Opini

Konsolidasi Demokrasi Dalam Titik Bahaya

NU Online  ·  Rabu, 30 April 2003 | 13:23 WIB

Wardi Taufiq*

Jakarta. NU.Online. Sejak lahirnya demokrasi baru (baca: era reformasi) Indonesia menghadapi permasalahan ekonomi dan krisis politik yang berat’.  Ledakan partisipasi politik tak terbedung sementara institusi politik sama sekali tidak terbentuk. Hal ini diperparah -- persis seperti yang digambarkan Huntington yang menguraikan beberapa masalah kontekstual yang dihadapi oleh demokrasi baru pada gelombang ketiga-- dengan problem internal lain, yakni:  1)  pemberontakan besar 2) konflik etnis/komunal 3) tingkat kemiskinan yang ekstrem (GNP per kapita yang rendah) 4) ketimpangan sosial-ekonomi yang menyolok 5) inflasi yang kronis 6)  hutang luar negeri yang besar 7)  terorisme  8) keterlibatan negara secara ekstensif dalam perekonomian. Dan pada saat yang sama, desakan demokrasii oleh kekuatan dan institusi global sangat kuat sehingga demokrasi terpaksa tumpah dalam ruang yang serba kacau balau.

<>

Maka menjadi tidak heran jika Prof. Jack Snyder, seorang pakar konflik etnopolitik dari University of Columbia, AS, mengatakan bahwa demokrasi pada masa pemerintahan transisi di negara-negara sedang berkembang dapat menjadi bencana bagi rakyat. Berbagai konflik yang muncul dalam dekade terakhir yang menewaskan penduduk sipil dalam jumlah yang sangat besar, justru terjadi pada masa transisi tersebut. Pada periode itu justru dunia diguncang oleh berbagai perang yang diwarnai pergolakan suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA). Perang di Burundi yang menewaskan 200.000 orang hanyalah merupakan salah satu contoh setelah terbentuknya pemerintahan baru hasil pemilu.


Menurut pakar yang banyak memusatkan perhatian pada proses demokrasi dan konflik etnik di Afrika ini, pemerintah negara-negara maju terlalu tergesa-gesa menuntut dilaksanakannya demokrasi. Lebih ironis lagi jika hal itu diartikan hanya sekadar pemungutan suara dalam pemilu dan kebebasan yang tanpa koridor hukum. Padahal demokrasi membutuhkan bangunan institusi politik yang mapan, termasuk institusii hukum, pers, bahkan pendidikan.  Apakah hal itu berarti Indonesia menjadi ‘calon’ kuat untuk kembali ke sistem otoriter? 

Pada umumnya, masyarakat Indonesia, walaupun sangat tidak puas dengan para politisi demokrasi, negeri ini tetap berpegang pada demokrasi sebagai sistem politiknya.  Yang harus segera dicatat adalah bahwa demokrasi baru berjalan selama kurang lebih 5 tahun.
Pada tingkat masyarakat, pendukung demokrasi menekankan pentingnya civil society untuk demokrasi. Di Indonesia terlihat indikasi bahwa organisasi  civil society sedang tumbuh (menjamurnya LSM, organisasi keagamaan, serikat dagang dll.), sekalipun dasar civil society lebih lemah daripada di Taiwan dan Korea Selatan.
Indonesia terdapat pula pers yang bebas, yang dapat mengukuhkan demokrasi: the assumption also is where the media is free, civil society will grow sinews of strength much faster, more assuredly. Media yang bebas, sejak disahkannya UU tentang Pers (No.40/1999), seharusnya berarti bahwa masyarakat dapat memperoleh informasi yang aktual tentang politik, demokrasi dan perilaku politisi.  Walaupun sekarang akses pada informasi jauh lebih mudah, terjadi pula beberapa kecenderungan pers yang memprihatinkan, seperti kepentingan di balik pers, ‘money for stories’ dan sensasionalisasi berita. Civil Society dan pers bebas mempunyai peran dalam menanam kebiasaan-kebiasaan demokrasi pada suatu masyarakat.

Memang, di Indonesia belum jelas apakah civil society cukup kuat untuk membantu dalam terkonsolidasinya demokrasi. Civil society di negeri ini memang tengah bangkit akibat kebebasan politik yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Namun civil society di Tanah Air tidak hanya diwarnai oleh karakter demokratis, tapi juga ada yang berwatak sektarian yang bisa berbahaya.

Selain civil society dan kebebasan pers, Linz dan Stepan mengungkapkan bahwa, dari segi konstitusi, konsolidasi demokrasi tercapai apabila “kekuatan-kekuatan pemerintah dan non-pemerintah sama-sama tunduk pada – dan terbiasa dengan – upaya pemecahan konflik di dalam batas-batas undang-undang, prosedur, dan instititusi tertentu yang ditetapkan melalui proses yang demokratis”

Unsur ini mempertanyakan apakah perilaku tokoh demokrasi bersifat demokratis.  Hal ini merupakan pertanyaan yang menemukan contoh konkret di Indonesia yang sekaligus memprihatinkan. Tokoh-tokoh politik selalu menunjukkan sikap yang kurang demokratis – misalnya keputusan Presiden Megawati untuk mendukung Sutiyoso sebagai calon Gubernur DKI merupakan sikap politik yang justru berlawanan dengani kehendak rakyat. 


Dari definisi Linz dan Stepan tersebut, dapat dikatakan bahwa sistem demokrasii di Indonesia belum terkonsolidasi.  Hal-hal apa saja diperlukan agar konsolidasi demokrasi dapat dinyatakan tercapai?
Fokus upaya demokratisasi diarahkan pada institution-building. Di Indonesia, seperti di Thailand, beberapa institusi negara di