Opini MAMANG M. HAERUDIN

Memanusiakan Agama

NU Online  ·  Kamis, 9 Januari 2014 | 02:27 WIB

Dalam bukunya Agama Punya Seribu Nyawa (2012), Komaruddin Hidayat mengatakan bahwa membayangkan agama akan lenyap dari panggung sejarah manusia adalah mimpi bahkan omong kosong. Lanjutnya, hal ini dikarenakan pada kenyataannya, begitu banyak persoalan hidup yang tak bisa dijawab oleh iptek modern. <>

Tesis itu barang kali terinspirasi dari QS. al-Fathir [35]: 15, “Wahai seluruh manusia, kamu adalah orang-orang yang butuh kepada Allah dan Allah Mahakaya (tidak butuh), lagi Maha Terpuji.” Ayat ini dimaknai oleh M. Quraish Shihab, bahwa manusia itu memiliki naluri cemas dan mengharap. Tidak seorang pun yang luput dari kecemasan; tidak juga seorang pun meninggalkan pentas bumi ini tanpa membawa keinginan dan harapan ke liang kuburnya. Dengan kata lain, manusia bernaluri butuh kepada Tuhan, dan tetapi tidak sebaliknya.

Berangkat dari dua tesis Komaruddin Hidayat dan M. Quraish Shihab, maka sejatinya persoalannya adalah bukan pada apakah benar manusia membutuhkan agama atau tidak, melainkan bagaimana manusia memaknai (menyikapi) agama? Persoalan ini akan erat kaitannya dengan pergumulan agama, kitab suci, dan masyarakat. Dalam hal ini agama Islam vis a vis agama dan keyakinan lain, al-Qur’an vis a vis kitab suci lain, masyarakat Muslim vis a vis masyarakat pada umumnya.

Status Quo Agama

Adalah ateisme, puncak dari kebencian umat beragama, dengan anggapan sempit-simplisikatif bahwa mereka individu atau kelompok ateisme bukan hanya memusuhi dan anti agama, melainkan juga memusuhi dan anti Tuhan. Telah terjadi pergeseran (lebih tepatnya; penyimpangan) makna terhadap ateisme sehingga keberadaan mereka dicaci, disumpah serapah, dan didiskriminasi.

Padahal, kalau kita lacak genealoginya, ateisme lebih merujuk pada upaya perlawanan teologis kelompok intelektual di Eropa atas status quo pemikiran dan pemahaman gereja yang eksklusif, elitis, dan jumud. Jadi sesungguhnya, ateisme lebih bermakna sebagai mereka yang bukan anti agama maupun Tuhan (hakikat), melainkan mereka yang punya pemikiran kritis dan dinamis akan makna Tuhan, yang acap kali dipersepsikan bias dan distorsif. Tuhan yang hanya dimaknai dengan sempit dan rigid; sebagai Tuhan yang berjenis laki-laki, hanya berada di tempat-tempat ibadah, khutbah-khutbah, dan ritual-ritual sejenis.

Tidaklah berlebihan jika status quo ini menjadikan Friedrich Nietszche—salah seorang pelopor ateisme—memproklamirkan gagasan ‘Tuhan telah mati’. Di saat itulah, Nietszche dan para pegiatnya dituduh telah menodai agama dan Tuhan, sebagai pihak yang telah membunuh agama dan Tuhan. Jarang—untuk enggan mengatakan tidak ada—kelompok agamawan (intelektual agama) yang memaknai gagasan itu sebagai upaya membunuh tuhan (dengan ‘t’ kecil) yakni Tuhan yang ada dalam benak pemikiran jumud kebanyakan (tuhan bumi), bukan Tuhan (dengan ‘T’ besar) atau Tuhan langit.

Di sinilah berartinya upaya membongkar pemikiran dan pemahaman yang selalu mempersamakan antara teisme dengan Tuhan. Karenanya, teisme itu jauh berbeda dengan Tuhan, sebagaimana jauhnya komunis dengan ateisme. Tuhan dengan sendirinya bermakna independen, yang tak dapat diwakili oleh kata-kata apapun—dalam istilah John Hick ‘natural god/eternal one’, sementara teisme bermakna konstruksi manusia (ide, definisi, konsep) akan Tuhan yang bersifat relatif dan sementara.

Sedemikian fatal, sehingga sampailah pada kenyataan, agama diyakini sebagai representasi dari Tuhan, atau dengan kata lain ‘menuhankan agama’. Kaum beragama berubah menjadi sekelompok orang yang fanatik, intoleran, dan diskriminatif. Spirit untuk menekuni agama tidak dipedomani sebagai upaya beragama yang berproses. Konsekuensinya, orang dengan agamanya masing-masing saling mengklaim kebenaran, hanya agamanya yang benar, sementara agama dan keyakinan yang lain salah, maka yang lain harus mengikuti agamanya. Satu sama lain, agama merasa menjadi superior, sementara agama dan keyakinan yang lain inferior. Agama semakin disempitkan dan dijumudkan, hanya berputar-putar pada wilayah ritual-eskatologis semata. Ujung dari pemikiran dan pemahaman demikian adalah menyuburnya radikalisme dan terorisme di dunia global. Dengan kata lain, agama sudah tidak dijadikan inspirasi untuk kedamaian dan kemanusiaan, meminjam konsepsi Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973), agama tak dijadikan sebagai ‘vitalitas moral’, di mana vitalitas moral ini lahir oleh karena komitmen total apa yang diyakini sebagai ‘hakikat realitas yang fundamental’.

