Oleh: Irham Sya’roni *
Kita perlu mempertanyakan, keberagamaan seperti apakah yang dianut oleh manusia sekarang? Bukankah setiap agama mengajarkan etika tak hanya kepada sesama manusia, namun juga etika terhadap lingkungan dan alam. Islam, misalnya, melalui kitab suci Alquran menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan keberlanjutan alam. Allah SWT berfirman: "Dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan," (Q.S. Al-Baqarah [2]: 60).
Khalifah fi al-ardl
Pada ayat yang lain, Allah menunjuk manusia seba<>gai khalifah fi al-ardl (mandataris di bumi), yang demokratis tidak saja terhadap sesama manusia, bahkan terhadap sehelai rumput dan seekor semut sekali pun. Islam bukan hanya agama rahmatan lin-naas (rahmat bagi manusia), melainkan lebih luas juga rahmatan lil ‘alamin (membawa rahmat bagi seluruh alam).
Seorang cendekiawan Muslim asal Mesir Hasan Hanafi pernah mengungkapkan pandangannya tentang teologi-tanah. Ia memandang bahwa tanah adalah teologi pembebasan. Alasannya, ajaran agama monoteisme umumnya berwatak pembebasan, terutama dari watak pengakuan kekuasaan dan kekuatan yang melampaui batas di luar Allah SWT.
Dalam catatan yang lain, Hanafi juga menandaskan bahwa kehidupan tidak hanya bagi umat manusia, tapi juga bagi alam, karena alam berfungsi sebagai kebun dan penghijau. Bahkan, seandainya ada orang sakit sementara di tangannya tergenggam satu ranting pohon, maka ia wajib menancapkannya ke dalam tanah, meski dengan penderitaan yang parah. (Islam dan Humanisme: 2007)
Permasalahannya adalah, selama ini agama yang sarat cinta dan kasih sayang universal hanya berhenti (tepatnya: diberhentikan manusia) pada tataran ritual-formal, tanpa bisa membangkitkan relijiusitas dan spiritualitas yang kaya dan koheren dengan segala persoalan hidup, termasuk persoalan ekologi dan sosial.
Sayyed Hossein Nasr dalam Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (
Pada perayaan
Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP), dalam "Global Forum on Ecology and Poverty" di Dhaka, 1993, pernah menyatakan bahwa dunia kita berada di tepi kehancuran lantaran ulah manusia. Di seluruh planet, sumber-sumber alam dijarah kelewat batas. Pada setiap detik, diperkirakan sekitar 200 ton karbon dioksida dilepas ke atmosfir dan 750 ton top soil musnah. Sementara itu, diperkirakan sekitar 47.000 hektar hutan dibabat, 16.000 hektar tanah digunduli, dan antara 100 hingga 300 spesies mati setiap hari. Pada saat yang sama, secara absolut jumlah penduduk meningkat 1 milyar orang per dekade. Ini menambah beban bumi yang
Kedangkalan Moral
Eksploitasi manusia terhadap alam mendapat legitimasi ilmiah-filosofis melalui pandangan dunia modern bahwa manusia adalah pusat dunia (antroposentrisme). Alam dipahami sebagai sesuatu yang tidak punyai nilai intrinsik kecuali semata-mata nilai yang dilekatkan oleh manusia terhadapnya.
Pembangunan yang merusak merupakan cermin dangkalnya moral kita sebagai manusia. Arne Naess, seorang filsuf Norwegia pada tahun 1973 melalui artikelnya yang terkenal "The Shallow and the Deep, Long range Ecological Movement: A Summary" membedakan istilah deep ecological movement dan shallow ecological movement. Deep ecology menunjukkan sebuat etika moral yang tidak berpusat pada manusia, melainkan pada makhluk hidup secara keseluruhan dalam kaitannya dengan mengatasi persoalan lingkungan hidup. Yang menarik adalah bahwa manusia bukan lagi sebagai pusat dari segalanya. Manusia hanya bagian dari ekosistem yang bersama-sama dengan anggota ekosistem lain perlu untuk menjaga keseimbangan lingkungan dari kerusakan.
Sementara shallow ecology yang bersumber pada filsafat antroposentrisme mempunyai pandangan sebaliknya, yakni melihat manusia sebagai pusat segala-galanya dalam mengelola dan menguasai alam. Manusialah yang mempunyai wewenang dan kekuasaan dalam mengelola alam, serta bagaimana alam ini mau dijadikan. Moralitas shallow ecology ini mewarnai pemikiran mayoritas para ahli pembangunan di seluruh dunia hingga kini. Karenanya, wajar jika pembangunan yang dilakukan cenderung merusak alam, yang berakibat terjadinya banjir dan bencana lainnya. Hal ini tentu menunjukkan dangkalnya moral kita sebagai manusia.
Kembali ke ide deep ecology, kesadaran terhadap pembangunan berkelanjutan memang sudah muncul, tetapi sering merupakan kesadaran semu. Di satu sisi pemerintah ingin memastikan kelestarian lingkungan untuk membela diri dari kritikan, namun di sisi lain, pemerintah tetap melakukan eksploitasi alam dengan alasan pertumbuhan ekonomi dan sebagainya.
Kondisi tersebut memperlihatkan bukan saja lemahnya kreatifitas pemerintah dalam mencari alternatif pembangunan ekonomi yang sustainable, lebih dari itu, ia merupakan sebuah kondisi dimana kesadaran bersama untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan lingkungan menjadi semakin rendah. Dengan lain kata, lemahnya kesadaran lingkungan menunjukkan lemahnya moral kita sebagai manusia. Akibatnya, banjir lagi... banjir lagi! Dan longsor lagi... longor lagi!.
*) Staf Pengajar LPIT Darul-Hikmah, Ketua Forum Kajian Lereng Merapi (For KaLeM)
Banjir lagi... Banjir lagi! Longsor lagi... Longsor lagi! Mengapa selalu terjadi? Ini merupakan penanda bahwa krisis ekologi, krisis bumi, dan krisis kemanusiaan telah mencapai puncak yang akut bahkan tak berujung. Kita pantas bertanya: "Di mana agama berada?" Pertanyaan ini mutlak digelontorkan, mengingat agama sejatinya tidak pernah diam dan menutup mata terhadap segala realitas di dunia, termasuk problem lingkungan.
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab
3
Pandu Ma’arif NU Agendakan Kemah Internasional di Malang, Usung Tema Kemanusiaan dan Perdamaian
4
360 Kurban, 360 Berhala: Riwayat Gelap di Balik Idul Adha
5
Saat Katib Aam PBNU Pimpin Khotbah Wukuf di Arafah
6
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
Terkini
Lihat Semua