Opini

Memahami dan Mempraktikkan Politik secara Kaffah

NU Online  ·  Jumat, 29 Juni 2018 | 07:30 WIB

Memahami dan Mempraktikkan Politik secara Kaffah

Ilustrasi (Peter Schrank)

Oleh Fathoni Ahmad

Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2018 di 171 daerah telah selesai dilaksanakan Rabu (17/6/2018). Sebagian masyarakat di 171 daerah tersebut larut dalam hiruk-pikuk kampanye para pasangan calon. Tak jarang kampanye yang dilakukan menyinggung sentimen SARA sehingga pesta demokrasi ini kerap memunculkan konflik horisontal.

Nahdlatul Ulama yang terus berkomitmen menjaga keutuhan bangsa senantiasa berperan aktif dalam percaturan politik nasional, baik pemilu maupun pemilukada. Namun demikian, politik yang diperankan NU bukan ranah politik praktis atau politik kekuasaan, tetapi politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpoiltik.

Ketiga peran politik yang diambil NU tersebut dirumuskan oleh Rais Aam PBNU periode 1999-2014 KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh pada 2013. Penggagas konsep Fiqih Sosial itu menamakan rumusannya dengan politik tingkat tinggi atau siyasah ‘aliyah samiyah atau high politic Nahdlatul Ulama.

Konseptualisasi politik tingkat tinggi NU oleh Kiai Sahal tersebut merupakan kegelisahannya setiap perhelatan politik tiba. Kiai Sahal mengkhawatirkan karena tidak sedikit pengurus NU di berbagai tingkatan yang memperlakukan NU seakan-akan sebagai sebuah partai politik (hizbus siyasi) yang bergerak pada tataran politik praktis alias politik kekuasaan.

Menurut Kiai Sahal, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (low politics/siyasah safilah) adalah porsi  partai politik dan warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan, bukan atas nama organisasi. Sedangkan NU sebagai lembaga, harus steril dari politik semacam itu. Kepedulian NU terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi, yakni politik kebangsaan, kerakyatan dan etika berpolitik.

Pertama, politik kebangsaan berarti NU harus istiqomah dan proaktif mempertahankan NKRI sebagai wujud final negara bagi bangsa Indonesia. Kedua, politik kerakyatan antara lain bermakna NU harus aktif memberikan penyadaran tentang hak-hak dan kewajiban rakyat, melindungi dan membela mereka dari perlakuan sewenang-wenang dari pihak manapun.

Ketiga, etika berpolitik harus selalu ditanamkan NU kepada kader dan warganya pada khususnya, dan masyarakat serta bangsa pada umumnya, agar berlangsung kehidupan politik yang santun dan bermoral yang tidak menghalalkan segala cara. Hal ini terkait nilai-nilai luhur yang harus ditegakkan dalam praktik politik dan kenegaraan.

Dengan menjaga NU untuk bergerak pada tataran politik tingkat tinggi inilah, jalinan persaudaraan di lingkungan warga NU (ukhuwah Nahdliyyah) dapat terpelihara. Sebaliknya, manakala NU secara kelembagaan telah diseret ke pusaran politik praktis, maka ukhuwah Nahdliyyah akan tercabik-cabik. Sebab tidak bisa dipungkiri, warna dan pilihan politik secara individu tidak selalu sama.

Perihal Makna Politik

Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau Latin politicos atau politõcus yang  berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai "segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat,  dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain." Juga dalam arti "kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah)."

Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman, kutu, atau rusak.

Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al-Qur’an tidak menguraikan soal politik. Sekian banyak ulama Al-Qur’an yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan Al-Qur’an dan  sunnah Nabi sebagai rujukan. Sebagai informasi, Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan as-siyasah asy-syar'iyah (politik keagamaan).

Menurut Muhammad Quraish Shihab dalam karyanya Wawasan Al-Qur’an (2000), uraian Al-Qur’an tentang politik secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang berakar kata hukm. Kata ini pada mulanya berarti "menghalangi atau melarang dalam rangka perbaikan". Dari akar kata yang sama terbentuk kata hikmah yang pada mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-sais siyasat, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali, dan cara pengendalian.

Hukm dalam bahasa Arab tidak selalu sama artinya dengan kata "hukum" dalam bahasa Indonesia yang oleh kamus  dinyatakan antara lain berarti "putusan".  Dalam bahasa Arab kata ini berbentuk kata jadian, yang bisa mengandung berbagai makna, bukan hanya bisa digunakan dalam arti "pelaku hukum" atau diperlakukan atasnya hukum, tetapi juga ia dapat berarti perbuatan dan sifat.

Sebagai "perbuatan" kata hukm berarti membuat atau menjalankan putusan, dan sebagai sifat yang menunjuk kepada sesuatu yang diputuskan. Kata tersebut jika dipahami sebagai "membuat atau menjalankan keputusan", maka tentu pembuatan dan upaya menjalankan itu, baru dapat tergambar jika ada sekelompok yang terhadapnya berlaku hukum tersebut. Ini menghasilkan upaya politik.

Kata siyasah sebagaimana dikemukakan di atas diartikan dengan politik dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat. Di sisi lain terdapat persamaan makna antara pengertian kata hikmat dan politik.

Sementara ulama mengartikan hikmat sebagai kebijaksanaan, atau kemampuan menangani satu masalah sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudharat. Pengertian ini sejalan dengan makna kedua yang dikemukakan Kamus Besar Bahasa Indonesia tentang arti politik, sebagaimana dikutip di atas.

Dalam Al-Qur’an ditemukan dua puluh kali kata hikmah, kesemuanya dalam konteks pujian. Salah satu di antaranya adalah surat Al-Baqarah (2): 269: Siapa yang dianugerahi hikmat, maka dia telah dianugerahi kebajikan yang banyak.

Melihat perpolitikan tanah air saat ini, hendaknya partai politik dan para kadernya memahami kembali makna dan tujuan berpolitik yang bermuara pada kebijaksanaan atau hikmat untuk mewujudkan kebermanfaatan masyarakat banyak.

Akhlak dan respon negatif yang banyak bertebaran di media sosial juga hadir dari para simpatisan politik. Hal ini tidak lepas dari cara berpolitik para elitnya. Etika berpolitik yang dikonseptualisasikan Kiai Sahal Mauhfudh dalam politik tingkat tingginya merupakan rambu-rambu penting membangun masa depan bangsa.

Karena partai politik dan para kadernya juga punya kewajiban dan tanggung jawab melakukan edukasi politik kepada warga negara secara umum. Dengan demikian, para insan politik dapat memahami sekaligus mempraktikkan politik secara kaffah (menyeluruh, mendalam). Wallahu’alam bisshowab.

Penulis adalah warga NU, bukan kader partai politik