Oleh Abdul Malik Mughni
Nahdlatul Ulama
(NU) sebagai organisasi masyarakat berakar dari pesantren, kerap ‘ditinggalkan’
dalam diskursus modernisme di Indonesia. Stigma pesantren sebagai subkultur
feodal di Indonesia, menjadi dalih untuk meminggirkan peran NU dari sejarah dan
peta politik Orde Baru (Orba), selama dua dasawarsa. Para peneliti masa itu,
seperti Clifford Greetz dan Deliar Noer (keduanya lahir tahun 1926 dan menjadi
rujukan para Indonesianis pada tahun 1960 sampai 1980-an) serta sejumlah
penulis terkenal di masa awal Orba, menggambarkan NU dan pesantren
sebagai kaum kusam yang antimodernisme.
Mereka berhasil
menggiring opini masyarakat dunia, untuk menstigmatisasi NU. Framing tersebut
kemudian berubah seiring hadirnya para penulis NU, seperti Mahbub Djunaedi, Abdurrahman
Wahid, Musthofa Bisri, juga Saifuddin Zuhri.
Disamping penulis muda Masdar F Masudi, dan Said Budairi yang berhasil membawa
pesantren dalam pelbagai wacana kontemporer di media utama (mainstream). Stigma NU
yang kusam, oportunis dan lemah dalam mengejar tuntutan zaman pun berganti
menjadi NU yang unik, seksi dan mampu melampaui zaman berkat kehadiran para
penulis dan aktivis muda pesantren di akhir tahun 1980-an.
Penihilan peran
NU dan pesantren juga terjadi dalam wacana feminisme dan gerakan kesetaraan
gender di Indonesia. Terlambatnya
pembentukan organisasi Muslimat, Fatayat, Korps Peregerakan Mahasiswa Islam
Indonesia Putri (Kopri) dan Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU) seolah menguatkan
anggapan bahwa pesantren adalah subkultur yang sangat kuat dalam mempertahankan
tradisi patriarkal.
Perempuan Pesantren, Memimpin Ranah Publik
Jika dirunut
dari sejarah, Pesantren sebagai subkultur di Nusantara, justru telah membantu
menyelaraskan gerakan kesetaraan gender;
dari wacana elit ke gerakan afirmatif yang diterima hingga ke desa-desa. Meski
secara organisasi, pembentukan sayap perempuan di NU dan badan
otonomnya terbilang lambat, namun secara kultural, gerakan kesetaraan gender di
kalangan pesantren telah dimulai sejak lama. Berdirinya pondok pesantren khusus
putri di tahun 1917, di Jombang, adalah salahsatu sumbangsih ulama, khususnya KH
Bisri Syansuri terhadap akselerasi gerakan feminisme di
pesantren.
Jauh sebelum
itu, seperti diungkapkan sejarawan Universitas Brawijaya, KH Agus Sunyoto, sejatinya
kultur Nusantara, khususnya di kawasan pesisir –bersama
kultur pesantren,- adalah matriarkal. Kultur matriarkal tersebut, menurut Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) ini,
justru dihancurkan oleh negara-negara Eropa, seperti Portugis dan Belanda yang
menjajah Nusantara seabad lampau.
Agus Sunyoto menyodorkan fakta tentang Ratu Kalinyamat yang memimpin pasukan,
menyerang Portugis di Malaka di
tahun 1560. Kemudian ada Laksamana Kemala Hayati, Cirebon,
Nyimas Gandasari, Nyi Ageng Serang dan lainnya. “Kultur pesisir itu kultur
matriarki, perempuanlah yang berkuasa,
tak hanya dalam fakta sejarah, tapi juga dalam legendanya,” kata penulis Atlas Walisongo ini.
Di pesisir
juga, kata Agus, semua dongeng berpijak pada kultur matriarki. Agus lalu
mencontohkan bahwa di Surabaya ada kisah Sawunggaling yang sukses karena taat
pada ibunya. Ada juga Syarif Tambakyoso dari Sidoarjo, kesaktian yang dimiliki
dari ibunya. “Malingkundang dan Sangkuriang pun berpusat pada tokoh perempuan,”
paparnya. Mitos-mitos penguasa lautan di Indonesia, juga perempuan, seperti Nyi
Roro Kidul, Dewi Lanjar, Ratu Laut Utara dan lainnya.
“Kehidupan di pesisir itu menghormati perempuan. Kuasa perempuan di
Nusantara itu dihancurkan kolonialisme,
karena Eropa sejak era Yunani sudah patriarki,” tandas Agus seraya mengurai
fakta tentang dongeng Eropa yang penuh maskulinitas. Ia menyebut dongeng Dewa
Zeus versus Hera, dewi yang jahat, hingga penyebutan istilah Founding Father
dan Fatherland, di negara-negara Eropa dan Amerika.
Bagaimana
dengan Indonesia? “Kita menyebutnya Ibu Pertiwi, Persia pakai istilah Meehan, Turki
juga menggunakan Anavatan semua maknanya motherland. Jadi wajar dalam
penulisan sejarah pascakolonialisasi, peran-peran perempuan banyak dinihilkan,”
imbuhnya.
