Oleh M. Ishom el-Saha
"Mereka mati masih memberi, sementara kaliah hidup menyusahi" adalah ungkapan yang pas untuk mewakili sikap diam para peziarah makam kramat yang kini jumlah komunitasnya semakin bertambah banyak.
Terutama di bulan Sya'ban atau Ruwah seperti sekarang ini tempat-tempat ziarah, seperti makam Wali Songo, penuh sesak dengan kehadiran tamu-tamu peziarah. Mereka sengaja datang dari pelosok negeri bahkan dari negeri jiran untuk menyiapkan spiritualitas menjelang datangnya bulam suci Ramadhan.
Puncak kepadatan ziarah dan wisata religi biasanya memang terjadi di bulan Sya'ban. Walaupun di bulan-bulan lainnya tempat pezirahan juga ramai pengunjung. Terbukti, salah satu diantaranya, pendapatan tromol amal di pusara makam Gus Dur saja perbulannya bisa terkumpul 150 juta (ini bukan tujuan wisata berbayar lho). Itu berarti tiap harinya makam-makam para waliyullah tidak pernah sepi peziarah.
Jika dari kotak amal saja bisa terkumpul ratusan jutaan rupiah, bagaimana pendapatan yang didapat oleh pihak-pihak yang bersinggungan dengan aktivitas ziarah dan wisata religi lainnya?
Tampaknya tidak hanya pihak peziarah yang berharap mendapat berkah. Mulai dari agent perjalanan, perusahaan transportasi, pengusaha restoran, sampai tukang parkir dan pedagang kaki lima semua juga kejatuhan pembagian berkah dari tradisi ziarah.
Oleh sebab itu wajar kalau ada pandangan yang menghubungkan tradisi ziarah dengan emosi spiritual, untuk menghindari perdebatan sudut pandang mistik. Dalam arti tidak bisa serta merta menciptkan suasana mistik pada pusara seseorang yang telah meninggal dunia, seperti dibuat laksana bangunan astana. Terkecuali bahwa tokoh yang disemayamkan itu memiliki kualitas spiritual tinggi.
Apalagi secara umum letak dan posisi makam-makam keramat itu tidak mudah diakses, seperti di atas gunung, di daerah pinggiran dll. Namun demikian tokoh yang sudah disemayamkan itu masih bisa memberikan manfaat kepada masyarakat banyak: --apalagi sewaktu masa hidup mereka? Hal ini juga yang menjadi pertimbangan meluasnya tradisi ziarah dari komunitas bawah ke komunitas menengah atas: dari kebiasaan kaum tradisonalis desa merambah kaum modern kota.
Meningkatnya animo masyarakat dalam kegiatan ziarah ini semestinya diikuti dengan pengembangan destinasi wisata religi. Di antaranya; pertama, pengembangan sarana dan prasarana dan perbaikan fasilitas ziarah.
Pada umumnya dalam komplek astana atau peziarahan dipisahkan antara ruang sakral dengan ruang profan. Ruang sakral itu ialah makamnya sendiri yang terjaga dari pihak-pihak yang tidak berkepentingan. Sedangkan ruang profan terdiri dari areal parkiran, pusat dagang dan bisnis, MCK, hingga ruang tamu dan kuncen/guide ziarah.
Sayangnya tidak semua komplek peziarahan tidak memiliki saspras dan fasilitas yang memadai. Kalaupun ada tetapi antara ruang sakral dan profan itu tidak terkoneksi dan terintegrasi sehingga mengesankan kesemprawutan. Problem ini semakin krudit dengan kehadiran pengemis dan guide ziarah yang kadang-kadang berprilaku memaksa. Akibatnya banyak peziarah yang merasakan ketidaknyamanan saat berziarah.
Kedua, pemberdayaan pengelola komplek peziarahan yang umumnya merupakan ahli waris atau komunitas adat. Pengetahuan yang kurang tentang kepariwisataan menyebabkan pelayanan kepada peziarah tidak maksimal.
Bahkan terkadang ada kesan arogansi pengelola karena merasa sebagai keturunan tokoh yang bersemayam di makam kramat. Padahal sektor ini bagian layanan jasa yang seharusnya take and give sehingga masing-masing pihak merasa nyaman dan dimuliakan.
Pengelola tempat ziarah juga sering terjadi konflik karena motivasi rebutan lahan. Hal ini bisa ditandai dengan carut marutnya pengelolaan obyek wisata religi. Boleh dikatakan jika komplek peziarahan semprawut maka pengelolanya sedang ada masalah internal maupun eksternal.
Pada akhirnya kita berharap, bahwa jika para auliya yang telah meninggal masih bisa memberi manfaat, kenapa orang-orang yang masih hidup justru membawa madharat?
Penulis adalah Dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta.