Oleh Aswab Mahasin
Menurut data, indeks kesejahteraan di Indonesia terlihat berkembang pesat ketika masyarakat Indonesia sedang “bermimpi/berkhayal”. Namun, ini hanya data ala Cak Lontong. Yang hanya bisa dipertanggung jawabkan pada “Republik Dagelan”. Karena itu, mari kita bangun, bangunkan jiwamu, bangunkan badanmu, dan gelorakan semangatmu untuk Indonesia Raya.
Dalam hal ini, kita tidak akan berbincang mengenai data ekonomi, data kesejahteraan, data apa pun yang menyangkut hal tersebut. Melainkan, sebuah refleksi ringan untuk membangkitkan gairah kita dalam menyongsong masyarakat yang lebih ceria.
Setiap hari, di berbagai media elektronik ataupun cetak, online maupun offline—kritik tajam terhadap pemerintah selalu ada, tidak satu atau dua. Susah dihindari, hal tersebut pasti ada pada sebuah negara, walaupun sistem kerajaan. Apalagi Indonesia dengan alam demokrasi terbuka, ada dua kubu, koaliasi dan oposisi.
Hal wajar sebenarnya, seperti kecintaan seseorang terhadap pahlawan dan para tokoh Indonesia, tidak sedikit mereka cinta Soekarno, dan tidak sedikit juga dari mereka mengktitik Soekarno, begitupun dengan Hatta, Tjokroaminoto, Soeharto, dan seluruh Mantan Presiden Indonesia. Namun, tidak bisa dipungkiri—yang dicinta dan dibenci adalah sekelompok tokoh yang telah menyumbangkan banyak jasa untuk Indonesia.
Inilah lucunya Indonesia, selalu bahagia dan terhibur ketika melihat orang saling menjatuhkan, saling menghardik, dan saling ribut. Lantas apa sebenarnya peran positif kita untuk Indonesia? Renungkan saat ini juga.
Seperti sekarang, ramai-ramai setiap tahun tepatnya disetiap bulan September, Indonesia rutin dihebohkan oleh serangkaian berita mengenai pertentangan sejarah G30S/PKI. Di tahun ini, belum genap September habis, berita mengenai G30S/PKI sudah mewabah di setiap media, apalagi didukung dengan kejadian dramatis di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Saya berbicara ini hanya seklumit saja, sebagai pengantar—bukan kapasitas saya untuk bicara berlebih.
Anehnya, dari setiap golongan, memegang teguh sejarah yang dipahaminya, saya baca diberbagai media, salah satunya media online, ada 6 tafsiran mengenai G30S/PKI, Anda bisa cari sendiri informasinya,saya tidak mau terjebak panjang lebar.
Dalam tulisan ini yang ingin dibangun adalah, Indonesia sudah terlalu lelah dengan intrik-intrik yang tidak mencerahkan. Pekerjaan rumah Indonesia masih seabrek, dari mulai korupsi, kesejahteraan belum merata, keadilan tumpang tindih, toleransi belum berimbang, dan sebagainya. Masalah-masalah tersebut seharusnya yang menjadi concern bangsa ini untuk menatap jauh kedepan.
Sejarah memang penting, namun lebih penting membuat sejarah (berkualitas). Sekarang momen yang tepat menggelorakan api optimisme Indonesia,bertepatan dengan “Tahun Baru 1 Muharram 1439 H” bisa dijadikan sebagai proses perjalanan ke dalam diri bangsa kita, apa yang salah dari bangsa ini?
Bagi pemahaman saya, akar masalah dari bangsa kita adalah tipisnya pemahaman kita tentang “nilai”. Nilai sendiri menurut Louis O. Kattsoff ada dua, (1) Nilai Intrinsik, yakni nilai dari sesuatu yang sejak semula sudah bernilai, dan (2) Nilai Instrumental, ialah nilai dari sesuatu karena dapat dipakai sebagai sarana untuk mencapai tujuan sesuatu.
Indonesia mempunyai sebuah nilai yang asal mula kelahirannya sudah bernilai, seperti Pancasila, Undang-undang Dasar 45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Ke-4 prinsip nilai tersebut dijadikan oleh bangsa kita sebagai pedoman laku kita dalam merajut kualitas bangsa.
Sudah kita ketahui bersama, Pancasila adalah realisasi dari ide-ide kemanusiaan kita sebagai makhluk spiritual, makhluk sosial, makhluk ekonomi, makhluk politik, dan sejenisnya. Di mana dalam butir-butirnya mengusung Ketuhanan, Kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan, dan keadilan.
Sama sekali tidak ada yang bertentangan, tinggal bagaimana kita menerjemahkan nilai-nilai tersebut dalam tindakan kita. Sayangnya, dari kita semua sering lupa (termasuk saya), kemanusiaan dan kesatuan lebih utama dari apapun, di sinilah manusia akhirnya membelot dari kepatuhannya terhadap hukum yang berlaku. Terlahirlah kebiasaan korupsi, melanggar hak, dan melanggar aturan.
