Opini

Ki Hajar Dewantara Memandang Full Day School

Sen, 28 Agustus 2017 | 10:30 WIB

Oleh Aswab Mahasin

Sebelum panjang lebar membahas pemikiran Ki Hajar Dewantara, kita sepakti dulu, dalam hal ini fokus kajiannya adalah mengupas bagaimana tanggapan Ki Hajar Dewantara terkait kebijakan FDS, bukan pada sisi politik, hukum, maupun sikap pemerintah. Standarnya ialah apakah FDS laik menjadi model pendidikan Indonesia (dalam perspektif Ki Hajar).

Banyak hal menarik yang pernah diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara, khususnya mengenai model pendidikan berbasis agama, seperti Pesantren. Ki Hadjar dalam media Taman Siswa, Wasita, edisi November 1928. Di sana beliau menulis dengan judul, Systeem Pondok dan Asrama itulah Systeem Nasional; “Mulai jaman dahulu hingga sekarang kita mempunyai rumah pengajaran yang juga menjadi rumah pendidikan, yaitu kalau sekarang “pondok pesantren”, kalau di zaman kabudan (Hindu-Budha) dinamakan “pawiyatan” atau “asrama”.

Adapun sifatnya pesantren atau pondok dan asrama yaitu rumahnya kiai guru (Ki Hajar) yang dipakai buat pondokan  santri-santri (cantrik-cantrik) dan buat pengajaran juga. Di situ karena guru dan murid tiap-tiap hari, siang malam berkumpul jadi satu, maka pengajaran dengan sendirinya selalu berhubungan dengan pendidikan.”

Lanjut apa yang dituliskan Ki Hajar, “Pada jaman sekarang pondok itu hanya terpakai buat pengajaran agama saja, tetapi pada jaman asrama rumah guru (pondok pesantren) itu tidak cuma rumah pengajaran agama saja, tetapi juga jadi rumah pengajaran rupa-rupa ilmu, yaitu: agama, ilmu alam, falakiyah, ilmu hukum, bahasa, filsafat, seni, keprajuritan, dan lain-lain pengetahuan yang dulu sudah dipelajari oleh kaum terpelajar (para sarjana sujana).” (Transkip ini dikutip dari buku Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a: Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa Kolonial; 2013)

Jelas, dilihat dari judul tulisan Ki Hajar beliau mengakui secara pasti, sistem pendidikan Pesantren/Madrasah Diniyah (Madin) merupakah sistem pendidikan nasional yang sudah mengakar sekaligus mentradisi, dan eksistensinya diharapkan terus mengalir.

Di berbagai momen juga, Ki Hajar selalu menyiratkan, Pesantren dalam pembentukan karakter bangsa, khususnya mengenai visi pendidikan atau kemajuan nasional menyumbangkan banyak hal, karena merupakan bagian dari perlawanan pendidikan kolonial. Pesantren memberikan makna kultural/spiritual, dan Pesantren memberikan harapan kemerdekaan, kita selalu disuguhkan dengan nilai-nilai kebangsaan dan kebhinnekaan. Bagi saya, di situlah kemandirian, di situlah persatuan, dan di situlah merdeka menjadi cita-cita bersama.

Namun sekarang, kita dihadapkan pada polemik pendidikan nasional—menyeret perdebatan panjang, seakan-akan pendidikan Pesantren/Madin dibenturkan dengan FDS, sasaran tembak FDS adalah melumpuhkan Pesantren/Madrasah Diniyah (itulah kesan yang muncul). Karena FDS mempunyai konsep 8 jam sekolah dan 5 hari sekolah. Konsistensi Madrasah Diniyah (Madin) notabene bagian dari pendidikan pesantren, bisa saja “mati” jika FDS tetap diterapkan. Karena Madin aktivitasnya dimulai dari pukul 13.00/14.00-17.00 WIB.