Perempuan
pesisir Nusantara ternyata juga sangat berperan dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Enam tokoh perempuan yang tercatat dalam dokumentasi
Sumpah Pemuda juga berasal dari daerah pesisir. Di antaranya, Siti Sundari dari
Semarang, Emma Poeradiredja dari Cirebon.
Pendapat senada
diungkapkan Aisyah Hamid
Baidowi. Adik Gus Dur itu mengungkap,
kalangan pesantren turut mendorong ‘kemapanan’ feminisme
di Indonesia, baik melalui gerakan afirmatif yang melahirkan sejumlah regulasi
pro perempuan, maupun secara kultural, mengubah peran nyai,
dari sekedar pendamping kiai, menjadi
sosok yang menjadi pemimpin.
Tak heran, jika
saat ini, banyak nyai, maupun
puteri kiai serta aktivis perempuan NU, menjadi pemimpin di ranah publik. Kini
para perempuan pesantren banyak berkiprah di ranah politik. Menjadi legislator,
kepala daerah, menteri dan (mungkin) kelak menjadi Wakil Presiden atau bahkan
Presiden.
Para perempuan pesantren, kata Aisyah, kini juga banyak menjadi pemimpin di ranah agama. “Sekarang banyak kemajuan di pesantren. Ibu-ibunya kebanyakan sarjana. S2, S3, malah di Purwoasri Kediri, ibu nyainya Profesor. Almusadaddiyah juga ibu nyainya profesor. Hasil Produk pesantren ketika keluar dari kepompongnya, itu luar biasa. Di MUI misalnya ada Ibu Chuzaimah Tanggo, Ibu Mursidah mereka tangguh dan alim. Khofifah juga produk pesantren,”tandasnya.
Tantangan Perempuan Pesantren
Nama-nama yang
diabsen oleh Agus Sunyoto maupun Aisyah Hamid Baidowi adalah para aktivis pesantren yang tumbuh di era Orba yang
represif. Mereka pernah berkiprah di IPPNU, Kopri, Fatayat maupun Muslimat.
Kini para penerusnya di organisasi sayap perempuan di NU dan badan
otonomnya,
tentu punya kesempatan lebih besar untuk meningkatkan kualitas diri dan gerakan
organisasinya agar lebih inovatif dan kreatif.
Di era serba
kompetitif sekarang ini, para perempuan pesantren punya peluang lebih besar
untuk berkiprah di banyak bidang. Tak melulu di ranah politik. Tapi juga perlu
mengisi ranah ekonomi kreatif, IT, birokrasi dan ranah profesional lain perlu
diisi oleh para perempuan pesantren.
Riset McKinsey
Global Institute (2012) memprediksi Indonesia, dengan kultur negara kepulauan memiliki prospek menjanjikan pada tahun 2020-2030.
Sampai saat ini, Indonesia menjadi pangsa pasar terbesar bagi banyak industri
di dunia. Indonesia yang saat ini berada di peringkat ke-16 sebagai negara
perekonomian terbesar, akan meningkat ke peringkat ke-7 pada tahun-tahun
tersebut. Perempuan, seperti saat ini, tentu akan menjadi pangsa pasar
terbesar.
Perkembangan
tersebut tentu perlu disikapi dengan bijak oleh para aktivis perempuan
pesantren. Sebagai calon pemimpin masa depan, persiapan matang harus digerakkan
secara sistematis. Terlebih, perempuan di Indonesia menghadapi tantangan
berlipat ganda. Tak hanya bakal menjadi tulang punggung ekonomi, para perempuan
Indonesia juga masih harus berperang mengeliminir maraknya kasus kekerasan dan
perdagangan orang. Sehingga, aktivis perempuan pesantren kini, bukan lagi
saatnya berkutat di wilayah wacana feminisme, tetapi sudah bergerak ke ranah aksi.
Khususnya mempersiapkan kader-kader unggulan.
Ke depan, mungkin organisasi silat Pagar Nusa dan barisan semi militer semacam Banser Corp Brigade Pembangunan (CBP) IPNU juga perlu dipersiapkan oleh sayap perempuan NU. TNI dan Kepolisian yang kini sedang meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di dalam rekrutmen, juga perlu diisi oleh para pelajar puteri NU. Sehingga perempuan pesantren masa depan, tak hanya unggul dalam berdebat, dan menjadi pelengkap di ranah politik, tetapi juga mampu berkompetisi di pelbagi bidang.
Penulis adalah Redaktur Pelaksana Website perempuanparlemen.org, Ketua Lembaga Pers Penerbitan dan Kajian Strategis PB PMII dan Wakil Bendahara Lajnah Ta’lif Wa Nasyr PBNU
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Inilah Obat bagi Jiwa yang Hampa dan Kering
2
Khutbah Jumat: Bahaya Tamak dan Keutamaan Mensyukuri Nikmat
3
Kontroversi MAN 1 Tegal: Keluarkan Siswi Juara Renang dari Sekolah
4
Kader PMII Dipiting saat Kunjungan Gibran di Blitar, Beda Sikap ketika Masih Jadi Wali Kota
5
Kronologi Siswi MAN 1 Tegal Dikeluarkan Pihak Sekolah
6
Pihak MAN 1 Tegal Bantah Keluarkan Siswi Berprestasi Gara-gara Baju Renang
Terkini
Lihat Semua