Opini

Kiprah Pemerintah dalam Mengelola Dana Haji

NU Online  ·  Rabu, 5 Desember 2018 | 22:00 WIB

Kiprah Pemerintah dalam Mengelola Dana Haji

ilustrasi ibadah haji

Oleh Muhammad Amin

Ibadah haji merupakan salah satu ibadah yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu, sekali seumur hidup. Karena dorongan kewajiban itu, jumlah umat Islam di Indonesia yang mendaftar untuk melaksanakan ibadah haji terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sementara itu, kuota haji yang tersedia hanya terbatas. Akibatnya, terjadi peningkatan signifikan terhadap jumlah calon jemaah haji yang menunggu jadwal keberangkatan. 

Kemenag mengungkapkan daftar tunggu (waiting list) jamaah haji per April 2018 mencapai 3,7 juta calon jamaah. Hal ini menunjukkan animo masyarakat Muslim di Indonesia untuk melaksanakan ibadah haji sangat tinggi. Kendati demikian, calon jamaah haji terkendala keterbatasan kuota sehingga harus mengalami masa tunggu antara 11-20 tahun. Dengan penyetoran minimal untuk mendapatkan nomor antrian ditetapkan sebesar Rp25 juta, menimbulkan konsekuensi penumpukan dana haji dalam jumlah besar. 

Menurut data dari Kemenag, hingga April 2018 dana haji di Indonesia mencapai Rp105 triliun lebih. Terdiri dari Rp102 triliun dana setoran awal dan nilai manfaat. Sedangkan sisanya sekitar Rp3,2 triliun adalah dana abadi umat yang merupakan surplus dari pengelolaan haji. Dari data tersebut, tampak dana dalam jumlah besar yang harus dikelola akibat waktu tunggu jemaah haji.

Idealisasi Pengelolaan Dana Haji

Untuk menjamin terwujudnya pengelolaan dana haji yang ideal, Pemerintah membentuk Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang pengurusnya dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2017. Sesuai dengan UU 34 tahun 2014, BPKH bertugas mengelola seluruh dana haji yang meliputi penerimaan, pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungajawaban dana haji. BPKH juga berwenang menempatkan dan menginvestasikan dana haji sesuai dengan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, nilai manfaat, dan likuiditas. Selain itu, BPKH juga berwenang melakukan kerja sama dengan lembaga lain. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut BPKH berkewajiban mengelola dana haji secara transparan dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kepentingan jemaah haji dan kemaslahatan umat Islam.

BPKH secara resmi mengelola keseluruhan dana haji per Februari 2018 yang semula dikelola oleh Kementrian Agama. Sejak tahun 2009, dana haji telah diinvestasikan melalui instrumen Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) termasuk Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI) dengan outstanding per Juni 2018 sebesar Rp37,9 triliun. Calon jamaah haji umumnya tidak mengharapkan timbal balik maupun keuntungan dari dana yang disetorkan untuk mendapat nomor antrean keberangkatan haji. Namun, dalam pengelolaan berlandaskan syariah diperlukan keterbukaan antara pihak pemilik dana dan BPKH sehingga pengelolaannya terbebas dari unsur fitnah dan kesalahpahaman.

Dalam pengelolaan berasaskan keterbukaan, UU 34 tahun 2014 mengamanatkan kepada BPKH untuk membuat akun bayangan (virtual account) yang akan mencatat saldo setoran awal jamaah ditambah nilai manfaat atau return yang diperoleh dari hasil investasi yang dilakukan BPKH setiap bulan. Terobosan ini rencananya akan direalisasikan BPKH di awal tahun 2019. Upaya tersebut dilakukan agar calon jamaah haji mengetahui secara jelas pengelolaan dana haji yang disetor kepada BPKH selama menunggu keberangkatan.

Pengelolaan Dana Haji Saat Ini, Sesuaikah?

Pernyataan terkait keinginan Presiden Joko Widodo agar sebagian dana haji diinvestasikan untuk  pembangunan infrastruktur negara memicu polemik di kalangan masyarakat. Salah satu kritik datang dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Agus Hermanto, ia menyampaikan kekhawatiran penempatan dana haji di infrastuktur melanggar UU 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Akan tetapi, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro berpendapat bahwa investasi dana haji di sektor konstruksi memiliki manfaat besar terhadap calon jamaah haji karena imbal hasilnya lebih besar bila dibandingkan deposito di bank syariah. Imbal hasil yang bisa diraih dengan investasi pada proyek infrastruktur bisa mencapai 12-13 persen, angka itu lebih tinggi jika dana hanya ditempatkan di deposito syariah yang rata-rata memberikan imbal hasil di kisaran 5-6 persen. Pernyataan Menteri Bappenas tersebut diperkuat oleh fatwa DSN-MUI yang memperbolehkan pengelolaan dana haji guna investasi termasuk investasi pembangunan infrastruktur dengan syarat memenuhi prinsip syariah, keamanan, manfaat, dan likuiditas.

