Opini

Meluruskan yang Bengkok

NU Online  ·  Sabtu, 18 November 2017 | 04:30 WIB

Oleh Aswab Mahasin

Semenjak kita terlahir, orang tua kita, kerabat kita, dan tetangga kita selalu mendoakan, “Semoga menjadi anak sholeh/sholehah berguna bagi bangsa, negara, dan agama”. Setelah kita dewasa, dan mempunyai kemampuan berpikir—kita menyadari bahwa kita mengemban tugas untuk ikut andil dalam meluruskan yang bengkok, khususnya masalah-masalah kebangsaan, seperti; menebarkan kemanfaatan, mensejahterakan rakyat, membela bangsa, memerangi korupsi, dan beragama dengan taat.

Pertanyaannya, sudah terkabulkah semua doa orang tua Indonesia sekarang ini? Apakah anak-anak kita telah sholeh/sholehah? Sudahkah anak-anak kita berguna bagi bangsa, negara, dan agama? Apakah hanya sebatas kesadaran semu?

Masih hangatdiingatan kita, pada saat reformasi atau penggulingan Soeharto, waktu itu—seluruh tokoh dan masyarakat mempunyai cita-cita sama, yakni meluruskan rezim Soeharto yang bengkok. Dengan cara menumbangkan kekuasaan Soeharto. Apakah lantas menjadi lurus?

Harapan baru muncul setelah Gus Dur terpilih sebagai Presiden. Gus Dur dianggap mampu oleh kebanyakan orang untuk meluruskan, menjadikan Indonesia shirat al-mustaqim. Namun, apa yang terjadi?Gus Dur dianggap terlalu bersih—tidak bisa diajak kompromi, dan Gus Dur selalu marah jika ada deal-deal politik yang tidak bermartabat, beliau tampar sana—tampar sini. Akhirnya, Gus Dur digulingkan dengan berbagai macam tuduhan yang sampai sekarang tidak terbukti.

Beranjak dari hal tersebut, lantas bagaimana kabar Indonesia terkini, sudahkah yang bengkok-bengkok itu menjadi lurus atau justru semakin bengkok? Anehnya, kita seringkali terbalik, kita tidak berusaha meluruskan yang bengkok, malah membengkokkan yang lurus. Anda bisa tengok bagaimana geliat medsos hari ini dan hari kemaren. Banyak sekali hal-hal yang lurus dibengkokkan.

Kenapa kita sekarang ini menjadi manusia yang anti manusia, hanya gara-gara berbeda latar belakang politik, organisasi, dan pemikiran. Dan kenapa pula kita sekarang ini menjadi manusia beragama namun mempersempit arti agama itu sendiri. Bukankah agama hakikatnya sebagai sumber kebijaksanaan, kemaslahatan, perdamaian, dan kesatuan? Ada apa dengan kita?

Manusia zaman now, secara bersama-sama berusaha mencari kebenaran yang hakiki. Namun, usaha ini baru sebatas membahas kebenaran dikehidupan dunia yang serba terbatas. Dan seringnya, kebenaran yang kita cari dan kita anggap benar telah terkotak oleh standar pemikiran yang kita anut sebagai basis ideologi, selebihnya kita menolaknya.

Jika kita mau merenung lebih dalam permasalahan sosial, khususnya benturan antar agama dan antar kelompok se-agama, itu permasalahan-permasalahan sederhana, kita-nya saja yang membuat runyam, seperti: Perbedaan ideologi, itu bisa ditemukan dalam sebuah ruang diskusi atau dialog, dan tentu kita jangan memaksakan yang beda menjadi sama dan yang sama dibeda-bedakan—itulah awal mula bibit konflik terlahir, karena satu sama lain memaksakan kehendak kebenarannya. Yang harus kita gerakan adalah tujuannya, yaitu mendidik umat.

Kemudian perbedaan gaya berdakwah, yang satu main hantam (tuding sana—tuding sini) dan satunya punya keinginan agar dakwah disampaikan dengan cara yang bijak.Dalam hal ini,ulama, kiai, dan ustadz berperan, untuk selalu mengingatkan umat agar tidak terpancing ujaran-ujaran provokatif. Bagi pendakwah yang kurang sejuk, saya hanya menyarankan—agar mengendorkan ototnya, kalau memang pendakwah itu benar-benar sedang mendidik umat menjadi lebih baik. Tentu rumusannya jelas, mengajak orang menjadi baik harus pula dengan cara yang baik dan teladan yang baik, tidak dengan cara menanamkan kebencian, sama saja kita menanam syetan di dalam hatinya.

Kita semua pasti tahu—mengenai cerita Nabi diludahi, Nabi dilempari batu, Nabi menyuapi seorang buta walaupun Nabi Muhammad selalu dimaki-maki, dan Nabi selalu menghadapi siapapun dengan ramah. Bukankah Rasulullah sendiri telah bersabda, “Sesungguhnya tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak.”

