Oleh Al-Zastrouw Ngatawi
Setelah jalan-jalan menikmati keindahan alam kota tua Volendam dan taman bunga Koekenhof, malam itu rombongan Ki Ageng Ganjur berencana melakukan packing. Karena banyaknya barang-barang yang harus di-pack, terutama gamelan dan peralatan musik, maka perlu waktu lama untuk packing. Apalagi beberapa koper anggota rombongan banyak yang "beranak" karena tambahan isi.
Saat kami sedang packing tiba-tida datang beberapa orang sambil membawa makanan. Makin lama-makin banyak hingga akhirnya suasana di maajid menjadi ramai karena banyaknya orang dan makanan. Rupanya malam itu kelompok rebana "tombo ati" memberikan surprise membuat acara perpisahan. Mereka mengkoordinir orang-orang untuk datang membawa makanan. Acara packing terpaksa kami batalkan.
Perasaan haru campur bahagia dan sedih segera menggelayut di dada kami. Kami terharu atas sambutan dan ketulusan mereka melayani dan membantu kami selama berada di Eropa. Kami bahagia karena bertemu saudara sebangsa di negeri orang dan bisa membahagiakan mereka dengan pagelaran yang kami suguhkan. Yang membuat kami bersedih, esok hari kita akan berpisah, karena kami harus kembali ke tanah air.
Akhirnya malam itu benar-benar menjadi pesta perpisahan. Kami bernyanyi bersama, menyenandungkan shalawat dengan iringan grup rebana "Tombo Ati" yang berkolaborasi dengan beberapa personil Ki Ageng Ganjur.
Selain bernyanyi bersama acara malam itu juga dimeriahkan dengan hiburan sulap yang dimainkan oleh Mas Santoso, salah seorang kru dari Ki Ageng Ganjur. Suasana menjadi tambah akrab dan meriah. Inilah yang membuat kami menjadi lebih berat berpisah.
Yang membuat kami lebih terharu, beberapa orang memberikan oleh-oleh kepada kami. Sekadar buah tangan, kata mereka. "Biar kami tetap dikenang dan Ki Ageng Ganjur bisa kembali lagi ke Eropa untuk berdakwah menyampaikan Islam yang sejuk, damai dan simpatik serta menghibur," demikian doa dan harapan Kiai Hambali sesepuh orang-orang Indonesia di Belanda, saat memberi sambutan.
Dalam sambutannya Kiai Hambali juga menyatakan bahwa penampilan Ki Ageng Ganjur telah mampu memukau publik Eropa, terutama kelompok non-muslim. "99 persen acara ini mendapat respon positif," demikian Kiai Hambali menegaskan.
Respon negatif muncul dari kalangan islamis yang menganggap tidak patut mencapur shalawat dengan musik. Tapi secara keseluruhan apa yang dilakukan Ki Ageng Ganjur berdampak positif karena bisa sedikit mengurangi stigma negatif orang-orang Eropa terhadap Islam.
"Dengan adanya roadshow Islam Nusantara di Eropa ini, tugas kami semakin ringan karena bisa mengurangi stigma negatif sehingga gerak kami akan semakin mudah dan lapang," lanjut Kiai Hambali
Menanggapi pernyataan Kiai Hambali, saya dalam sambutan juga menyatakan, dari awal soal musik ini memang sudah kontroversial. Kelompok-kelompok yang antimusik akan selalu berpikiran negatif terhadap musik.
Tetapi jika musik kita tinggalkan, maka musik akan diambil oleh orang lain dan digunakan untuk merusak. Daripada digunakan untuk merusak, akan lebih baik kita ambil dan digunakan untuk memperbaiki. Karena daya rusak musik sama besarnya dengan daya untuk memperbaiki.
"Di sini kami menggunakan kaidah ma lam yudraku kulluhu, la yutraku julluhu (kalau tidak bisa diambil secara keseluruhan, ya jangan ditinggalkan semua). Artinya seminimal apapun akses yang bisa digunakan harus dipakai untuk mencapai kebaikan daripada tidak berbuat sama sekali.
Selain itu kami juga menggunakan kaidah akhaffud doruroin yaitu mengambil resiko bahaya terkecil dalam menggunkan musik untuk mencapai kemaslahatan yang lebih besar.
Selain ada ulama yang mengharamkan, toh masih ada juga ulama yang memperbolehkan musik dengan syarat dan ketentuan tertentu untuk mencapai kemaslahatan. Prinsip inilah yang digunakan Ki Ageng Ganjur dalam bermain musik.
Dan ini sesuai dengan prinsip Islam Nusantara. "Inilah beberapa argumen yang membuat Ki Ageng Ganjur terus menggunakan musik sebagai sarana dakwah. Selain bisa menunjukkan wajah Islam yang menyenangkan, cara seperti ini juga bisa membuat Islam lebih mudah diterima oleh semua lapisan masyarakat.
Malam itu acara ditutup dengan berjabat tangan bersama antara personel Ganjur dengan seluruh jamaah yang hadir. Suasana haru dan sedih saat berkumadang shalawat mengiringi acara salaman. Kami saling berpelukan sambil menumpahkan doa dan harapan agar bisa bertemu kembali.
Pagi hari beberapa orang datang melepas dan mengantarkan kami balik ke tanah air. Beberapa di antaranya ikut sampai bandara. Semoga silaturahim dan persaudaraan ini membawa berkah dan manfaat. Di pintu gerbang pemberangkatan bandara Sciphol, kami kembali saling berpelukan dan melambaikan tangan untuk pamit pulang ke kampung halaman. Vaar wel, zie je later... !
Penulis adalah pegiat budaya, Dosen Sekolah Pascasarjana UNUSIA Jakarta. Tulisan ini merupakan catatan perjalanan Islam Nusantara Roadshow to Europe bersama Ki Ageng Ganjur.