuki tahun ajaran baru seperti saat ini kita melihat fenomena semangat orang tua untuk menyekolahkan anak mereka di pondok pesantren (mondok). Hal ini berbeda dengan 20-30 tahun yang lalu di mana mondok hanyalah 'kebiasaan' orang desa dan sosial ekonomi bawah. Sedangkan orang kota dan menengah ke atas memandang sebelah mata pesantren, mereka lebih senang menyekolahkan anaknya di sekolah favorit, baik negeri maupun swasta.
Fenomena mondok ini dikarenakan semakin baiknya kualitas pendidikan di pesantren sehingga mendapat kepercayaan masyarakat, dan ditambah kegalauan orang tua terhadap masa depan anaknya. Perkembangan dunia yang memberi dampak negatif bagi anak dengan maraknya peredaran narkoba, seks bebas, kenakalan remaja serta dampak perkembangan teknologi informasi yang begitu deras, menyadarkan orang tua betapa pentingnya memberi bekal agama dalam pendidikan mereka,
Keterbatasan waktu dan pemahaman orang tua terhadap penguasaan agama mendorong mereka untuk mengirim putra putri mereka ke sebuah lembaga pendidikan pesantren seperti fenomena saat ini. Dengan perasaan yang berat, haru dan sayang mereka melepas putra-putri kesayangan untuk hidup di pondok untuk menuntut ilmu. Ungkapan rasa itu sering kita dapatkan di media sosial.
Pesantren Pembentukan Karakter
Salah satu hal yang hilang dari pendidikan nasional saat ini adalah kurang penekanan pembentukan karakter siswa (ahlak) dan lebih banyak pembentukan kognisi (kecerdasan). Akibatnya pelajaran utama yang ditekuni hanyalah pelajaran yang diujikan di ujian nasional dan prestasi itu yang menjadi tolak ukur keberhasilan sekolah tersebut.
Akibatnya ada gap lebar antara kecerdasan intelektual dengan kecerdasan emosional-sosial (akhlak). Padahal dalam dunia yang sesungguhnya, karakter (ahlak) sesorang lebih penting daripada kecerdasan.
Hidup dan belajar di pesantren menyebabkan santri akan terbentuk karakternya sehari-hari. Kehidupan sederhana, 'memaksa' santri untuk mandiri, disiplin, kerja sama, saling menolong dan mudah bersimpati. Hal ini didapat dari memori kehidupan pondok yang tertanam kuat di otak mereka.
Apalagi bila kurikulum pendidikan pesantren yang bagus akan mudah mengolaborasikan pembentukan karakter tersebut dengan kecerdasan intelektual. Inilah yang menjadi kelebihan pesantren di mana mereka belajar secara langsung (hand on) hidup sesuai agama dan kiai-pengajar pondok-sebagai role model. Sehingga, saat lulus dari pondok pesantren bukan hanya hebat ilmunya (teori), tapi sudah terbentuk karakternya atau akhlaknya.
Tetap Bijak
Namun demikian, bagi orang tua harus tetap bijak dalam semangat mengirim anaknya ke pesantren, mulai saat memilih pesantren, maupun ketika sudah masuk pondok. Saat memilih pesantren pastikan pilihannya tepat, baik dalam hal paham pesantren maupun kebutuhan calon santri. Hal yang tak kalah penting, pastikan pesantren tersebut beraliran Ahlussunah wal Jamaah Annahdliyah.
Kedua, sesuaikan dengan tujuan mondok. Lihatlah kurikulum pondok tersebut, apakah fokus untuk menghafal Al-Qur'an, atau pondok secara umum yang juga sekolah formal. Satu hal yang juga harus pikirkan adalah langkah setelah lulus dari pondok pesantren tersebut, apakah melanjutkan ke pondok pesantren dengan pendalaman agama, atau meneruskan di perguruan tinggi di dalam negeri atau akan lanjut ke luar negeri.
Saat sudah di pondok, pastikan orang tua bisa mengikuti perkembangan anak mereka. Walaupun sudah berada dalam bimbingan kiai, tetapi orang tua tetap berwajiban memantau perkembangan belajar anak. Terkadang ada segelintir santri yang memiliki masalah. Jangan sampai hal itu memengaruhi apalagi membawa dampak negatif bagi anak-anak kita.
Sebagai penutup, semangat orang tua menyekolah anak ke pesantren adalah fenomena yang sangat baik. Semoga kelak terbentuk generasi penerus yang islami, kokoh dan hebat. Bukan hanya di dunia tetapi lebih dari itu, anak shalih shalihah adalah investasi akhirat orang tuanya yang kelak bisa mendoakan dan menuntun menuju surga.
Penulis adalah Dosen FK Universitas Brawijaya, penulis buku 'Neuroreligi', dan alumni pesantren