Opini

Memindahkan Negeri Saba ke Indonesia

NU Online  ·  Kamis, 26 Mei 2016 | 00:00 WIB

Memindahkan Negeri Saba ke Indonesia

Ilustrasi (wikispaces)

Oleh Ahmad Mutiul Alim

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍكُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ  بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

"Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): ‘Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun’.” (QS. As-Saba: 15)

Ayat di atas seringkali kita dengar ketika berbicara dalam konteks sebuah negara ideal, yakni negeri yang aman, bebas korupsi, sejahtera, dan berbagai atribut yang -setidaknya- mengkonter problem pelik bangsa selama ini. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr yang menjadi cita-cita tertinggi ini haruslah disadari bukan permainan sulap atau sihir dimana dapat diwujudkan dalam sekejap. Sayyid Quthub dalam Tafsir fi Zilal Al-Qur’an menyebut bahwa baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur merupakan negeri yang mendapatkan kemakmuran di bumi dan ampunan di akhirat. Sedangkan ar Razi dalam tataran yang lebih konkret menyatakan bahwa negeri ideal adalah negara yang bebas wabah penyakit, terjamin keamanannya, serta tidak terjebak dalam dunia materialistik.

Dari pendapat kedua mufassir tersebut, terdapat dua indikator yang dapat mewujudkan sebuah negara ideal. Kedua indikator ini merupakan sebuah kronologis yang dapat mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Pertama, negara ideal harus terbebas dari segala tindak kriminalitas yang dapat merugikan kelompok masyarakat. Konkretnya, bebas korupsi. Korupsi sampai detik ini bertanggungjawab atas 28 juta rakyat Indonesia yang masih berada di bawah garis kemiskinan. Apa sebab? Korupsi memutus anggaran pemberdayaan masyarakat, yang menyebabkan program pembangunan tersendat. Tersendatnya program pembangunan menyebabkan ketimpangan antar wilayah. Ketimpangan antar wilayah melahirkan perbedaan harga jual-beli, yakni semakin ke Timur semakin mahal. Fenomena inilah kemudian yang menyebabkan terjadinya kemiskinan. Lihat, dari NTT ke Maluku, hingga Papua. Ketiga provinsi ini, meski mendapatkan anggaran yang cukup tinggi dari pusat, berkat korupsi, sampai saat ini masih belum bisa melepaskan diri dari kategori daerah tertinggal dan terbelakang.

Dari praktik korupsi kemudian memunculkan wabah penyakit, karena infrastruktur dan fasilitas kesehatan sangat buruk. Keamanan? Coba lihat di daerah-daerah tertinggal, konflik masih sangat rawan. Sebut saja Maluku, Papua, dan Poso. Buruknya fasilitas kesehatan bahkan pernah saya rasakan ketika saya tengah berada di sebuah daerah Sumatera Selatan, di mana untuk menuju rumah sakit diperlukan waktu hingga satu jam. Padahal daerah yang dimaksud berada di jalur lintas Sumatera.

Indikator kedua, negara ideal merupakan negara yang mengimplementasikan nilai-nilai ketuhanan. Jangan salah paham, nilai-nilai ketuhanan yang saya maksud juga bukan negara yang di dalamnya setiap kelompok mengklaim kebenaran agama dan aliran masing-masing. Justru ini menjadi biang keladi kerusuhan dan pengabaian nilai kemanusiaan yang sudah terjadi selama sejarah kehidupan manusia. Implementasi nilai-nilai ketuhanan erat kaitannya dengan hablun minan nas dan hablun minal 'alam, yakni membumikan keyakinan beragama dalam bentuk perbuatan saling mengasihi antarmanusia dan lingkungan hidup. Tentu saja di antaranya dengan memberikan kebebasan dalam berkeyakinan. Ingat, Islam dalam salah satu dimensinya merupakan agama yang menekankan aspek sosial. Dalam penjabaran kontitusi Islam (baca: Al-Qur’an) yakni rukun Islam, zakat, puasa, dan haji tergolong berdimensi sosial. Oleh karena itu pelaksanaan ibadah bagaimana pun memiliki konsekuensi dan tanggung jawab sosial.

Dalam ayat di atas, Negeri Saba menjadi role model negera yang ideal. Meski begitu, percontohan ini tidak boro-boro menjadikan ayat ini hanya diam dalam kungkungan sejarah. Meminjam istilah Nashr Hamid Abu Zaid, Al-Qur’an merupakan teks budaya, yakni turunnya ayat-ayat Al-Qur’an tidak terlepas dari konteks sosial dan budaya yang dialami oleh manusia. Karenanya, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr dalam hal ini dapat diterapkan oleh negara mana pun, yang memenuhi syarat-syarat pendukung terwujudnya negara ideal.

Kemudian, melihat visi dan misi pemerintahan Jokowi-JK yang terbingkai dalam Nawacita, terwujudnya sebuah negara ideal bukan hal yang mustahil. Melalui Nawacita ke-3 yakni "membangun Indonesia dari pinggiran", presiden Jokowi saat ini tengah berupaya melakukan pembangunan akar rumput. Desa sebagai bentuk negara dalam miniatur kecil, diberikan kewenangan dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat melalui Dana Desa, Alokasi Dana Desa serta Dana Alokasi Desa. Melalui otonomi yang diberikan pusat kepada desa, diharapkan sebuah pembangunan dan pemberdayaan masyarakat berjalan serempak secara nasional, sehingga ketimpangan antarwilayah dan kemiskinan yang berjumlah 28 juta jiwa dapat berkurang.

Pertanyaan mendasar dari semua ini adalah apakah kita sebagai manusia Indonesia sadar bahwa segala persoalan yang mendera bangsa kita dewasa ini merupakan tanggung jawab kita, dan kita semua adalah solusi paling mujarab dalam menyelesaikannya. Kesadaran manusia sebagai khalifah yang mengemban tugas sebagai citra Tuhan di alam semesta harusnya tumbuh dan menjadi hal yang paling mendasar dari semua tindak-tanduk kita selanjutnya.

Jika Nabi Sulaiman memindahkan Negeri Saba—yang kaya raya dan makmur—dalam sekejap, mampukah kita menjadi Sulaiman dan mewujudkan the new Saba di negeri pertiwi ini? Wallahu a'lam.

Penulis adalah Pengurus Cabang PMII Jakarta Selatan