Opini

Masjid, Persaudaraan, dan Arena Politisasi

NU Online  ·  Senin, 30 April 2018 | 08:00 WIB

Masjid, Persaudaraan, dan Arena Politisasi

Ilustrasi (Pixabay)

Oleh M. Zidni Nafi'

Bagi umat Islam, masjid termasuk tempat suci dan mulia. Tak heran jika ketenangan dan kesejukan batin seseorang padamasa sekarang seringkali dapat dirasakan di tempat yang jauh dari hiruk pikuk aktivitas duniawi itu.

Begitu sucinya tempat ini, banyak etika dan hukum yang mengatur tentang bagaimana sikap dan perbuatan yang boleh atau tidak boleh dilakukan di dalam masjid. Contoh dari hal sederhana seperti mendahulukan kaki kanan ketika masuk, memakai pakaian sopan, hingga larangan melakukan transaksi jual beli.

Dalam sejarah peradaban Islam, selain difungsikan sebagai tempat ibadah untuk mendekatkan diri pada Allah, masjid pada masa Rasulullah misalnya,digunakan juga sebagaitempat majelis ilmu para sahabat untuk mendengarkan siraman wahyu-wahyu oleh Nabi Muhammad. Selain itu difungsikan juga sebagai tempat pelayanan sosial, membahas strategi perang melawan musuh, dan lain-lain.

Apalagi dalam sejarah Islam Nusantara, peran masjid begitu vital sebagai tempat transformasi ilmu dari para wali dan ulama kepada santri dan masyarakat. Sehingga dari pendidikan di masjid—zaman dahulu lazim disebut surau—inilah yang kemudian melahirkan lembaga pendidikan pesantren yang dikenal saat ini.

Perubahan zaman membuat peran dan fungsi masjid juga berubah. Selain untuk kepentingan peribadatan, kebudayaan dan pendidikan, kini masjid juga mulai menjadi ‘arena’ kepentingan politik praktis yang sering digunakan saat momentum pemilihan umum. Meraup “dukungan suara” menjadi motif utama dalam politisasi masjid ini.

Pro dan kontra pun muncul. Berbagai argumentasi sejarah, tafsir, dan alasan demokrasi berseliweran di mana-mana. Tidak sedikit masyarakat mulai kebingungan lantaran sebagai bagian dari objek politikus yang memanfaatkan masjid untuk lokasi kampanye demi lumbung suara. Apakah fenomena seperti ini bisa dibenarkan dan dibiarkan saja? Ataukah ada hal lain yang perlu dipertimbangkan tatkala menggunakan masjid sebagai arena kampanye?

Muslim Tanpa Masjid?

Pada awal era reformasi, seorang cendekiawan Muslim Kuntowijoyo mengenalkan istilah “Muslim Tanpa Masjid” sebagai judul bukunya. Buku ini berupaya mengalisis gejala sosial masyarakat Muslim yang memasuki abad milenial yang dihadapkan dengan berkembangnya gaya hidup modern, generasi muda disediakan fasilitas dan kurikulum baru di sekolah. Sehingga masyarakat mulai ‘menjauhi’ masjid sebab tidak lagi menawarkan fasilitas dan kegiatan yang menarik bagi masyarakat modern.

Dalam pemaknaan lain, istilah ‘Muslim Tanpa Masjid’ merupakan suatu fenomena di mana umat Islam Indonesia satu sama lain semakin tergerus persaudaraannya. Ormas A melabeli masjidnya dengan plang A, ormas B juga memasang plang B di depan masjidnya, begitu pula ormas C tak kalah sigap menjaga masjidnya dengan plang label C.

Akibatnya,sebagian besar masjid yang sudahterkotak-kotak oleh plang. Seseorang bisa menjadi enggan shalat (berjamaah) di sebuah masjid yang bukan didirikan oleh ormasnya. Seolah-olah “tidak sah” apabila berjamaah dengan imam yang bukan ulama dari kelompoknya. Terlepas dari pergulatan aliran, mazhab, atau ormas yang terkadang merebutkan ‘kekuasan masjid’, namun yang jelas fenomena ini mengisyaratkan bahwa umat Islam belum bisa diharmonis dan dikompakkan meskipun disatukanmelalui masjid.