Oleh karena itu, kita harus mencari titik temu yang sesuai untuk menanggulangi polemik tersebut. Bagi saya, sebaiknya FDS tindak dilanjutkan, walaupun dari pemerintah sendiri menyatakan sekolah tidak wajib ber-FDS-ria. Hanya saja, ini semua serasa “gantung” antara “iya” dan “tidak”. Lantas, bagaimana tanggapan Ki Hajar Dewantara mengenai Full Day School?

Tanggapan Ki Hajar tentang FDS

Jangan dikira dalam tulisan ini Ki Hajar menanggapinya secara langsung, tidak. Melainkan kita coba kupas bagaimana konsep sistem pendidikan ala Ki Hajar.

Full Day School (FDS) konsep pendidikan yang sekarang sedang ditolak oleh semua warga NU dan para orang tua siswa (termasuk saya), menjadi masalah serius dalam dunia pendidikan Indonesia. Seakan mengubah-ubah gaya pendidikan sudah menjadi tradisi, khususnya setiap pergantian Menteri, kiranya sudah 10 kali sejak tahun 1950-an gaya pendidikan Indonesia berubah, dan pada titiknya FDS sekarang terlalu kabur secara konsep.

Seandainya Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara masih hidup. Mungkin beliau akan melakukan hal yang sama, menolak FDS. Karena menurut Ki Hadjar semua model pendidikan harus “memanusiakan manusia”. Dan beliau menekankan setiap pendidikan yang di dalamnya diisi oleh manusia, lebih dulu melihat manusia pada sisi psikologisnya.

Ki Hajar menambahkan, manusia mempunyai daya jiwa; cipta, karsa, dan karya. Dan yang dibutuhkan oleh setiap siswa adalah keseimbangan dari setiap daya tersebut. Tidak bisa hanya menekankan pada satu jenis daya. Namun menurut beliau, model pendidikan seringkali mengakar pada satu daya manusia, yaitu cipta—mengedepankan intelektual semata, tanpa peduli atas pengembangan karsa dan karya. Dampaknya adalah menjauhkan peserta didik dari keterlibatan hidup di lingkungannya. Fokusnya hanya pada kajian-kajian yang terbungkus pada ruang lingkup sekolah semata.

Konsep pendidikan ala Ki Hajar mempunyai keterikatan kuat terhadap pranata-pranata kebudayaan, keterlibatan tiga pihak sebagai ruang pendidikan adalah hal yang harus ditunaikan, seperti; sekolah, keluarga, dan lingkungan. Dan model pendidikan yang sedang dihebohkan sekarang (baca: FDS) jauh dari kesan itu. 

FDS mengabaikan peran keluarga dan lingkungan, dengan waktu 8 jam dalam satu hari tentu menjadikan peserta didik hanya punya waktu sedikit untuk berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan. Alasannya, hari sabtu dan minggu sebagai pengganti peserta didik untuk berinteraksi lebih intens, tapi tidak sedikit orang tua hari sabtu masih bekerja, tidak semua orang tua peserta didik adalah PNS (sabtu libur).

Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, ahli menyebutnya sebagai “studi kultural”. Di sini saya teringat dengan tulisan saya belum lama ini (yang dimuat NU Online, Dakwah Kultural Kiai Kampung). Ada kemiripan istilah antara studi kultural dengan dakwah kultural. Keduanya mengedepankan pemahaman lebih terhadap masyarakat/peserta didik. Pendidikan harus ngayomi dan humanis, Kita tidak bisa memaksakan kehendak sistem yang kita anggap benar, apalagi dalam dunia pendidikan. Sebuah sistem itu diterapkan—uji kelayakannya adalah kebiasaan/kebudayaan, sesuai apa tidak.

