Opini

Konsep Ahlussunnah wal Jama'ah tentang Etika (3)

NU Online  ·  Jumat, 10 November 2006 | 03:07 WIB

Oleh: Dr. Hj. Sri Mulyati, MA

Implementasi Nilai-nilai Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
Adapun pertanyaan bagaimana mangaktualisasikan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan mengimplementasikannya di lapangan menjadi hal yang sangat signifikan untuk mencari jawabanya. Seperti yang kita ketahui bahwa koridor bagi pemahaman keagamaan di lingkungan NU adalah taqdim al-nash ‘ala al-‘aql (menadhulukan nash atas akal).

Itulah sebabnya mengapa dalam mengimplementasikan faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah NU mengenal hierarki sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an, lalu al-Sunnah, kemudian ijma’  (kesepakatan jumhur ulama) dan qiyas (pengambilan hukum melalui metode analogi tertentu). Konteks hierarki maksudnya suatu hukum baru akan digunakan jika dalam sumber di atasnya tidak ditentukan ketetapannya.

<>

Hierarki sumber ini berlaku untuk semua aspek keagamaan, aqidah, syari’ah atau fiqh maupun akhlak. Hierarki semacam ini secara implisit juga tergambar dalam pernyataan Imam Asy’ari ketika memproklamirkan fahamnya didepan publik, bahwa sandaran otoritas pendapat dan keyakinan yang dianutnya adalah berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah Rasullah, atsar sahabat, perkataan tabi’in, pembela hadist dan apa yang dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal.

Hooker memberi apresiasi yang tinggi seraya mencatat bahwa NU selalu merasa peduli terhadap metode yang benar dan sangat hati-hati. Dalam mengeluarkan fatwa. Contoh dalam fatwa No. 2/1926 masalah hierarki sumber hukum dibahas sedemikian rupa dalam rangka memberi batasan-batasan yang hati-hati dalam mengeluarkan fatwa. Pada awalnya metode perumusan fatwa diambil dari konsensus (ijma’) Imam Nawawi dan Imam Rafi’i, jika masih belum berhasil, lalu yang dijadikan rujukan adalah ulama madzhab Syafi’i. regulasi pengambilan sumber semisal ini, kemudian menjadikan NU terkesan konservatisme traditional, yang oleh kebanyakan pemikir “modern” semata-mata diartikan sebagai taqlid. Pemberian atribut seperti ini menurut Hooker sesungguhnya terlalu berlebihan dan patut dipertanyakan bahkan dapat menjadi kekeliruan serius.

Kenyataan bahwa tidak setiap orang mampu secara rinci memahami persoalan-persolan keagamaan, termasuk bagaimana menemukan persoalan-persoalan keagamaan dan menemukan dasar-dasarnya dalam al-Qur’an dan hadist haruslah ditempatkan dalam konteks yang berbeda. Ini merupakan alasan yang paling kuat mengapa K.H.M Hasyim Asy’ari mewajibkan taklid bagi setiap orang yang tidak mempunyai kemampuan beritjihad secara mutlak. Sebagai tambahan, kita juga tidak mungkin mengingkari realitas objektif bahwa jumlah orang awam terhadap masalah hukum Islam lebih besar dibanding dengan mereka yang menguasainya, itulah sebabnya mengapa kebutuhan bermadzhab masih relevan.

Sesungguhnya proses pengambilan hukum yang dilakukan ulama pada dasarnya adalah tak dapat melepaskan diri dari meteologi itjihad yang telah dibangun ulama terdahulu, yang berladaskan pada dasar yang kokoh, tidak mulai dari nol, tetapi harus mengikuti para pendahulu dalam hal sistematika pemikirannya, inilah yang dimaksud dengan taklid metodologis/madzhab manhaji) bukan produk pemikirannya yang kemudian dibakukan. Taklid semacam ini tetap membutuhkan sikap kritis, ide-ide segar yang mampu merespons perkembangan zaman, sehingga kesimpulan hukum yang diambil relevan dan mampu menjawab realitas zaman.

Menurut K.H Achmad Shiddiq, faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah harus berlandaskan tiga karakter, yaitu tasawuth, atau sikap moderat dalam seluruh aspek kehidupan, al-i’tidal atau bersikap tegak lurus dan selalu condong kepada kebenaran dan keadilan, dan al-tawazun yakni sikap keseimbangan dan penuh pertimbangan Tiga karakter tersebut sangat diperlukan untuk menghindarkan tatharruf atau sikap ekstrim dalam segala aspek kehidupan.

Hal ini sesungguhnya merupakan implementasi dari kekukuhan NU memegang prinsip-prinsip keagamaan yang telah dirumuskan ulama terdahulu, diantara prinsip tersebut adalah al-‘Adah al-Muhakkamah yakni sebuah tradisi yang kemudian menjelma menjadi semacam pranata sosial. Maksudnya adalah rumusan hukum yang tidak bersifat absolut dapat ditata selaras dengan subkultur sebuah komunitas masyarakat menurut ruang dan waktunya dengan mengacu kepada kesejahteraan dan kebaikan mereka. Hal ini dapat dilakukan  selama tidak kontradiksi dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat qath’i, dalil-dalil yang merupakan kaidah umum dan prinsip-prinsip universal.

Al-‘Adah al-Muhakkamah menjadikan performance Islam sebagai agama yang dinamis dan membumi dan selalu aktual ditengah-tengah masyarakat, dan menampilkan Islam sebagai agama yang mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan ummat tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Sebagai contoh, pen