Simbol Persaudaraan dan Peradaban

Padahal apabila dirasakan bersama, masjid di Indonesia pada dasarnya merupakan simbol persaudaraan umat Islam.Simbol ini contohnya bisa dilihat dari aktivitas shalat berjamaah. Usai berjamaah juga satu sama lain bisa saling bersalaman. Di samping itu, apa pun ormas dan partainya, siapa pun Muslim tanpa melihat gelar, jabatan, dan keturunannya, semua sama di hadapan Allah. Yang membedakan hanya kualitas ketakwaannya dalam beribadah dan bermasyarakat. Al-Qur’an pun sudah mempertegas:

لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ

“Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya masjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS. At-Tubah: 108)

Selain itu, fungsi masjid untuk mencapai “kemajuan peradaban” juga perlu dijaga dan dikembangkan dalam rangka pembinaan umat Islam. Tawaran modernitas yang berimbas pada ‘pelarian’ masyarakat ke tempat-tempat hiburan dan wisata. Anak-anak mulai ‘asing’ dengan masjid sebab terlalu lama di sekolah lantaran sekolah penuh dengan kegiatan yang lebih mengasyikkan.

Oleh sebab itu, masjid sebagai sentra kegiatan keumatan perlu diinovasi kembali. Itupun jika kita sama-sama mempunyai kesadaran bersama demi meramaikan masjid sebagai pusat peradaban dan syiar umat Islam. Jika tidak, tinggal menunggu waktu bagaimana nanti masjid tambah ditinggalkan jamaahnya dan generasi muda semakin tidak akrab dengan masjid.

Arena Konsolidasi Politik

Di samping problem yang telah disebutkan di atas, masjid di era pemilu seperti sekarang menjadi tempat strategis untuk mendulang dukungan suara dari jamaah masjid. Hal ini tidak jarang dilakukan oleh pentolan partai, tokoh agama pendukung calon tertentu pada saat khutbah shalat Jum’at, kultum, pengajian atau majelis taklim, baik itu menggunakan komunikasi secara terang-terangan maupun hanya tersirat dan isyarat saja. Mengapa fenomena demikian bisa terjadi? Jauh-jauh hari Rasulullah sudah mewanti-wanti:

يَأْتِ عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ يَحْلِقُوْنَ فيِ مَسَاجِدِهِمْ وَلَيْسَ هُمُوْمُهُمْ إِلاَّ الدُّنْيَا وَلَيْسَ للهِ فِيْهِمْ حَاجَةٌ فَلاَ تُجَاِلسُوْهُمْ

Akan datang suatu masa kepada sekelompok orang, di mana mereka melingkar di dalam masjid untuk berkumpul dan mereka tidak mempunyai kepentingan kecuali dunia dan tidak ada bagi kepentingan apapun pada mereka maka janganlah duduk bersama mereka”. (HR Al-Hakim)

Alasan tafsir sejarah dan dalil pemfungsian masjid sebagai arena kampanye yang mengaku partai Islam atau calon pemimpin pilihan umat Islam tidaklah dapat dibenarkan. Zamannya pula sudah berbeda. Sebagaimana Rasulullah dan sahabatnya atau pejuang Indonesia melawan penjajah dulu mengatur strategi politik melawan musuh dilakukan di masjid lantaran musuhnya jelas melawan Muslim dan wilayah negara, selain juga karena ketersediaan tempat tidak selengkap zaman sekarang. 

Makanya, dalam situasi Indonesia saat ini ada empat hal mengapa tidak boleh memakai masjid sebagai arena politisasi. (1) Menjaga kemurnian masjid sebagai tempat peribadatan dari kepentingan dunia yang sesaat; (2) jamaah masjid yang beragam, apalagi soal selera serta dukungan partai atau calon pemimpin pemerintahan; (3) menyediakan umat Islam tempat yang benar-benar sejuk, teduh, tenang, dan jauh dari ingar-bingar urusan dunia (politik); (4) mengantisipasi agar tidak terjadi konflik sesama umat Islam, sehingga bisa mengakibatkan jamaah ‘muak’ jika di masjid masih saja ada janji-janji politik.

Meskipun masjid misalnya dibangun sendiri oleh sebuah partai atau ormas tertentu, namun yang jelas orientasi masjid adalah untuk kepentingan umat dan semakin mendekatkan diri kepada Allah, bukan jadi ajang tempat untuk caci maki, fitnah, provokasi, sumberpertengkaran dan berpecah-belah melalui khutbah atau kultum yang bernuansa politik kelompok yang sesaat. Sebagaimana firman Allah:

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوامَعَ اللَّهِ أَحَدًا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al-Jin: 18)

Untuk itu, jika ada pertanyaan,“Bolehkah politisasi masjid?” tidaklah relevan untuk diperdebatkan. Justru pertanyaan yang tepat seharusnya, “Bagaimana masjid semakin ramai untuk tempat ibadah? Dan bagaimana masjid dapat kembali menjadi sentra bagi persaudaraan dan kemajuan peradaban umat Islam?”


Penulis adalah santri alumnus Qudsiyyah Kudus, penulis buku “Menjadi ISLAM, Menjadi Indonesia”.