Rekonstruksi Pemikiran

Selain agama, adalah kitab suci yang acap kali menjadi senjata ampuh legitimasi keberagamaan yang eksklusif-diskriminatif. Agama dan kitab suci ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Dalam konteks kitab suci umat Islam, al-Qur’an, menjadi sumber dari segala legitimasi dalam kehidupan.

Berbicara apapun mengenai al-Qur’an, para ulama klasik seperti al-Ghazali, al-Syathibi, al-Thufi, al-Syaukani, dan lain-lain secara serempak memposisikan al-Qur’an sebagai sumber inspirasi keberagaman yang terbuka, dinamis, dan universal, sebagai kitab suci yang bermuara pada tujuan utama syariat yakni dalam mewujudkan kesadaran sosial, kesadaran antroposentris, dan kesadaran humanis. Al-Syathibi dalam bukunya al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah misalnya telah meletakkan paradigma ini dengan muara pemeliharaan agama, harta, keturunan, akal, dan jiwa.

Begitu juga dengan aspek historisitas, bahwa al-Qur’an tidak turun dalam ruang kosong, ia turun dalam rangka merespon zaman, di mana al-Qur’an turun dalam konteks budaya Arab yang patriarkhi dan jahiliyah. Hal-hal semacam ini yang harus dipertimbangkan agar al-Qur’an tak usang dimakan zaman, sebaliknya ia senantiasa shalih likulli zamanin wa makanin (kontekstual dengan segala zaman dan tempat).

Berkaitan dengan keberagamaan, al-Qur’an dalam surat al-Kahfi [18]: 29, “Dan katakanlah, “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) hendaklah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan neraka bagi orang-orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang menindih, yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” Ayat ini dengan gamblang menjelaskan bahwa manusia diberikan kebebasan antara beriman dan kufur, kebebasan untuk beragama atau tidak sekalipun. Sekaligus ingin menegaskan bahwa klaim kebenaran hanya menjadi wewenang mutlak Tuhan, maka jangan sekali-kali melakukan penyesatan. Hal ini sejalan dengan pandangan al-Qurthubi bahwa ayat ini sebagai bukti kuat perihal wewenang Tuhan dalam memberikan proteksi dan penyesatan.

Ada pandangan menarik dari Jawdat Said (1997) saat memaknai ayat dalam QS. al-Baqarah [2]: 256, ayat ini juga berbicara tentang kebebasan beragama, ia menegaskan, yang dimaksud dengan pemaksaan (al-Ikrah) adalah al-Ghay (kesesatan) dan ini jalan salah (al-Thariq al-Khathi). Sedangkan yang dimaksud dengan tanpa paksaan (alla ikrah) adalah al-Rusyd (kebenaran) dan ini jalan benar (al-Thariq al-Shahih).

Oleh karena itu, jalan menuju rekonstruksi pemikiran Islam untuk keberagaman yang humanis-pluralis mendesak dibutuhkan. Sebuah konstruksi pemikiran baru yang tak hanya berputar pada ketentuan halal-haram, pahala-dosa, surga-neraka, dan lain sejenisnya. Maka, langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk menyusuri jalan keberagamaan humanis-pluralis itu; pertama, kita harus memahami dan menyongsong bahwa realitas di dunia ini plural. Pluralitas adalah realitas, dan cara untuk memahami dan menyongsong pluralitas itu dengan pluralisme. Kita harus paham dan proaktif bahwa manusia dan seisinya itu beragam; etnis, suku, budaya, bahasa, agama, dan lain-lain.

Kedua, akomodasi kebudayaan dan kebangsaan. Kita masyarakat Muslim yang bertanah air Indonesia. Maka seyogyianya, kebudayaan-kebudayaan yang lahir dari rahimnya harus terus dilestarikan. Sikap akomodatif terhadap kebudayaan itulah yang akan memperkokoh sikap kebangsaan, sebagai seorang muslim Indonesia yang berbudaya.

Ketiga, orientasi kemanusiaan. Beragama dan beraktivitas apapun kita, tujuannya harus sama yakni kemanusiaan. Sebab agama diciptakan untuk manusia bukan untuk Tuhan. Manusia butuh agama dan Tuhan, tetapi tidak sebaliknya. Karena itu Tuhan tak butuh dibela dan pembelaan, manusialah yang justru membutuhkannya. Terutama mereka kelompok minoritas yang rentan terhadap tindak diskriminatif dan aniaya.

 

Mamang M. Haerudin

Khadimul-Ma’had di Pesantren Raudlatut Tholibin, Babakan-Ciwaringin, Ketua LP3M STID Al-Biruni Cirebon