Opini

Man ista`jara ajran fal yu’alimhu ajrahu

NU Online  ·  Jumat, 2 Mei 2003 | 02:49 WIB

Oleh : Anom Surya Putra SH*

Jakarta.NU.Online
Menurut Hassan Raid (2001), diharamkannya memakan darah yang mengalir tidak semata bermakna memakan darah dalam arti dzahir. Hassan Raid menafsirkan Surat al-An’am/6:145 lebih jauh : menghisap dan memeras sesama manusia pada prakteknya memakan darah yang mengalir dalam tubuh manusia yang dihisap dan diperas. Hal ini bisa dikiaskan pada sistem ekonomi kapitalistik yang diperoleh dengan menumpuk modal dan menghisap tenaga buruh.

<>

1
Al-Qur`an membolehkan praktek industri dan perdagangan, tetapi al-Qur`an mengharamkan praktek monopoli dan eksploitasi (Q.S al-Baqarah/2 : 275). Aturan ini dikodifikasikan dalam pengharaman riba yang sangat dikecam al-Qur`an. Sebab dalam riba ada pihak yang mengambil keuntungan banyak, pada sisi lain ada pihak yang dirugikan, yang artinya ada hak yang terlanggar dalam relasi tersebut. 

Fazlur Rahman sebagaimana dikutip oleh Asghar Ali Engineer (1999), mengutip pendapat Imam Qoyyim dalam menjelaskan masalah riba. Menurut Imam Ibnu Qoyyim riba ada dua, (1) bentuk riba yang jelas dan tegas, (2) bentuk riba yang tersembunyi dan samar. Bentuk yang pertama secara tegas dilarang karena terdapat bahaya besar yang dikandung didalamnya, dan bentuk kedua dilarang karena riba ini mengarah pada bentuk yang pertama.

Bentuk riba yang pertama adalah riba yang ada pada masa jahiliyah yang berupa melipatgandakan uang pinjaman karena tertunda pembayarannya --sebuah  praktek yang sangat merugikan si penghutang karena jumlah hutangnya bisa berlipat ganda tanpa keuntungan sedikitpun pada si peminjam. Sementara yang meminjami menjadi kaya, sehingga dari sinilah Allah melarang riba, sedang mengenai bentuk riba yang kedua, menurut Imam Qoyyim adalah setiap perdagangan yang terutama motivasinya mencari untung. Bentuk tersebut adalah termasuk bentuk riba yang tersembunyi.

Beberapa ekonom berpendapat bahwa riba semestinya tidak sebatas ditafsirkan sebagai bunga bank, tetapi juga “profiteriing”. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Ibnu Qoyyim mengenai riba, dimana pelarangan riba diantaranya adalah aktivitas ekonomi yang membahayakan tatanan sosial masyarakat. Eksploitasi majikan terhadap buruh adalah juga riba. Majikan membayar buruh sebatas kebutuhan revitalisasi tenaga untuk bekerja kembali, dan tidak memberikan hak buruh atas nilai kerja (use value) yang menjadi sumber laba dalam produksi.

Relasi buruh majikan yang ada saat ini menempatkan buruh pada posisi yang dieksploitasi demi keuntungan besar pada pemodal. Buruh yang dieksploitasi dan majikan terus melakukan akumulasi demi perkembangan modal. Buruh juga hampir tak dapat menentukan syarat-syarat kerja berkaitan dengan pekerjaanya. Buruh hanya menerima sesuatu yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Meskipun akhir-akhir ini gejolak buruh cukup meningkat, tetapi belum bisa dijadikan representasi keterlibatan buruh berkaitan dengan kebijakan perburuhan baik ditingkat pabrik maupun ditingkat nasional. Kondisi buruh yang buruk dari jam kerja panjang, suasana kerja yang tidak sehat, PHK sewenang-wenang, lembur, upah rendah menjadikan buruh layaknya seperti budak yang tidak mampu menentukan dirinya. Padahal al-Qur`an bertujuan mendorong manusia untuk membangun peradaban tanpa perbudakan. Jalan ini disinyalir oleh al-Qur`an sebagai jalan mendaki yang sulit dan berliku, sebagaimana termuat dalam Q.S. al-Balad/90 : 11-16.

Menurut ayat ini sebagaimana ditafsirkan oleh Muh Abduh (1999) bahwa manusia tidak suka menerjang jalan yang mendaki yaitu jalan hidup yang sukar namun mengantarkan manusia pada hidup yang bahagia di dunia dan aherat. Jalan ini mengandung kesukaran karena berlawannan arah dengan kecenderungan hawa nafsu bagi penempuhnya. Kesukaran-kesukaran itu adalah membebaskan budak. Menurut Abduh ini menunjukan kecenderungan islam kepada kebebasan manusia serta kebenciannya kepada perbudakan dan penindasan.

2
Islam memperhatikan keadilan sebagai dasar dari relasi sosial dalam kehidupan manusia. Al-Qur`an juga menyerukan kaum beriman untuk menjadi saksi Tuhan bagi keadilan. Bahkan keadilan adalah tujuan dari pewahyuan al-Qur`an (Q.S al-Waqiah/56: 25) dan keadilan diperlihatkan sebagai batu loncatan menuju takwa (Q.S al-Maidah/5: 6). Keadilan menurut Ibnu Qoyyim al-Jauziah juga merupakan ontologi  bagi tegaknya agama.

Keadilan di al-Qur`an diungkap dalam berbagai istilah antara lain dengan kata al-‘adl, al-Qisth, al-Mizan dan dengan menafikan kadzaliman. Adi