Oleh Muhammad Afiq Zahara
Shalat, puasa, zakat, kurban dan ibadah kita lainnya seringkali dilakukan sekedar untuk mendapatkan pahala; surga. Pahala menjadi komoditas yang tanpa sadar kita kumpulkan seperti properti. Akibatnya, seluruh ibadah kita membuat diri kita merasa lebih baik dari orang lain. Mudah menuduh orang salah, fasik dan bahkan sampai munafik.Ketaatan kita dalam beribadah—mengumpulkan pahala—menjadi jalan kesombongan kita. Seperti halnya orang yang gemar menimbun harta; ada kalanya dia menjadi sombong, ada kalanya pula dia menjadi dermawan yang murah hati.
Seorang sufi agung, Imam Yahyâ bin Mua’dz (w. 258 H) sekali waktu pernah berkata: “dzanbun aftaqiru bihi ilaihi ahabbu min thâ’atin aftakhiru bihâ ‘alaihi” (dosa yang membuatku butuh akan ampunanNya lebih kusukai dibandingkan ketaatan yang membuatku menyombongkan diri).
Bukan berarti ketaatan tidak diperlukan, tapi agar kita menyelami lebih dalam diri kita sendiri, mengenalinya, mengakrabinya dan pada akhirnya mempertanyakan, “apakah ibadah kita telah membuat diri kita menjadi pribadi yang lebih baik, rendah hati dan penuh kasih? Ataukah malah membuat kita bertambah sombong, melihat orang yang kurang dalam ketaatannya sebagai pendosa dan kotor?” Itulah perlunya pemaknaan mendalam dalam ibadah yang kita lakukan.
Kurban adalah teladan. Allah memilih Ibrahim, sahabat terdekatnya (khalîl Allah) untuk melakukan pengorbanan besar, menyembelih anaknya sendiri, Isma’il. Pengorbanan itu semakin berat dilakukan karena di waktu yang lama Ibrahim memohon kehadiran seorang anak. Allah memberinya Isma’ilketika usia Ibrahim sudah tua. Anak yang selama ini ditunggu-tunggu, setelah lahir Allah perintahkan untuk dikorbankan. Ibrahim dan Isma’il menuruti perintah tersebut.
Apakah ada keraguan dalam hati mereka berdua? Pertanyaan tersebut perlu dianalisa menggunakan dua pendekatan; pertama, ada keraguan seperti beberapa riwayat. Keraguan yang dialami Ibrahim dan Ismail, sebaiknya dipahami dalam konteks keteladanan dan hikmah. Dalam keraguan besar sekalipun, mereka tetap melaksanakan perintah Allah. Tindakan inilah yang menjadi pembuka pintu kedewasaan spiritualitas manusia. Sehingga keragu-raguan tidak akan lagi melintas di hati mereka.
Kedua, tidak ada keraguan sama sekali. Mereka dengan teguh dan ikhlas menjalankan perintah Allah tersebut. Mereka sangat mengenal Allah yang Maha Pengasih. Tidak mungkin Allah menumpahkan darah orang tak berdosa (Ismail) dan menjadikan seorang ayah pembunuh (Ibrahim).
Mereka berdua meyakini betul akan hal itu, sehingga tanpa kebimbangan sedikit pun melaksanakan perintahNya.Mereka berdua memaknai prosesi kurbân sebagai ajaran untuk generasi berikutnya, bahwa apapun kesukaran hidup yang dilalui, yakinlah pada rahmat Allah.
Andai menggunakan pendekatan psikologis, sukar menemukan ujian hidup melebihi Ibrahim. Dia harus menyembelih anak kesayangannya sendiri. Sebelum itu, dia telah diuji oleh Allah untuk meninggalkannya di Mekkah sejak kecil dan tidak melihat pertumbuhan anaknya. Namun, dengan keimanan dan keyakinannya atas rahmat Allah, Ibrahim mengorbankan Ismail. Ibrahim tahu betul bahwa perintah Allah ini adalah ujian untuk mereka berdua, bukan pengorbanan dalam arti pembunuhan.
Dengan ujian, kita tumbuh menjadi manusia yang lebih mengerti. Tanpa ujian, kepekaan kita terhadap penderitaan orang lainseperti pisau yang tak pernah diasah. Ujian adalah anugerah Tuhan dalam wajah lain. Wajah yang sering terabaikan karena tak seorang pun mau menatapnya. Maulana Rumi berkata: “When someone beats a rug,the blows are not against the rug, but against the dust in it—ketika seseorang memukul permadani, pukulan itu bukan untuk permadani, tapi debu yang menempel di atasnya.” (Kabir Helminski dan Camille Helminski, 2005)
Ujian membersihkan kita dari debu-debu yang menempel di jiwa kita, membukanya agar mampu memahami dan mengerti bahwa, keindahan Tuhan selalu berinteraksi dengan kita, dari jingganya langit senja, hingga acuhnya nyanyian burung.
“Kenapa untuk mengenali keindahan,” kata Rumi, “manusia harus mengunjungi taman terlebih dahulu, meski keindahan berada di sekitar kita.” Itu karena hati kita masih belum bersih dari sampah hawa nafsu. Akibatnya, keindahan yang kita rasakan masih terikat dengan tempat dan keadaan.
Kata qurbân merupakanbentuk masdar dari qaruba yangberarti dekat atau mendekati. Untuk mendekat, kita harus menawarkan sesuatu. Apalagi selama ini kita telah mendapatkan anugerahNya yang tak terhingga meski tanpa meminta. Kehidupan ini misalnya, kita tidak pernah meminta Tuhan untuk memberi kita kehidupan. Kita tidak pernah meminta Tuhan untuk memberi kita mata. Kita tidak pernah meminta Tuhan untuk memberi kita kaki. Tapi, Tuhan memberikan kita semuanya tanpa diminta.
Lucunya, kita sering menganggap diri kita sebagai korban, terkadang sampai menyalahkan Tuhan. Kita seharusnya bertanya, apakah kita pernah berkorban? Jika belum, kenapa kita selalu merasa diri kita sebagai korban? Seperti halnya tentang doa, banyak yang merasa Tuhan tidak pernah mengabulkan doa.
Tapi kita lupa, mungkin saja keberhasilan kita di lain waktu adalah hasil dari doa-doa kita yang lalu.Lalu kenapa di saat itu terjadi kita lupa dengan doa-doa kita, tapi di saat susah kita berkata Tuhan tidak pernah mengabulkan doa?
Kita perlu belajar dari kisah itu, tidak hanya tentang ritual dan seremoninya. Jadikan kisah Ibrahim dan Ismail sebagai pintu menuju kedewasaan spiritualitas kita, agar kita dapat melihat diri kita dan dunia tempat kita tinggal dengan seimbang. Tanpa melupakan nikmat Tuhan dan dosa-dosa kita.
Berhati-hatilah agar amal ibadah kita tidak menggelincirkan kita dalam kesombongan. Bersyukurlah atas apa yang kita miliki. Orang yang bisa mensyukuri kehilangan adalah orang yang luar biasa.Selamat Idul Adha. Wallahu A’lam.
Penulis adalah warga NU dari Yogyakarta, alumnus Pondok Pesantren Al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.