Opini

Kontribusi Pesantren dalam Menghadapi Bonus Demografi

NU Online  ·  Selasa, 10 April 2018 | 04:45 WIB

Kontribusi Pesantren dalam Menghadapi Bonus Demografi

Ilustrasi (Foto Romzi Ahmad)

Oleh Moh Faris Azkiya

Kurang lebih dua tahun ke depan, Indonesia akan mengalami ketimpangan dalam komposisi penduduk. yang pada waktu itu, kelompok muda akan mendominasi NKRI sampai di angka 70 persen dan sisanya adalah lansia dan anak anak. Momentum tersebut menjadikan republik kita sebagai negara dengan rasio ketergantungan yang sedikit dan angka produktif yang meningkat. Situasi semacam ini biasa disebut sebagai "bonus demografi".

Surya Chandra, salah satu anggota DPR Komisi IX, dalam seminar masalah kependudukan di UI pernah memaparkan bahwa jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) pada 2020-2030 akan mencapai 70 persen, sedangkan 30 persen adalah penduduk dengan usia non-produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun). Bila dilihat dari jumlahnya, penduduk usia produktif mencapai sekitar 180 juta, sementara penduduk non-produktif hanya 60 juta. Artinya, Indonesia sedang dipenuhi oleh "manusia aktif", yang siap bersaing dan berkompetensi serta menjadi keuntungan negeri, karena usia yang tidak produktif (pasif) dapat diimbangi dengan usia angkatan kerja yang enerjik.

Ibarat dua belah mata pisau, keadaan ini menjadi berkah, sekaligus bencana bagi bangsa ini. Kehadirannya merupakan durian runtuh yang akan segera menghampiri, serta menjadi satu alternatif jalan membangun bangsa ini baik dalam segi ekonomi, sosial dan budaya. Di sisi lain dapat berakibat fatal jikalau ledakan muda mudi yang berjubel itu tak terakomodasi dengan baik. Kita harus sigap siaga juga belajar banyak dari negara yang sudah dahulu mengenyam bonus demografi dan sukses mengolahnya menjadi suatu keuntungan, seperti negara China, Jepang, maupun Korea yang berhasil melewati era bonus demografi dengan maksimalisasi industri digitalnya.

Pembludakan usia produktif tentunya harus seimbang dengan kesiapan pemerintah dalam menangani semua itu. Baik segmentasi kesehatan, jumlah lapangan kerja yang tersedia serta yang tak kalah penting adalah peningkatan mutu kualitas pendidikan. Karena bonus demografi tak hanya berbicara bagaimana "mempekerjakan manusia", akan tetapi meningkatkan mutu kualitasnya agar semua dapat beriringan dengan makmur. Maka dari itu kualitas sumber daya manusia dulu yang harus ditingkatkan sebagai fondasi awal agar pengembangan selanjutnya tak carut atau bahkan menimbulkan penyakit sosial yang baru.

dr. Fasli Jalal, Ph.D,SPGK saat memberikan orasi ilmiah pada Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture yang ke-14 menyebutkan, setidaknya ada empat syarat yang harus dipenuhi oleh angkatan kerja, yang paling utama yaitu haruslah berkualitas, baik dari sisi kesehatan dan kecukupan gizinya maupun dari sisi pendidikan dan pelatihan serta kompetensi profesionalnya. Namun ternyata untuk merealisasikan semua itu sangatlah diperlukan pendidikan karakter yang dalam hal ini adalah moral. Tentunya dalam falsafah Pancasila pertama dan kedua yang merupakan representatif dari moral dan adab, wajib dipegang dan harus selaras beriringan dengan pembangunan yang dicita-citakan.. Lantas bagaimanakah menciptakan moralitas untuk bonus demografi?

