Opini

Memilih Pemimpin

NU Online  ·  Rabu, 18 April 2018 | 14:15 WIB

Oleh Moh Salapudin 

Sebentar lagi Indonesia punya hajat demokrasi berupa pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2018, tepatnya  hari Rabu Pon tanggal 27 Juni 2018. Ada 171 daerah yang akan menggelar Pilkada serentak baik untuk gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.

Persoalannya adalah dari 171 daerah yang akan menggelar pilkada serentak, sudahkah rakyat yang memiliki hak pilih tahu siapa calon pemimpin daerah yang akan mereka percaya dan amanati selama 5 tahun ke depan ? Masalah klasik kita, orang awam, dalam memilih pemimpin seperti presiden, gubernur, dan bupati, adalah tidak mengenal mereka secara dekat. 

Kita rabun terhadap kepribadian dan perilaku mereka sehari-hari. Kita ibarat memilih kucing dalam karung. Tak tahu wujud rupanya, memilih sedapatnya. Dengan berkembangnya media massa dan media sosial mungkin masalah itu sedikit teratasi. Kita bisa melihat dan menilai figur calon pemimpin melalui siaran media. 

Tetapi di era di mana media dikapitalisasi oleh sekelompok orang yang berafiliasi dengan partai politik, penggambaran media terhadap tokoh tertentu tidak bisa menjadi pegangan. Pasalnya, seringkali media sengaja mencitrakan tokoh tertentu sebagai calon pemimpin yang ideal, ternyata tokoh tersebut merupakan kader partai pemilik media. Atau sebaliknya, kerap kali media menggambarkan figur tertentu sebagai orang dengan integritas rendah, ternyata tokoh tersebut adalah lawan politik si pemilik media. 

Kalau berimbang sih tak masalah, yang jadi masalah adalah mereka tidak mengamalkan apa yang disebut "cover both side". Kepada kadernya, media menampilkan yang baik-baik saja. Mereka poles agar seolah-olah kadernya adalah benar-benar calon pemimpin ideal. Tetapi kepada lawan politiknya, yang ditampilkan yang buruk-buruk terus. Tujuannya agar publik menilai bahwa calon tersebut bukanlah calon ideal.

Lalu melalui apa/siapa orang awam bisa mengenali calon pemimpinnya?

Di tengah kehidupan yang penuh dengan kepalsuan (atau pencitraan kalau dalam terminologi politik), di mana yang kita anggap baik terkadang ternyata buruk dan yang kita anggap buruk ternyata terkadang baik, satu-satunya yang bisa kita lakukan, menurut anjuran Cak Nun, adalah melibatkan Tuhan dalam setiap proses pemilihan. 

Lain dengan media, Tuhan senantiasa menuntun kita kepada kebaikan. Sebab apa-apa yang baik, semua berasal dari Tuhan, sebaliknya, apa-apa yang buruk semua berasal dari kita. 

Tetapi pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mengimplementasikan anjuran Cak Nun, menyertakan Tuhan dalam setiap proses pemilihan pemimpin? 

Salah satu ikhtiar yang bisa kita lakukan adalah dengan ndherek ulama atau kiai. 

Saya kira, di era sekarang kiai harus mengambil peran dalam dunia politik. Minimal, mereka perlu mengenal dan menyeleksi satu (atau lebih) figur politik tertentu untuk kemudian juga menjadi pilihan para santrinya.

Cara ini saya kira cukup efektif karena relasi santri-kiai dipagari oleh ungkapan "sami'na wa atho'na". Dalam tradisi pesantren, santri selalu memegang prinsip bahwa apa pun yang dilakukan oleh kiai, adalah sesuatu yang benar. Atau minimal mereka meyakini, bahwa kiai tidak mungkin menjerumuskan santrinya ke dalam kesesatan.

Kiai juga dipandang sebagai orang yang memiliki tingkat spiritual tinggi dan mempunyai kedekatan dengan Tuhan, sehingga setiap keputusan yang diambilnya tentu sudah menyertakan Tuhan. Termasuk dalam hal memilih figur politik tertentu.

Lalu bagaimana bila antar satu kiai dengan kiai lain memiliki figur politik yang berbeda?

Hal itu bukanlah sesuatu yang perlu disesali, sebaliknya, justru perlu kita syukuri. Artinya, figur-figur politik kita banyak yang didukung dan direstui oleh orang yang punya tingkat spiritual tinggi.

Kalau yang terjadi demikian, pilihan politik kita berarti lebih terbuka. Kita tinggal ndherek kiai sesuai kemantapan hati. Saya kira, ndherek kiai (guru) kita lebih etis secara moral.

Yang perlu diingat dan kita sadari, kiai hanyalah berijtihad, berupaya dan setiap ijtihad tidak bisa disalahkan. Sebab kalau keliru dinilai satu pahala, dan kalau benar diganjar dua pahala. Artinya kalau kemudian figur politik pilihan kiai kita ternyata bukanlah figur yang benar-benar berintegritas, kita tidak bisa lantas menyalahkan kiai. 

Memang idealnya setiap orang harus melek politik, minimal mengenali figur politik. Tetapi faktanya memang banyak yang tidak sempat ngurusi politik, karena kendala akses, atau alasan lainnya. Nah, mereka-mereka yang awam inilah yang, ketimbang asal pilih, lebi baik ikut pilihan kiai. Wallahu A'lam. 

Penulis adalah Kontributor NU Online wilayah Semarang