Oleh: Nasrulloh Afandi
Tragedi Aa Gym belum lama ini, wajar dikatakan poligami terspektakuler di bumi Indonesia! Mampu mengundang reaksi berbagai kalangan, dari para kuli tani bahkan sampai presiden dengan perspektif dan argumentasi berbeda (sesuai kapabilitasnya). “Wow keren!” Sungguh sensasional! Sayangnya, sedikit orang yang bertanya, kenapa? Aa Gym melakukan hal itu ketika posisinya nampak mulai “redup” karena akhir-akhir ini marak bermunculan orang-orang berprofesi sama, juga background pendidikannya mirip dengannya, dan kiranya sangat memungkinkan akan mampu mengover alih kavling proyek dakwah Aa Gym.
Dalam nalar kritis, aspek patut dihargai oleh publik adalah ketidak sengajaan Aa Gym sportif membeberkan kepada publik atas keaslian rahasia moral mayoritas orang-orang bergelar kiai sekarang-sekarang ini. Yakni fenomena banyaknya orang bergelar kiai mereka sering bersikap bak strategi para artis sinetron ketika sengaja mengundang perhatian publik, agar berbagai media massa pun (kembali) memburunya! Geli namun sungguh memilukan! Meskipun juga belum jelas untung-ruginya, bahkan bagi figur tertentu hal demikian bisa jadi menamatkan profesi atau karirnya.
Para ahli sudah sering mengkritik. Sungguh geli namun sangat memprihatinkan, diantara fenomena ironis yang kronis menjangkit mayoritas bangsa Indonesia dasawarsa ini, diantara kekurang dewasaannya akhir-akhir ini, semakin menjadikan sandiwara sesaat tayangan televisi sebagai salah satu panutan beberapa aspek hidupnya. Imbasnya konteks beragama pun turut terjangkit ironisme (asumsi publik); siapa sering show di televisi berasesoris religius, maka dianggap kiai sekaligus panutan masyarakat dalam banyak hal. Meskipun sejatinya jauh dari iklim tafaqquhfiddin, dan sering hanya sebatas action wicara dilengkapi model busana. Laksana aktor dipanggung shooting.
Sangat realistis, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) di sela-sela seminar mahasiswa Indonesia se-Timur Tengah (Maroko, 27/7/06), Ia mengaku dapat informasi dari beberapa direktur televisi: Bahwa mayoritas sekretariat televisi selalu kebanjiran surat lamaran kerja untuk menjadi kiai, dengan uang pelicin ratusan juta rupiah, agar lamaran kerjanya diterima. Sungguh aneh!
Maka tidaklah heran bergulir profesi Dai sesaat atau patah silih berganti sesuai peringkat popularitasnya, dulu KH. Zainuddin MZ sekarang Aa Gym, dan mulai bermunculan yang lainnya. Diantara resikonya, para kiai yang rutinitasnya ikhlas mengajarkan pokok-pokok orisinilitas keislaman dari kitab-kitab kuning di pesantren-pesantren, karena umumnya tidak melamar jadi kiai pada media massa, akhirnya beliau-beliau oleh publik kurang dikenal atau bahkan kurang diperhitungkan.
Kiai Instant
Dalam geliat Islam Indonesia peluang bergelar kiai atau ustadz adalah laksana perawan ayu yang semakin jadi rebutan berbagai komunitas lelaki. Bahkan anehnya akhir-akhir ini eksistensi kiai telah diperkosa oleh orang-orang tertentu untuk mengalami kelonggaran standar dan kriteria. Maraklah Kiai instant.
Orang-orang yang nyata-nyata jauh dari kehidupan dan edukasi religius pun akhir-akhir ini tidak ragu-ragu bak semut keluar dari sarangnya dalam sedetik bisa menyulap diri tampil sebagai sang kiai, dengan action beragam untuk meraup simpati publik. Utamanya setiap bulan suci Ramadan tiba, asalkan dekat dengan media massa tertentu. Tentu dengan agenda-kepentingan pribadi masing-masing. Itulah profil kiai instant. Meningkatnya angka pengangguran komunitas berpendidikan adalah faktor dominan munculnya para kiai instant. Anehnya! Masyarakat pun banyak yang menerimanya.
Naifnya lagi, di sebagian stasiun televisi marak polling ustadz/ustadzah favorit. Bak kontes bintang Indonesian Idol, AFI atau KDI yang sangat tidak religius, dominan mencari popularitas orientasinya meraup kilauan materi itu. Muaranya sering mengusung profesi ganda sang kiai plus berperan tak ubahnya aktor atau artis, sering mewarnai rubrik infotainment, wow keren! Diantara contoh (teraktual) kronologis poligami Aa Gym ini.
Sungguh membingungkan umat, jika orang-orang yang sibuk bicara Managemen hati, kok banyak yang senang mencari popularitas? Bukankah perspektif tasawwuf, mencari popularitas (sumah) adalah bagian dari kronisnya penyakit hati? Ditambah pula fakta ada beberapa profil ustadz atau kiai(bertanda petik), setelah dirinya merasa dikenal oleh publik sebagai sang kiai (melalui siaran televisi yang berhasil didekatinya), ujung-ujungnya mereka tidak ragu-ragu memasang banderol untuk sekali manggung pada pengajian di daerah tertentu yang mengundangnya. Tak ubahnya tarif mati konser group band atau orkes dangdut yang tak bisa ditawar lagi. Sungguh memilukan, bukan?
Banyaknya kiai, baik kiai alami (tafaqquh
Terpopuler
1
Soal Tambang Nikel di Raja Ampat, Ketua PBNU: Eksploitasi SDA Hanya Memperkaya Segelintir Orang
2
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
3
Pentingnya Kematangan Pola Pikir dan Literasi Finansial dalam Perencanaan Keuangan
4
PBNU Rencanakan Indonesia Jadi Pusat Syariah Dunia
5
Sejarawan Kritik Penulisan Sejarah Resmi: Abaikan Pluralitas, Lahirkan Otoritarianisme
6
Sunnah Puasa Ayyamul Bidh di Pertengahan Bulan Dzulhijjah 1446 H Hari Ini dan Esok
Terkini
Lihat Semua