Berdasarkan keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV Tahun 2012 dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 122/DSN-MUI/II/2018 bahwa dana setoran awal biaya penyelenggaraan ibadah haji merupakan milik calon jamaah secara perorangan (individu). Pengelola harus membagikan hasil investasi kepada pemilik modal. Demikian juga ditegaskan UU 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji Pasal 7 Ayat 1 menyatakan bahwa setoran biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan/atau BPIH khusus merupakan dana titipan jemaah haji untuk penyelenggaraan ibadah haji. Karenanya, pengelolaan dana haji harus berdasarkan akad dengan pemilik dana termasuk ketentuan bagi hasilnya. Dana jemaah yang diinvestasikan oleh BPKH harus sesuai syariah dengan prinsip kehati-hatian.

Menurut KH Cholil Nafis (Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia), menggunakan hasil manfaat pengelolaan dana haji milik calon jamaah haji untuk menutup biaya jamaah haji yang sedang berangkat menunaikan ibadah haji tanpa akad yang jelas dan diketahui pemilik dana hukumnya haram. Sebab, dana manfaat itu sebagian milik jamaah calon haji yang masih menunggu, sementara seluruh manfaatnya digunakan oleh jamaah yang sedang menunaikan ibadah. Artinya, sebagian biaya penyelenggaraan ibadah haji didapat dari harta orang lain tanpa akad yang jelas. 

Dinilai dari sudut pandang syariah, setiap muamalah harus disertai dengan akad yang jelas dan disepakati semua pihak di awal. Oleh karena itu, BPKH menerapkan akad wakalah untuk mengelola dana haji. Isi akad wakalah atau surat kuasa setoran awal dana haji terdiri dari identitas calon jamaah, pernyataan pemberian kuasa dari calon jamaah haji dalam pengelolaan dana, bentuk-bentuk pengelolaan dana oleh BPKH, dan pernyataan pemberian kuasa calon jamaah haji kepada BPKH untuk memproses penerimaan dan melaksanakan amanat sesuai dengan peraturan perundangan. Akad wakalah tersebut telah mendapat dukungan dari DSN-MUI. 

Dalam menjalankan amanahnya, BPKH menetapkan 31 Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) sebagai Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPS-BPIH) untuk periode April 2018 hingga Maret 2021. Mulai tahun 2019, BPKH akan mengalokasikan dana haji untuk diinvestasikan di Arab Saudi dan di dalam negeri dengan berbagai instrumen investasi. Pengelolaan dana haji ini bertujuan agar dana haji tidak tergerus inflasi dan terhindar dari resiko nilai tukar valuta asing (valas). Namun, sebaiknya pengelolaan dana haji di dalam negeri tidak hanya berfokus pada Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI), tetapi bisa lebih dikembangkan kepada sektor riil seperti pembiayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dengan tetap menerapkan manajemen resiko yang baik sehingga kemanfaatannya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat luas.

Langkah Pemerintah mendirikan BPKH bukan merupakan hal baru dalam perekonomian syariah. Malaysia telah mendirikan lembaga serupa sejak puluhan tahun silam yang manfaatnya dapat dirasakan oleh jamaah haji maupun calon jamaah haji yang menunggu keberangkatan. Bahkan dalam sejarah peradaban ekonomi Islam lembaga keuangan publik yang dikelola negara dan berprinsip syariah sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw (baitul maal) dan berlanjut hingga dinasti-dinasti Islam setelahnya.

Secara garis besar, pengelolaan dana haji oleh Kemenag yang sekarang dilanjutkan BPKH telah memenuhi prinsip dasar syariah dan bermanfaat bagi umat. Perlu kiranya mengapresiasi upaya Pemerintah dalam mengelola dana haji. Namun, diperlukan konsistensi dan inovasi dalam pengelolaan dana haji sehingga ibadah haji dapat terlaksana dengan efisien dan jamaah haji dapat merasakan manfaat sebesar-besarnya.

Penulis adalah alumni Universitas Darussalam Gontor jurusan Hukum Ekonomi Syariah, saat ini sedang menyelesaikan studi Pascasarjana di Universitas Indonesia dengan konsentrasi Ekonomi dan Keuangan Syariah.