Opini

Masjid Tanda Seru

NU Online  ·  Ahad, 23 September 2018 | 22:00 WIB

Masjid Tanda Seru

ilustrasi: tekoneko.net

Oleh Abdullah Alawi

Sekali waktu saya shalat di masjid agung sebuah kabupaten. Sebagaimana masjid pada umumnya, arsitektur rumah ibadah orang Muslim itu memiliki beranda. Saya duduk di situ sambil memandang taman, hilir mudik orang diciprati cahaya lampu-lampu yang mulai dinyalakan. Kemudian melepas sepatu coklat pinjaman. Berhubung sepatu orang, semula saya berniat menitipkan, supaya aman, meski harus bayar. Tapi tak ada. Sepatu dibiarkan saja berjajar dengan alas kaki warna-warni, merk dan ukuran.

Melepas capek, sambil selonjoran, saya lirik kanan-kiri beranda. Barangkali, meski kemungkinannya kecil bisa bertemu orang yang dikenal. Kemudian mata saya berhenti pada huruf kapital di tembok. Hmmm... baru masuk beranda saja sudah menemui larangan. “Dilarang merokok di beranda masjid,” begitu bunyi tulisan.

Santai saja, wahai beranda masjid, aku tahu diri, tak mungkin merokok di sini.

Setelah berwudlu, masuk ke ruangan utama masjid. Kulirik-lirik seputar ruangan, dan tiang-tiang penyangga atap itu berseru, “Dilarang tidur di masjid!”.

Santai saja, bung tiang masjid, saya tidak akan tidur di sini kok. Aku ke sini bukan hendak tidur.

Ketika hendak takbirtul ihram, sudut mata saya melirik tulisan lain lagi. Di tembok dekat mihrab, di atas kaligrafi yang jelimet itu terdapat larangan pula, “Jangan akatifkan hape!”

Cerewet banget ini masjid, udah kumatikan dari tadi hapeku.

Saya memperbaiki takbiratul ihram. Allahu akbar...eh, pikiran bukan ke doa iftitah, malah ke tiga larangan itu…hmmm... Kemudian setan lewat mengirim kabar aneh dalam bentuk pertanyaan, “Bagaimana kalau berjudi dan korupsi di masjid, atau main bola, apa dibolehkan di masjid ini? Bukankah di situ tidak dicantumkan laranganya?”

Doa Iftitah kemudian bersulih dengan racauan pikiran tak beres. Entah kenapa, saya merasa tulisan-tulisan larangan itu malah mengganggu keindahan. Tapi mungkin pihak masjid memang tidak ada pilihan selain itu, karena orang yang masuk masjid tidak semua ingin masuk masjid. Mereka punya niat berbeda-beda, misalnya merokok, tidur, dan menelpon tetangganya, pacarnya, atau dukun. Bisa juga dia yang ditelpon untuk menagih utang, atau sekadar mengirim ucapan selamat ulang tahun atau kirim i miss you. 

Larangan-larangan seperti itu mengingatkan saya pada kalangan tertentu dalam Islam sendiri yang selalu menanyakan perbuatan sekarang dengan dalil masa lalu. Perilakunya begini, kalau ada yang melihat orang tahlilan, dia akan bertanya, “mana dalilnya?” Kalau melihat ada yang Yasinanan di malam Jumat, dia akan bertanya, “Mana dalilnya?” Melihat orang-orang shalawatan, bertanya pula, “mana dalilnya?”

Bagaimana kalau saya berperan sebagaimana mereka, sementara saja, kepada masjid agung kabupaten itu. Pertama, dilarang merokok di masjid, “mana dalilinya?” Kedua, dilarang tidur di masjid, “mana dalilnya?” Ketiga, dilarang menyalakan telpon genggam, “mana dalilnya?”

Khusus merokok, meski saya perokok, tidak layak diizinkan di ruang publik seperti masjid. Tapi soal tidur di masjid, sebaiknya diizinkan sajalah. Saya yakin di kota semacam itu banyak orang kelelahan, kemudian istirahat, ketiduran. Jika dilarang, malah akan menjauhkan umat dari rumah tuhannya. Dan kepada pemilik telpon genggam, tahu dirilah.