Jawaban Santri dan Pesantren

Dalam sejarah historisnya, kultur pendidikan pesantren dengan santri sebagai elemennya sudah melekat dan telah menjadi bagian dari bangsa ini. Sejak zaman penjajahan, "kaum sarungan" dengan segenap juang telah mengobarkan jihad sebagai respons perlawanan terhadap rezim imperealisme untuk sebuah kemerdekaan. Dan Sampai gelanggang kemerdekaan diproklamasikan, beberapa tokoh pesantrenlah yang memotori dan mengawal sampai titik darah penghabisan.

Kaitannya dalam penanaman nilai-nilai moral (moral value), konsep pendidikan pesantren yang pertama dibangun adalah dengan menanamkan etika berperilaku dan sopan santun. Tatak krama dan Budi pekerti sejatinya sudah dibangun dalam ritme kegiatan belajar mengajar di pesantren. Misalnya saja salah satu kitab yang dipelajari oleh santri, yaitu kitab Ta'lim Muta'allim. Kitab ini mengajarkan untuk selalu ta'dhim (menghargai) kepada guru (kiai). Misalnya saja mengatur etika dalam bersikap dengan guru , jangan duduk di depannya, menghindari bertanya ketika ia sedang lelah, bahkan dalam cakupannya membahas kaidah memperlakukan perangkat ilmu itu sendiri. Semisal Tidak boleh menyimpan buku tafsir (yang berisikan Al-Qur’an) di bawah buku fiqih (yang mengatur kegiatan praktis beragama).

Nurcholish Madjid dalam karyanya berjudul "Bilik-bilik Pesantren" menuturkan bahwa santri akan selalu memandang kiai atau gurunya dalam pengajian sebagai orang yang mutlak harus dihormati, malahan dianggap memiliki kekuatan gaib yang bisa membawa keberuntungan (berkah) atau celaka (malati). Ini adalah sebab dari begitu tingginya penghormatan terhadap kiai. Maka dari itu pendidikan karakter sopan santun sudah ditanamkan sejak dini di pesantren. Bukan sebagai upaya mengekang kebebasan interaksi atau absolutisme guru, melainkan hal ini adalah pembiasaan pola perilaku. Sehingga si anak kelak ketika sudah tamat "mondok" dapat bertindak santun kepada banyak orang.

Kemudian salah satu yang sering ditanamkan di dalam pesantren adalah pola hidup yang sederhana. Mindset santri sangat jauh dari budaya konsumtif. Mereka makan dan minum seadanya dan hanya untuk memperkuat diri untuk bisa melanjutkan belajar. Kehidupan berkecukupan penuh ikhlas ini yang nantinya akan memunculkan karakter yang sahaja. Karena bagi santri, bersyukur adalah modal paling utama untuk menerima segala yang dianugerahkan Tuhan. Sederhana bukan berarti pasif (bahasa Jawa: nrimo) dan bukan karena kemelaratan atau kemiskinan. Tetapi mengandung unsur kekuatan dan ketabahan hati, penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup dengan segala kesulitan yang ada.

Dalam hal kemandirian, para santri sudah terbiasa mengurus sendiri sejak kecil. Usia masuk pondok pesantren biasanya umur 13 tahun, untuk pondok salafi, usia anak masuk pesantren bisa sampai 6 tahun. Mereka mulai jauh dari orang tuanya, dan harus mengurus kehidupan dan hal pribadi seperti mencuci pakaian, merapihkan kasur, bahkan memasak. Hal ini biasanya yang menjadi seleksi alam, apakah si anak bisa bertahan atau justru mundur dari pergulatan studi di pesantren. Dukungan dari guru dan orang tua lah yang dapat memantapkan si anak untuk bisa survive di lingkungan pesantren.

Proses Kemandirian ini kelak akan membentuk karakter anak yang tangguh, dan dapat menghadapi segala tantangan kehidupan. Terlebih salah satu tonggak yang ditanamkan dalam pesantren adalah kata mutiara yang memotivasi anak untuk selalu bersemangat (man Jadda wajada) juga petuah imam Syafi'i Barangsiapa belum merasakan pahitnya belajar walau sebentar,Ia akan merasakan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.

