Opini

Mafsadat Pemakzulan dalam Literasi Sejarah

NU Online  ·  Jumat, 6 Juli 2018 | 18:00 WIB

Oleh: Nanang Qosim 

Rasulullah SAW pernah bersabda: "Pemimpin kamu yang paling baik adalah yang kamu mencintainya dan mereka pun mencintaimu. Kamu membahagiaannya dan mereka pun membahagiakanmu. Adapun pemimpinmu yang paling jahat ialah yang kamu membencinya dan mereka pun membencimu. Kamu mengutuknya dan mereka pun mengutukmu.

Auf bertanya: Ya Rasul, bolehkah kami memberontak terhadap mereka? Rasul: Tidak boleh, selama mereka mendirikan shalat bersamamu. Hanya orang yang dikuasai pemerintah lalu ia melihat pemerintahannya itu berbuat kemaksiatan kepada Allah, maka hendaklah ia membenci kemaksiatan kepada Allah itu, dan janganlah ia melepas tangannya dari kemaksiatan kepada-Nya." (HR Muslim).

Salamah bin Yazid al-Ju'fi bertanya kepada Rasul: “Bagaimana pendapat Rasul jika kami mempunyai pemimpin, mereka meminta haknya kepada kami, tapi mereka menghalangi hak-hak kami. Apa yang akan Rasul perintahkan kepada kami?' Rasululullah menjawab: Dengarkanlah dan taatilah! Karena mereka akan memikul apa yang dibawanya dan kamu pun akan memikul apa yang kamu bawa.” (HR Muslim).

Dalam terminologi politik Islam, pemakzulan merupakan derivatif dari bahasa Arab makzul, dari akar kata azala yang mempunyai dua arti: mengasingkan, menyisihkan, memisahkan, memencilkan, dan menyendiri; dan memecat, pemberhentian, penarikan kembali (recall) atau memecat dari jabatan. Dan dua hadis di atas menegaskan penolakan Rasululullah atas pemberontakan (bughat) atau pemakzulaan terhadap penguasa yang sah.

Sebagai Rasul, yang pernyataan dan tindakannya selalu mendasarkan pada wahyu dan jauh dari kehendak hawa nafsu (wama yantiqu 'anil hawa in huwa illa wahyuyyuha), maka penolakan Rasululllah terhadap pemakzulan tentu sudah mempertimbangkan banyak hal, termasuk kerusakan (mafsadat) yang akan ditimbulkan. Rasulullah yakin bahwa pemakzulan hanya akan menciptakan lebih banyak mafsadat ketimbang kebaikan (maslahat).

Prediksi Rasulullah terbukti ketika terjadi kudeta terhadap Khalifah Utsman bin Affan. Ini pemakzulan pertama dan paling sadistis yang menimpa khalifah dalam sejarah politik Islam. Tidak sekadar dimakzulkan, secara fisik Utsman pun mengalami siksaan hebat yang dilakukan oleh tentara dari tiga gubernuran.

Utsman terpilih menjadi khalifah ditentukan lewat musyawarah yang demokratis dengan mekanisme ahl al-halli wa al-aqdhi. Utsman menjadi khalifah di kala usianya telah mencapai 70 tahun. Kepemimpinannya dikenal sarat nepotisme lantaran campur tangan yang berlebihan dari saudara-saudaranya dan Utsman tidak mampu mengendalikannya dengan baik.

Namun penting dicatat juga bahwa sebelum menjadi khalifah, Utsman dikenal sebagai salah satu orang kaya pada zamannya. Tapi ketika menjabat sebagai khalifah, sekadar untuk makan sehari-hari pun Utsman harus mendapat "jatah" dari baitul mal, lantaran hartanya dihabiskan untuk perjuangan bagi kebesaran Islam. Bandingkan dengan elite politik kita kini.

