Opini

Konsep Ahlussunnah wal Jama'ah tentang Etika (4)

NU Online  ·  Selasa, 14 November 2006 | 05:17 WIB

Oleh: Dr. Hj. Sri Mulyati, MA

Kaum Nahdliyin juga mengenal kaidah dar’u al-mafasaid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih (mencegah marabahaya lebih diutamakan dari pada meraih kebaikan). Maksudnya, masyarakat perlu memilih langkah menghindari bahaya daripada mengupayakan kebaikan yang berisiko tinggi. Prinsip ini mendorong masyarakat untuk bertindak cermat dan tepat sehingga aktifitasnya benar berdampak positif, baik bagi dirinya maupun orang lain.

Kaidah lainnya yang penting adalah tasharruf al-imam manuthun bi maslahah al-ra’iyyah (kebijakan pemimpin harus mengacu kepada kebaikan rakyatnya. Maksudnya, seorang penguasa merupakan penjelmaan kepentingan rakyatnya. Ia bukanlah representasi atas dirinya sendiri, karena itu segala kebijakan yang diambil, harus mengacu kepada kepentingan rakyat yang dipimpinnya.

<>

Pada dasarnya NU senantiasa cukup responsif terhadap persoalan-persoalan kontemporer yang terjadi di masyarakat. Mulai disepakatinya konsep tentang prinsip-prinsip dasar pembangunan ummat (mabadi khoiro ummah) dalam Muktamar NU XIII tahun 1953, lalu disempurnakan pada Munas Alim Ulama di Bandar Lampung, tahun 1992. wawasan NU tentang pluralitas masyarakat juga tergambar dalam upaya-upaya perumusan dasar negara pada masa kemerdekaan, penerimaan asas Pancasila bagi organisasi sosial dan kemasyarakatan yang ada di Indonesia. selain itu NU mempunyai Lembaga Bahtsul Masa’il, suatu forum yang membahas masalah-masalah keagamaan kemasyarakatan kontemporer dan berusaha merumuskan solusinya.

Ide NU untuk mewujudkan masyarakat ideal dan terbaik (khaira ummah), sebenarnya telah diupayakan oleh NU sejak 1935 dengan konsep Mabadi Khaira Ummah. Tokoh-tokoh NU berpendapat bahwa proses pembentukan masyarakat yang ideal dan terbaik dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai al-shidq (kejujuran), al-amanah wa al-wafa bil ‘ahd (dapat dipercaya dan pemenuhan komitmen), al-‘adalah (berlaku adil), al-ta’awun (tolong menolong) dan al-istiqomah (berkesinambungan). Dua hal yang disebut terakhir dilengkapi di Bandar Lampung tahun 1992.

Dalam tatanan implementasi mabadi’ khaira ummah sangat berkaitan dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar (istilah yang diperkenalkan oleh al-Qur’an dalam al-A’raf 157:…ya’muruhum bi al-ma’ruf wa yanhahum ‘an al-munkar…). Konsep memerintahkan kepada yang baik dan mencegah dari yang munkar merupakan instrumen gerakan NU sekaligus barometer keberhasilan  mabadi’ khira ummah. Amar ma’ruf mengandung pengertian bahwa setiap orang Islam mempunyai kewajiban moral bagi dirinya dan mendorong orang lain berperilaku positif, berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan manusia  baik secara fisik maupun non fisik, melakukan yang dapat memberikan implikasi positif bagi manusia di sekitarnya. Segala aktivitas individu diupayakan mempunyai basis sosial yang tinggi, sehingga kemajuan yang diraih oleh seseorang secara otomatis memberikan dampak kemajuan terhadap orang lain.

Interaksi kalangan internal NU dan sikap kebersamaannya yang tinggi dengan masyarakat disekelilingnya. Sudah cukup dikenal, ras persudaraan yang seperti ini yang seharusnya terus terinternalisasi dalam diri warga NU (ukhuwah nahldiyyah). Konsep ukhuwah dalam pengertian persatuan, ikatan batin, tolong menolong, kesetiaan antar ummat manusia dapat melahirkan kebahagiaan serta faktor penting bagi tumbuh kembangnya persaudaraan dan kasih sayang telah ditegaskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari.

Sementara itu menurut K.H.M A Sahal Mahfudz, konsep ukhuwah nahdliyyah merujuk kepada Mukaddimah AD/ART NU yang secara umum dinyatakan bahwa NU perlu mengembangkan ukhuwah islamiyyah yang mengemban kepentingan nasional demi terciptanya sikap saling pengertian, saling membutuhkan  dan perdamaian dalam hubungan antar bangsa.

Selanjutnya dalam konteks yang lebih luas, dari interaksi antar individu muslim trercipta ukhuwah islamiyyah (persaudaraan sesama muslim). Dan dari interaksi sesama anak bangsa akan terciptanya ukhuwah insaniyyah (solidaritas kemanusiaan), persaudaraan global sesama manusia.

Selanjutnya, untuk melestarikan konsep Aswaja dalam kehidupan warga NU, adalah menjadi sangat penting untuk meneruskan nilai-nilai tersebut bagi generasi muda NU antara lain melalui kurikulum yang disusun untuk sekolah-sekolah NU. Dalam upaya memenuhi kebutuhan ini Pimpinan Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arif NU telah menerbitkan buku untuk keperluan dimaksud, yakni Mata Pelajaran Pendidikan Ahlusunnah Waljama’ah (Aswaja) dan ke-NU-an Standar Kompetensi. Namun nampaknya diperlukan tindak lanjut untuk menyiapkan buku ajar bagi masing-masing level sekolah tersebut yakni untuk tingkat Madrasah Ibtida’iy