Dahulu ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, guru saya menganjurkan supaya sederhana dalam berpakaian dan berhias. Sederhana dalam cara dan gaya hidup. Selain untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, juga supaya tak terjadi kecemburuan sosial antara siswa yang orang tuanya berada dan siswa yang keluarganya tak mampu.
Setelah dipikirkan sekarang, saya rasa apa yang dipesankan guru saya itu sangat terasa sebagai kebenaran. Utamanya setelah anak saya yamg tertua saat ini sudah bersekolah di sebuah taman kanak-kanak di dekat rumah tinggal saya dan leluarga.
Di sekolah anak saya ini, sering diselenggarakan perayaan ulang tahun para murid oleh orang tua masing-masing. Bentuk perayaannya biasanya berupa pemberian kue ringan, beberapa roti mewah, nasi kuning dan kue tart. Para penyelenggaranya biasanya adalah orang tua yang ‘sepertinya’ orang berpunya.
Alasan para orang tua itu memang beragam dan memang tidak sepenuhnya salah. Sebuah peryaan sebagai ungkapan rasa syukur atas bertambahnya usia adalah boleh-boleh saja. Sedekah juga adalah hal yang baik dilaksanakan.
Namun demikian, dalam praktiknya perlu kesadaran dan pengerahuan juga dari para orang tua akan dampak-dampak sosial yang ditimbulkan dari peryaan ulang tahun itu. Perlunya masing-masing wali murid berkomunikasi dan saling mengenal sesama wali murid. Karena di antara mereka berasal dari latar belakang ekonomi yang berbeda. Sebuah perayaan ulang tahun bisa saja mudah dilaksanakan oleh seorang wali murid. Namun bisa saja sangat berat bagi yang lain. Standar sederhana dan mewahnya sebuah perayaan juga berbeda.
Di sinilah maka para orang tua harus memahami dampak sosial dari segala apa yang mereka lakukan. Penulis pernah menyaksikan di sekolah tempat kerjanya ada seorang siswa merengek-rengek pada walinya untuk merayakan ulang tahun padahal siang wali tersebut keluarga tidak mampu.Bahkan ada di antara siswa (usia dini) yang minta dirayakan ulang tahunnya meskipun belum waktunya. Bahkan meminta beberapa kali dirayakan. Ini merupakan dampak sosial yang tidak baik bagi perlembangan sosial bangsa kita dalam jangka panjang.
Bahwasanya sekolah sebagai sebuah sistem sosial adalah hal yang tak dapat dipungkiri. Sebuah lembaga pendidikan adalah sponsor utama dalam transformasi dan pemeliharaan budaya bangsa. Halinilah yang haru disadari oleh pihak lembaga pendidikan dan masyarakat.
Bahwasanya kehidupan sosial di Indonesia sekarang ini tidak laluput dari serangan budaya luar adalah sangat jelas adanya.Kehidupan materialisme dan hedonisme semakin menjangkiti masyarakat nusantara dewasa ini. Kesuksesan hidup menjadi sedemikian besarnya diukur dengan materi. Kehidupan seseorang semakin diliputi kesenangan semu dalam bungkus hedonisme. Dan disinilah peran sekolah harus menjadi benteng budaya bangsa yang luhur.
Dengan demikian, penulis merasa bahwa petuah guru penulis di masa lalu, sebagaimana dipaparkan di atas, perlu sekali rasanya untuk disosialisasikan kembali. Kalau perlu diinstitusionalisasikan dalam bentuk peraturan yang mengikat.
Penulis adalah guru di Malang, Jawa Timur
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 2025: Teladan Keluarga Nabi Ibrahim, Membangun Generasi Tangguh di Era Modern
2
Khutbah Idul Adha: Menanamkan Nilai Takwa dalam Ibadah Kurban
3
Bolehkah Tinggalkan Shalat Jumat karena Jadi Panitia Kurban? Ini Penjelasan Ulama
4
Khutbah Idul Adha: Implementasi Nilai-Nilai Ihsan dalam Momentum Lebaran Haji
5
Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa 1446 H: Makna Haji lan Kurban minangka Bukti Taat marang Gusti Allah
6
Khutbah Idul Adha: Menyembelih Hawa Nafsu, Meraih Ketakwaan
Terkini
Lihat Semua