Selanjutnya masalah politik, ini yang paling susah—penuh dengan kepentingan dan intrik-intrik.Tapi mutlak, untuk memotong masalah ini harus tumbuh kesadaran dari masing-masing individu. Bagi saya, agama bukan alat politik untuk mencapai kekuasaan, atas nama agama mengibarkan janji-janji surgawi. Politik agama atau dikenal juga dengan politik identitas muatan kampanyenya acap kali menjatuhkan lawan-lawannya sampai “babak-belur”: mengusung isu-isu sensitif, hal tersebut mempunyai potensi memecah belah umat.

Seharusnya, dalam aktifitas politik—agama difungsikan sebagai “kontrol” kesadaran individu atau kelompok—supaya tidak melakukan tindakan-tindakan menyimpang, seperti: fitnah, ujaran kebencian, korupsi, menyalahi sumpah jabatan, dan sebagainya. Peristiwa ini yang menjerumuskan kita pada sikap-sikap tidak seimbang.

Namun, saya akui, tidak mudah melapas belenggu-belenggu tersebut, diyakini atau tidak, nafsu manusia seringkali lebih dominan daripada pikiran dan perasaannya. Jika terus menerus seperti ini, dikhawatirkan manusia kehilangan makna hakiki dari agama itu sendiri. Padahal kebaikan sejati adalah kebaikan yang tidak bercampur dengan egoisme atau individualisme, melainkan semangat kolektif dan pandangan utuh. Semua ini memerlukan ikatan kasih sayang antar manusia supaya jiwa bersih dari virus, seperti sifat hasad, saling memusuhi, kesombongan dan persaingan tidak sehat (saling sikut).

Manusia adalah makhluk yang lemah, ia akan menemui hari tua dan kemudian ajal menjemput. Manusia selanjutnya akan berhadapan dengan kebenaran mutlak (al-haqiqah al-muthlaqqah) bukan hanya sekedar kebenaran duniawi. Secara langsung, jika putaran roda manusia hanya membengkokkan yang lurus, sungguh manusia akan merugi. Ia akan disibukkan dengan kepentingan-kepentingan duniawi semata. 

Manusia tidak menyadari arti agama, kesempatan untuk mempersiapkan diri akan hilang. Ia tidak mengetahui tujuan penciptaan dirinya sendiri, ia tidak memahami hakikat untuk apa segala yang ada di sekitar dirinya itu diciptakan, apakah hanya sebagai permainan belaka ataukah untuk tujuan yang telah ditentukan? “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. Ali-‘Imran: 190). Silakan Anda baca lagi surat Ali-‘Imron sampai ayat 194.

Sekarang pilihan di tangan kita, begini—manusia bukanlah malaikat yang statis dimanapun berada selalu berdzikir dan berbuat baik, manusia juga bukan setan yang statis dimanapun berada selalu berlaku buruk, dan manusia bukan binatang yang hidup tanpa keteratuan. Manusia adalah “paket istimewa” yang diciptakan Allah SWT. Manusia mempunyai potensi ke-Muhammad-an dan ke-Fir’aun-an, mau jadi siapakah Anda? 

Menurut As’ad as-Sahmarani, “manusia terbentuk dari dua unsur, yaitu tubuh dan unsur substansi merupakan esensi kemanusiaan, ialah jiwa (nafs). Manusia tidak bertanggung jawab atas aspek penciptaan fisiknya (khilqah), aspek ini ada atas kehendak Allah. Manusia bertanggung jawab atas aspek etika (khuluq)—aspek ini lahir atas kehendak pilihan manusia. Manusia telah diberikan kemampuan untuk membedakan baik dan buruk. Allah telah menjabarkan, kebaikan itu ketaatan, sedangkan keburukan itu pembangkangan atau kemaksiatan.

Sebelum mengakhiri semuanya, saya akan mengutip dua paragraf sejuk dari Ibnu Miskawaih, saya anggap dua paragraf ini sebagai kisi-kisi untuk ‘meluruskan yang bengkok’, “Manusia seyogianya mencari keutamaan dalam jiwanya yang berdaya pikir yang telah memanusiakan mereka. Mereka juga wajib mengenali kekurangan yang ada dalam jiwanya, lalu berusaha menyempurnakannya sekuat tenaga. Ini merupakan pintu pengalaman yang tidak pernah tertutup. Dengan pengalaman ini sebagian manusia menjadi lebih mulia daripada sebagian yang lain dan sebagian memiliki tingkat kemanusiaan lebih tinggi daripada yang lain.”

Lanjut Ibnu Miskawaih, “Sesungguhnya apabila jiwa itu mengenali kemualiaan dirinya dan merasakan dekatnya derajat di sisi Allah SWT, maka dia akan memperbaiki kekhalifahan manusia dalam pengaturan dan manajemen potensinya dan dia akan bangkit dengan potensi yang diberikan Allah menuju posisi terhormat dan tinggi yang diberikan Allah dan tidak akan tunduk kepada kebuasan dan kebinatangan.” (Juhrah Muhammad Arib, Pemikiran Etika Ibnu Miskawaih, dalam Jurnal Penelitian Pemikiran Islam: Potret Pemikiran [STAIN Manado: Vol. 13, No.2, Desember 2010]. Hlm. 336-337).

Penulis adalah Pembaca Setia NU Online.