Opini

Membaca Ulang Visi Tolchah Mansoer dan Refleksi IPNU Kekinian (2)

NU Online  ·  Senin, 3 Desember 2012 | 00:37 WIB

Saat masih menjadi pengurus Pimpinan Ranting hingga Pimpinan Anak Cabang, saya merasakan idealisme itu masih kuat.  Barangkali ini merupakan kondisi umum yang dialami rekan-rekan kita di level bawah. Pengalaman saya menunjukkan bahwa ber-IPNU berarti berikatan yang disatukan oleh semangat ideologis yang kuat. Inilah mengapa hubungan sosial dan solidaritasnya sangat tinggi, sehingga membentuk komunitas yang solid dan “fanatik" dengan ikatan peguyuban yang kuat.  

<>Pada saat itu, ber-IPNU juga bukan berpolitik. Mereka menjalani masa-masa IPNU secara tulus tanpa interes politik apapun, apalagi berambisi untuk menduduki jabatan politik tertentu. IPNU juga benar-benar tampil sebagai organisasi kader yang konsen pada kerja-kerja kaderisasi, dengan berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan kader. Kala itu IPNU yang saya rasakan juga merupakan “pertemuan” antara para santri dengan para pelajar umum. Mereka menyatu tidak saja secara fisik, melainkan berkolaborasi secara intelektual sehingga menjadi komunitas pembelajar yang asyik. Saat itu, IPNU juga bukan kelompok orang-orang pinter yang elitis. Mereka justru menjadi bagian aktif dalam masyarakat perdesaan untuk terlibat dalam pergumulan sosial.

Setelah beranjak ke level berikutnya, cabang dan wilayah, idealisme itu masih tertanam di IPNU, meskipun harus diakui terjadi pergeseran. Kala itu terjadi tarik menarik antara idealisme dengan “tantangan zaman”. Nah, begitu sampai Pimpinan Pusat, pergeseran itu semakin sempurna, bahkan, mohon maaf ini harus saya katakan, idealisme itu kini telah hilang di telan buruknya zaman. Setidaknya itulah yang bisa kita lihat saat ini. Jika diukur dengan idealisme awal organisasi ini didirikan, ada beberapa pergeseran yang harus kita refleksikan. Pertama, jika dulu IPNU lahir di tengah pertarungan ideologi dan dengan demikian menjadi gerakan ideologi ahlussunnah wal jamaah, kini kita tak merasakan nafas itu. IPNU seakan tak lebih sebagai pergumulan yang hampa,

Kedua, dulu IPNU lahir bukan untuk kepentingan politik, meskipun NU sedang berposisi sebagai partai politik. Namun kini, di saat NU kembali ke khittah sebagai organisasi sosial keagamaan (jamiyyah diniyyah ijtimaiyyah), IPNU justru kerap berperan politis. Fakta ini bisa kita lihat dalam dua hal. Dalam berbagai perhelatan politik, baik di tingkat nasional maupun lokal, IPNU sering ditampilkan sebagai “mainan” politik. Lihat saja, setiap ada Pilpres atau Pilkada, IPNU hampir selalu tapil sebagai kekuatan politik, setidaknya oleh kalangan elitenya. Watak politik itu juga tampak dalam perhelatan internal, terutama Kongres dan konferensi. Perebutan jabatan Ketua Umum atau Ketua lebih banyak didominasi oleh pertarungan politik. Banyaknya “pihak luar” dan “bandar” yang bermain kerap mendistorsi perhelatan pelajar itu. Inilah yang kemudian membuat perilaku organisasi dan para kadernya semakin politis. 

Ketiga, jika dulu IPNU lahir sebagai wadah kaderisasi pelajar NU, kini gerakan kaderisasi itu tidak lagi tampak, sehingga IPNU kehilangan jatidirinya sebagai organisasi kader. Sebagai organisasi yang diberi mandat untuk menjadi garda depan kaderisasi, IPNU lebih rajin tampil keluar mengejar blow-up media dengan kegiatan-kegiatan yang wah, tapi jauh jari hakikat kaderisasi. Di samping karena tertutup oleh agenda lain yang lebih bernilai politis, terpuruknya kerja kaderisasi lebih disebabkan karena rendahnya political will pemimpinnya. Defisit visi kaderisasi inilah yang menyebabkan melemahnya semangat dan kegiatan-kegiatan kaderisasi IPNU di seluruh Indonesia.

Keempat, dulu IPNU dilahirkan untuk menyatukan dua potensi generasi terpelajar, yaitu santri maupun pelajar umum, Dengan demikian IPNU tampil sebagai gerakan intelektual pada dua ranah keilmuan, yaitu keilmuan agama dan keilmuan umum. Kini, spirit gerakan intelektual itu semakin menjauh dari IPNU. Dulu, kita menyaksikan forum-forum ilmiah dan karya-karya intelektual yang lahir dari IPNU. Sedangkan kini, IPNU sepi dari berbagai dinamika intelektual itu. IPNU lebih suka tampil sebagai gerakan politik atau kalau hanya menjadi ajang kongkow-kongkow yang tak bermakna strategis. Fenomena ini sekarang benar-benar semakin nyata.

Kelima, Pak Tolchah dkk mendirikan IPNU bukan untuk bertengger di menara gading dan menjadikan para pengurus dan kadernya sebagai “manusia calon kasta elite”. IPNU dilahirkan untuk membumi dalam masyarakat, menjadi bagian dari dan mendampingi masyarakat bawah, serta terlibat dalam berbagai penyelesaian masalah untuk membangun kemasalahan publik. Kini, IPNU tampil persis seperti yang dikhawatirkan oleh Pak Tolchah, yaitu menjadi ”kasta-kasta elite”, jauh dari masyarakat dan tidak terlibat dalam pergumulan sosial dan penyelesaian berbagai persoalan nyata yang dihadapi masyarakat. Bahkan perilaku para pengurusnya lebih suka tampil sebagai kelas-kelas elite yang jauh dari masyarakat alit, namun gila citra. Ketiadaan kerja advokasi dan pendampingan masyarakat –setidaknya masyarakat pelajar- oleh IPNU pada beberapa dekade terakhir menunjukkan realitas ini. 

Kini, di tengah kesadaran akan pergeseran di atas, kita masih harus optimis untuk melakukan pembenahan dan penegakan kembali idealisme para pendiri IPNU. Dalam kerangka inilah Kongres ke-XVII IPNU yang sedang digelar di Palembang menjadi momentum strategis untuk meneguhkan visi dan idealisme IPNU sebagai gerakan ideologi, gerakan pelajar, gerakan kaderisasi, gerakan intelektual, dan gerakan advokasi. Para peserta kongres harus memanfaatkan perhelatan nasional ini untuk merumuskan visi dan idealisme di atas menjadi kebijakan organisasi yang lebih operasional dan kontekstual dengan tantangan zaman. Selamat ber-Kongres, Selamat menegakkan idealisme.[]


Caswiyono Rusydie Cw. (Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI, Ketua PP IPNU (mundur tahun 2011, karena perbedaan visi)Penulis buku “Tolchah Mansoer: Profesor NU yang Terlupakan”)