Ki Hajar mendirikan Taman Siswa dengan tujuan menjadikan peserta didik sebagai manusia merdeka. Merdeka secara fisik, psikis (mental), tekhnis (pengetahuan/intelektual), dan spritual (kerohanian). Pengertian manusia merdeka di sini bukanlah manusia yang bebas tanpa batas/bebas hambatan. Melainkan semua sudah terangkum dalam aturan-aturan kedisplinan dan kebudayaan. Manusia merdeka dalam konsep Ki Hadjar adalah manusia/peserta didik dalam lingkungan pendidikannya menyenangkan, tidak tertekan secara fisik dan mental.

Selain itu, standar pintarnya seseorang bukan terletak pada “nilai berupa angka” melainkan seluruh daya jiwanya. Dan manusia merdeka juga didukung atas nilai-nilai spirtualitas (esensi dari beragama), tertib damainya kehidupan bersama, toleransi, keselarasan, musyawarah, tanggung jawab, demokratis, dan kekeluargaan.

Dengan demikian, apakah FDS masih memungkin untuk terus diterapkan? Mengingat FDS bertentangan dengan karakter sistem pendidikan nasional kita. 

Tawaran Ki Hajar Terhadap FDS

Solusi yang ditawarkan oleh Ki Hajar Dewantara masih relevan sampai sekarang, apalagi dengan kondisi pendidikan yang saat ini sama sekali tidak sesuai lapangan (baca: FDS). Ada tiga “ajian/pusaka” peninggalan dari Ki Hadjar mengenai tuntunan bagi pendidikan. Mungkin, kita semua sudah tahu, saya hanya mengingatkan, yaitu; niteni, nemoake, dan niruake. Tiga jimat itu adalah konsep yang ditawarkan Ki Hajar, jika kita bedah mempunyai dimensi sangat luas.

Pertama, Niteni, artinya mengamati; dalam proses belajar ini kita diharapkan mampu untuk mengamati berbagai fenomena yang terjadi, dimulai dari sosial, kebudayaan, dan politik. Sederhananya, mengamati lingkungan, kebiasaan, alam, dan diri kita sendiri.

Kedua, Nemoake, artinya menemukan; nemoake spektrumnya luas, bisa menemukan hasil intelektual, bisa menemukan hasil rasa/etika, bisa menemukan hasil seni sebagai karya yang indah. Namun, yang lebih utama adalah menemukan nilai-nilai kebaikan dalam jagat ini, dan membuang nilai-nilai keburukan yang tidak patut disebarkan. Nilai-nilai kebaikan itu akan membawa kita pada kemanfaatan, bagi negera, bangsa, dan agama. Tentu, menjadi manusia paripurna adalah tujuannya.

Ketiga, Niruake, artinya meniru; setiap dari kita punya teladan, orang tua, guru, ulama, tokoh masyarakat, pemimpin, dan sebagainya. Menirukan apa yang diajarkan, menirukan perbuatan yang dicontohkan, akan membawa kita pada gambaran bernilai, dan membawa kita pada pola-pola keteladanan yang sudah dicontohkan oleh panutan kita.

Dengan demikian, apakah model pendidikan yang ditawarkan sekarang memenuhi syarat dan kategori tersebut? Tidak. Sekali lagi saya tekankan, ruang interaksi peserta didik dengan keluarga dan lingkungan tidak fungsional, akibatnya untuk mengamati, menemukan, dan meniru segala sesuatu yang baik peserta didik tidak punya kesempatan lebih.

Dari sini, kembali kepada titah Ki Hajar (pada pembukaan tulisan ini), sistem pendidikan nasional jangan dimatikan. Ki Hajar mengakui, Pesantren/Madin sebagai pembinaan akhlak, keilmuan, dan kebudayaan adalah basis dari studi kultural dan dakwah kultural.

Tulisan ini saya tutup dengan petuah Ki Hajar Dewantara, “Kemerdekaan bangsa kita tidak cukup hanya berupa kemerdekaan politik tetapi harus berarti pula kesanggupan dan kemampuan mewujudkan kemerdekaan kebudayaan bangsa, yakni sifat-sifat yang khas dari kepribadian bangsa Indonesia (Pesantren/Madin).”

Penulis adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.