Pascapemakzulan Utsman perpecahan politik sulit dihindari. Elite-elite sahabat masa itu mengalami keterpecahan dalam berbagai faksi politik dan keagamaan, yang tergambar dari lahirnya beragam teologi keagamaan dan politik, seperti: Khawarij, Syiah, Murji'ah, Qadariyah, Jabariyah, Mu'tazilah, dan Sunni.

Selain itu, terjadi dua peperangan besar, yaitu Perang Jamal antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah yang notabene istri Rasul dan mertua tiri Ali; dan Perang Shiffin antara Ali dengan Mu'awiyah bin Abi Sofyan, perang antara dua kekuatan politik yang begitu berpengaruh baik sebelum maupun setelah datangnya Islam. Munculnya Khilafah Abbasiyah yang bermarkas di Baghdad kala Kekhilafahan Ummayah merupakan dampak lanjutan dari pemakzulan Utsman.

Sedikit berbeda, dalam konteks sejarah kerajaan di tanah Jawa, pemakzulan juga telah membawa petaka politik yang berkepanjangan. Ketika hasrat untuk menguasai tanah Tumapel -dan tentu juga ingin memiliki Ken Dedes-, Ken Arok melakukan kudeta (membunuh) Raja Tunggul Ametung. Dampak kudeta ini ternyata begitu luar biasa: terjadi pembunuhan politik secara berantai. Tercatat, terjadi tujuh kali pembunuhan politik yang melibatkan banyak kekuatan politik di Kerajaan Singosari.

Pascakemerdekaan, di Indonesia juga terjadi beberapa pergantian kepemimpinan secara tidak lazim. Presiden Soekarno 'dikudeta' secara halus oleh Soeharto. Akibat kudeta ini dan juga peristiwa lain yang melingkupinya, dampaknya masih kita rasakan hingga saat ini. Harus diakui, dendam-dendam politik masih hinggap di sebagian anak bangsa atas peristiwa di seputar September 1965.

Dampak pemakzulan terhadap Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga masih dirasakan sampai saat ini, terlebih di level "akar rumput" Nahdliyin. Relasi Muhammadiyah- NU yang sudah sampai pada taraf menggembirakan sempat "memanas" lantaran pemakzulan Gus Dur. Kalangan Nahdliyin memandang Amien Rais yang notabene mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah dan kala itu menjadi Ketua MPR RI, dinilai sebagai penggerak pemakzulan Gus Dur.

Dari rangkaian paparan pemakzulan di atas, tampak jelas bahwa mafsadat pemakzulan jauh lebih banyak ketimbang maslahat yang ditimbulkan. Rangkaian pemakzulan yang terjadi di Timur Tengah belum lama ini semakin menegaskan bahwa pemakzulan bukanlah solusi alternatif yang baik.
Irak pascapemakzulan Saddam Hussein, Mesir pascapemakzulan Hosni Mubarak, dan Libya pascapemakzulan Moamar Khadafi, kondisinya hingga saat ini masih begitu memprihatinkan. Upaya pemakzulan yang dilakukan kalangan oposisi Suriah atas diri Presiden Bashar Asad juga semakin mempertegas bahwa upaya pemakzulan bukan solusi terbaik bagi penyelesaian masalah bangsa secara menyeluruh.

Berlebihan bila menyebut bahwa kondisi Indonesia saat ini sepadan dengan Mesir era Hosni Mubarak, Irak era Saddam Hussein, Libya era Moamar Khadafi. Mesir, Libya, dan Irak era tiga pemimpin tersebut adalah penggambaran nyata dari negara tiran, negara yang membungkam gerakan prodemokrasi. Negara yang mengekang kebebasan berpendapat dan berserikat.

Sementara di Indonesia gerakan prodemokrasi masih mendapat tempat, penyampaian pendapat dan berserikat juga masih dilindungi undang-undang. Bahkan aksi-aksi politik yang kadang dinilai berlebihan pun, negara membiarkan, tidak ada tindakan represif sebagaimana pernah dilakukan rezim Orde Baru.

Kolumnis dan peneliti, Pimpinan Cabang Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (PC LTNNU) Semarang, Jawa Tengah.