Opini

Koridor Berpikir Nahdliyin

NU Online  ·  Jumat, 11 Agustus 2006 | 10:23 WIB

Azan magrib berkumandang. Diskusi di panggung dekat areal parkir Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Ahad petang itu, spontan terhenti. Beberapa menit sebelumnya, moderator sudah mengingatkan, "Kalau ada azan, kita harus segera salat supaya tidak ada penilaian macam-macam."

Sikap moderator itu seakan menjawab kegalauan kalangan tua Nahdlatul Ulama (NU) pada "kenakalan" kaum mudanya dalam beragama. Termasuk urusan salat. "Santri saya yang fundamentalis lebih mudah disuruh salat berjamaah ketimbang santri yang ikut PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)," kata KH Imam Ghazali Said, salah satu pembicara diskusi, sambil tersenyum lebar.

<>

Ghazali, pengasuh pesantren mahasiswa An-Nur Surabaya, secara berkelakar menyebut PMII sebagai "Pergerakan Mahasiswa Insya Allah Islam". PMII dijadikan contoh karena merupakan salah satu wadah anak muda NU. Diskusi itu untuk menyemarakkan Munas Alim Ulama NU di asrama haji itu juga, akhir pekan lalu. Tema diskusi seputar dinamika pemikiran.

Karena salah satu agenda munas adalah merumuskan metode pemikiran NU (manhaj fikrah nadliyah). Beredar sinyalemen, munas ini bakal jadi ajang pengadilan anak muda NU liberal. Fenomena kaum muda liberal sudah lama jadi perbincangan dalam lima tahun terakhir. Mereka giat mengembangkan agenda kritik wacana agama, tafsir ulang Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Aswaja), pembaruan ushul fiqih, dan sebagainya.

Isu salat dan PMII tadi hanya contoh kecil. Dalam sesi diskusi sebelumnya, Sabtu sore, KH Afifuddin Muhajir dari Situbondo menyebutkan dua gejala titik ekstrem di kalangan NU. Satu sisi, sangat menyakralkan kitab kuning. "Sisi lain, jangankan kitab kuning, Al-Quran saja tidak dinilai sakral," ujar Afifuddin. "Posisi NU di tengah dua titik ekstrem itu."

Kiai Afifuddin, ahli perbandingan ushul fiqih dan tim perumus fikrah nahdliyah, mengurai dua level liberalisme di kalangan NU: fikriyah (pemikiran) dan amaliyah (perilaku). Pembicara lain, KH Said Agil Siradj, menyarankan kaum muda agar hanya "berijtihad" di wilayah ijtihadiyah, yang cakupannya amat luas: 95%. "Tapi jangan mengutak-atik 5% ajaran Islam yang absolut," katanya.

Sikap para kiai pada diskusi di luar forum persidangan munas itu cukup membuktikan bahwa agenda fikrah nahdliyah didorong oleh kegelisahan mereka pada liberalisme kalangan muda. Meskipun hal itu tidak tertuang eksplisit dalam konsiderans putusan munas.

Konsepsi fikrah nahdiyah yang diputuskan, metodenya dinyatakan berlandaskan ajaran Aswaja. Bidang teologi ikut Al-Asy'ari dan Al-Maturidi. Bidang hukum mengacu pada empat mazhab (Hanafi, Malik, Syafi'i, dan Ahmad). Bidang tasawuf ikut Junaid Al-Baghdadi dan Al-Ghazali. Ini sebenarnya bukan hal baru.

Yang baru adalah rumusan lima ciri fikrah nahdliyah: (1) Moderat (tawassuthiyah), seimbang, tidak ekstrem kanan dan kiri. (2) Toleran (tasamuhiyah), berdampingan damai dengan pihak lain yang berbeda. (3) Reformatif (ishlahiyah), berorientasi perbaikan. (4) Dinamis (tathowwuriyah), berpikir kontekstual. (5) Metodologis (manhajiyah), selalu mengacu pada metode baku.

Lima ciri ini normatif dan lentur. Tak ada isyarat mengekang kebebasan berpikir kaum muda. Persis sikap arif Rais Am PBNU, KH Sahal Mahfudh, "Mereka aset kita, janganlah kita menghancurkan lumbung sendiri." Pandangan serupa diungkapkan kiai senior lain: KH Tolchah Hasan (Wakil Rais Am), KH Ma'ruf Amin (arsitek materi munas), dan KH Hasyim Muzadi.

"Tugas orangtua harus membimbing anak-anaknya, bukan mengusirnya dari rumah," kata Hasyim. Ma'ruf Amin berujar, "Kami mendorong dinamisasi pemikiran, tapi kami memberi koridor, bukan pemikiran tanpa batas." Contoh pikiran di luar koridor adalah pandangan yang meninggalkan nash (Quran-hadis) yang qath'i (pasti) karena dianggap bertentangan dengan maslahat. Bagi Ma'ruf, tak ada pertentangan nash qath'i dengan maslahat hakiki. Nash qath'i tetap harus jadi pegangan.

Secara hampir bersamaan, Jumat pekan lalu, disertasi yang mengulas intelektualisme komunitas muda NU diujikan terbuka di UIN Jakarta. Penulisnya, Rumadi Ahmad, menilai fikrah nahdliyah rumusan munas itu, sebagai acuan normatif dan identitas, sah-sah saja. "Tapi, kalau dijadikan alat eksekusi seseorang, saya kira berbahaya," katanya. Rumadi menilai, sejauh-jauhnya anak muda NU berpikir, tak akan tercerabut dari basis tradisinya.

[Agama, Gatra Nomor 38 Beredar Kamis, 3 Agustus 2006 / Asrori S. Karni & Arif Sujatmiko )