Terakhir, pendidikan yang paling fundamental dalam kehidupan pesantren adalah integrasi perilaku sehari hari dengan agama. Dalam kehidupan pesantren tidak dikenal istilah dikotomi antara dunia dan kepercayaan. Kaidah kaidah yang terkandung dalam aturan agama otomatis menjadi pedoman mereka dalam berperilaku. Hal inilah yang paling banyak memberikan sumbangsih moril terbesar dalam menentukan karakter seorang santri. Karena agama sejatinya mengajarkan keselamatan, baik dalam berperilaku pada sesama manusia, hewan, lingkungan dan alam.

Moral Santri untuk Bonus Demografi 

Kepatuhan dan kesopanan yang sudah dibangun sejak kecil dalam etika santri menjadi modal dalam menghadapi persaingan kedepan. Angkatan kerja yang "melimpah ruah" nantinya akan berjibaku berlomba untuk bersaing mendapatkan lapangan pekerjaan, posisi dan jabatan. di sini hadirlah santri sebagai penengah. Mereka akan ikut berkompetensi namun dengan cara cara yang santun. Mengingat era global, persaingan memungkinkan saling menjatuhkan. Karena keperluan manusia yang mendesak juga ketersediaan lapangan kerja yang terbatas. Maka moral santri akan memberangus ungkapan kontestasi yaitu "Homo Homini Lupus" (manusia adalah srigala bagi sesama manusia) atau seperti apa yang pertama kali dicetuskan Plautus dalam Asinaria "llupus est homo homini".

Selanjutnya pendidikan kemandirian budaya hidup pesantren adalah modal awal bagi pemuda untuk berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Tanpa kemandirian, seorang pemuda tak akan bisa membangun dirinya lebih lebih untuk kemaslahatan banyak orang. Bonus demografi bukan saja memerlukan fresh graduate dengan skill mumpuni. tetapi juga membutuhkan pembaharu dengan segudang inovasi dan mandiri, tidak bergantung, Baik dalam bidang ekonomi, sosial bahkan politik. 

Dalam segi kemandirian sikap, pemuda yang memiliki sifat ini akan selalu struggle dalam menyokong bonus demografi. Karena momentum ini malah akan menjadi buah simalakama jika harus negara yang menanggung sepenuhnya, semisal dalam menyediakan lapangan kerja. tanpa ada kemandirian dari pemuda, semisal kemandirian ekonomi. Tentunya semua akan terhambat. Suksesi harus sama sama dilaksanakan antara negara dan masyarakat, salah satunya membangun sinergi kemandirian, demi terciptanya Indonesia yang berdaulat.

Korelasinya dengan agama, momentum bonus demografi yang hanya didapatkan satu kali saja di dalam umur sebuah negara haruslah dibarengi dengan pembangunan jiwa. Ledakan usia muda yang tergolong labil, jika tidak ditumbuhi nilai-nilai agama hanya akan menjadi kecarut-marutan sosial. Pembangunan yang hanya bertumpu pada sains dan teknologi, mengabaikan nilai-nilai religius, akan mengantarkan kita ke ujung malapetaka.

Agama menjadi benteng pertahanan, di tengah pesatnya arus pengaruh pragmatisme. Batas garis aturan tuhan harus tetap ada dan membentengi agar pembangunan yang muncul menumbuhkan sifat humanis, toleran dan sesuai dengan prinsip keadilan.

Akhirul kalam, prinsip moral yang ditanamkan pesantren semoga menjadi suksesi bonus demografi. Karena, kesempatan dengan tuhan inilah kita dapat memajukan Indonesia untuk lebih baik lagi. Doa kita untuk Indonesia di 2030 menjadi negara yang makmur bukan yang bubar. Mewujudkan prediksi Indonesia sebagai salah satu pemegang status negara dengan kearifan lokal dan ekonomi termaju di dunia.


Penulis adalah Santri, Ketua PAC HMI Cabang Ciputat, Direktur Diskusi  Forum Lintas Kalangan