Opini

Kiai Sya’roni dan Dua Fatwa Bertolak Belakang

NU Online  ·  Ahad, 12 Oktober 2014 | 14:07 WIB

Oleh Istahiyyah---KH Sya’roni Ahmadi mengisahkan sebuah masjid di desa Prawoto di ujung selatan kabupaten Pati, Jawa Tengah. Sebagian masyarakat bermaksud memperbaiki masjid tersebut. Sementara sebagian lain menolak dengan alasan masjid masih cukup layak untuk beribadah.
<>
“Pak Yai, di desa saya terdapat sebuah masjid yang masih bagus dan layak untuk digunakan shalat, tapi masyarakat bermaksud akan segera membongkarnya. Menurut Pak Yai apa itu layak? Padahal masjid masih bisa dipakai,” seorang warga datang ke rumah KH Sya’roni sengaja meminta fatwa untuk membenarkan pendapatnya bahwa pembongkaran masjid itu tidak boleh.

“Tidak boleh, masjid itu tidak boleh dibongkar!” jawab KH Sya’roni, Mustasyar PBNU.

Warga tersebut merasa puas karena telah merasa mendapat penguatan atas penolakannya terhadap rencana pembongkaran masjid. Sesampai di desa, dengan bangga ia pun mengumumkan atas nama KH Syar’roni, bahwa pembongkaran masjid haram dilaksanakan.

Warga lain yang merasa masjid itu memang perlu diperbaiki, tidak terima dengan pernyataan KH Sya’roni yang demikian. Kemudian ia pun memutuskan sowan ke rumah KH Sya’roni untuk kembali menjelaskan bahwa masjid di desanya memang benar-benar harus diperbaiki.

“Nuwun sewu, Pak Yai, di desa saya terdapat sebuah masjid yang sudah kurang layak dan butuh perbaikan. Karena itu, kami berencana akan membongkarnya, kemudian membangunnya kembali dengan bangunan masjid yang lebih baik agar masyarakat menjadi lebih nyaman beribadahnya. Menurut Pak Yai, bagaimana, apakah maksud baik ini salah?” tutur warga tadi.

“Ya bagus, malah wajib itu. Masjid itu harus diperbaiki!” jawab kiai kharismatik Kudus ini dengan mantap.

Persis warga yang datang sebelumnya, warga ini pun segera mengumumkan atas nama  KH Sya’roni, bahwa masjid  harus dibangun kembali dengan yang lebih baik.

Sontak masyarakat gempar, merasa aneh dengan dua fatwa KH Sya’roni yang berbeda dalam satu urusan yang sama. Mereka saling berdebat. Keputusan apakah masjid jadi dibongkar atau tidak, menjadi perdebatan. Akhirnya, dua kubu warga bersama para pejabat tingkat desa, berombongan datang ke Kudus Kulon untuk meminta klarifikasi atas fatwa.

“Pak Yai, mengapa untuk satu perdebatan, Pak Yai memiliki jawaban yang berbeda? Kami datang meminta penjelasan langsung agar masyarakat lega, bagaimana sebenarnya hukum dari rencana tentang masjid di desa kami,” kata seorang mewakili rombongan.

“Sebelum saya menjawab, saya ingin bertanya, desa kalian itu mana?” KH Sya’roni bertanya.

“Desa kami bernama Prawoto, Pak Yai.”

“Lha, desa Prawoto itu kan daerah Pati. Mengapa kalian malah datangnya ke sini? Di sana sendiri kan juga ada kiainya, jadi mestinya kalian datangi saja kiai di sana. Tidak perlu jauh-jauh ke Kudus. Pati bukan daerah saya, daerah saya kan Kudus, nanti malah kiai sana tidak suka,” jawab KH Sya’roni mudah.

Akhirnya rombongan itu pulang tanpa mendapat jawaban pasti dari KH Sya’roni.

Sesungguhnya, KH Sya’roni sama sekali tidak bermaksud mempermainkan perdebatan mereka. Pada jawaban pertama, beliau melarang pembongkaran masjid karena sebelumnya dikatakan bahwa masjid tersebut masih layak digunakan shalat. Di sini, kita memahami bahwa kata “bongkar” berarti merusak masjid. Tentu saja tidak boleh. Sementara di jawaban kedua, KH Sya’roni menjawab bahwa masjid tersebut memang harus “diperbaiki”, malah wajib. Dualisme kata antara “pembongkaran” dan “perbaikan” inilah kunci mengapa jawaban KH Sya’roni berbeda.

Ada pelajaran yang ingin disampaikan oleh KH Sya’roni dari kisah ini, yakni tentang kekompakan. Warga desa Prawoto belum memiliki kesamaan persepsi terkait dengan ide perbaikan masjid. Satu kubu menolak karena menganggap masjid masih layak dan satu lagi ingin perbaikan masjid segera dilaksanakan mengingat kemaslahatan masyarakat.

Andai mereka dapat menyamakan persepsi tentang pentingnya memperbaiki masjid, maka akan mudah begi mereka menghimpun kekuatan demi kenyamanan beribadah. Hal apapun, termasuk kebaikan sebaik membangun masjid sekalipun, jika diawali tanpa adanya kekompakan dan persamaan persepsi para pelaku, maka dipastikan tidak akan berhasil maksimal. Warga Prawoto contohnya.

Ihwal perbaikan masjid, KH Sya’roni menerangkan bahwa pada zaman Rasulullah pun, hal ini sudah pernah terjadi. Dikisahkan bahwa masjid Kuba yang didirikan oleh Rasulullah pertama kali dibongkar dan diperbaiki hingga menjadi dua lantai sehingga muat untuk berjamaah umat muslim. (Istahiyyah, disarikan dari mauidhoh KH. Sya’roni Ahmadi saat membuka agenda perbaikan masjid Al-Mihrob Kalilopo, desa Klumpit kecamatan Gebog Kudus, pada Sabtu, 11/10/2014)