Kita semua pasti tidak berharap, kalau Indonesia yang kita cintai ini menjadi sebuah negara-bangsa yang remeh-temeh, tidak. Apalagi sampai masuk pada kubangan disintegrasi. Karena itu, optimisme harus kita tularkan, optimisme harus kita bangun, dan optimisme harus kita wariskan kepada anak-cucu kita kelak (pemegang estafet generasi selanjutnya)
Amerika memang super power, apakah warga Amerika lebih bahagia dari warga Indonesia, belum tentu juga. Bill Gates memang kaya, orang terkaya di dunia, dengan kekayaan mungkin 1.000 triliuan kali lipat dari warga kita, namun apakah Bill Gates lebih bahagia 1.000 triliuan kali lipat dari kita, tidak!Tidak selalu itu masalahnya, bukan masalah negara kita yang masih dalam taraf berkembang, atau dengan rakyat yang masih belum maju diberbagai hal. Utamanya adalah optimisme. Kreatifitas akan terlahir dari sikap yang optimis.
Anda tahu? Janji Allah SWT dalam surat al-Insyirah, pada ayat 5-6, Allah SWT menyatakan dengan tegas, “Makasesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan adakemudahan.” Di sinilah Allah menyuruh setiap manusia berlaku optimis. Karena Allah memberikan pesan kepada manusia, “Janganlah berputus asa dari Rahmat Allah.”
Ini yang harus kita jemput dan harus kita rubah. “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Rubahnya Indonesia, tidak hanya ditangan pemerintah, melainkan seluruh elemen masyarakat pun bertanggung jawab atas perubahan Indonesia—kearah lebih baik.
Membangun optimisme fungsional, salah satu syaratnya adalah menarik semua kepentingan pribadi kita, egoisme kita, dan kerakusan kita. Allah SWT dan Rasul-Nya selalu mengingatkan kita semua, kendalikan hawa nafsu, tarik hawa nafsu, dan jangan mengedepankan hawa nafsu. Nah, hawa nafsu ini harus kita alihkan kepada kemanfaatan yang nyata dan bermakna.
Pengorbanan kita terhadap diri kita sendiri baru akan bermakna jika kemudian berefek dan berimplikasi pada kepentingan sosial. Melawan dan mengendalikan hawa nafsu dari berbuat jahat/korupsi, baru akan berarti ketika dalam praksisnya tidak berbuat jahat/korupsi. Yang diperlukan sekarang, bagaimana berbagai aksi pengendalian diri kita dimuarakan kepada kemaslahatan bersama, kepentingan bangsa dan masyarakat luas, sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing.
Sebagai contoh, para guru ngaji terus konsisten membimbing anak didiknya untuk berbuat baik, dengan berpegang pada akhlak yang mulia; para kiai merawat dan selalu mengingatkan serta mengontrol santri/jamaahnya untuk terus menebarkan kedamaian; majelis taklim, LSM, lembaga pendidikan, lembaga kemanusiaan terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat dengan memberi penyuluhan, pemberdayaan, pengembangan mental-spiritual, dan sebagainya; lalu pemerintah terus mengupayakan kebijakan-kebijakan yang pro-rakyat dan terus memikirkan dibarengi dengan aksi nyata menanggulangi keresahan-keresahan yang terjadi di masyarakat. Inilah seklumit contoh untuk menebarkan optimisme kepada Indonesia.
Kita tidak bisa berpangku tangan hanya diam saja, apalagi dengan berbagai perdebatan-perdebatan yang sejatinya tidak mencirikan kemajuan bangsa. Perspektif kita sekarang harus didudukan pada pemahaman “disini, kini, dan nanti”.
Saya akan menutup tulisan ini dengan kata-kata sejarawan sekaligus pengamat politik Indonesia, yaitu Prof. Salim Said, ada kata-kata menarik dan menggairahkan dalam salah satu acara di stasiun televisi, beliau mengatakan, “Kenapa Indonesia masih jalan ditempat, sedangkan Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Israel maju dan berkembang. Kata beliau, karena ada yang mereka takuti, Taiwan takut sama Cina Daratan, Korea Selatan takut sama Korea Utara, Singapura karena dia mayoritas Tionghoa di tengah lautan melayu, Israel takut karena ditengah lautan Arab, kalau mereka tidak hebat, pasti “dikremus”, sedangkan“Indonesia?” Tuhan pun tidak ditakuti (banyak yang melanggar sumpah jabatan), satu bangsa tidak ada yang ditakuti, susah untuk berkembang. Mari kita renungkan bersama, banyak makna di dalamnya.
Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah