Opini

Kesadaran dan Perilaku Green Hajj, Kurikulum Penting Manasik

NU Online  ·  Senin, 17 September 2018 | 17:00 WIB

Kesadaran dan Perilaku Green Hajj, Kurikulum Penting Manasik

Sampah tercecer di jalanan sekitar Jarwal, Makkah (Foto: A Sahri)

Oleh: Achmad Sahri

Kota Makkah yang merupakan kota suci umat Islam selayaknya bersih dari segala hal buruk, termasuk sampah tidak seharusnya berserakan di mana-mana. Sampah-sampah yang berserakan, menjadi pemandangan yang tidak mengenakan dan menimbulkan bau yang tak sedap.

Pemerintah Kota Makkah mengklaim mengelola sekitar 4.000 ton sampah per hari yang dikumpulkan selama musim haji dari empat area utama. Keempat area ini yaitu Makkah Haram, area Mina, Muzdalifah dan Arafat, yang dihasilkan dari sekitar 2,4 juta jamaah haji. Jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit. 

Meski pengelolaan sampah di kota suci ini diklaim telah menggunakan Smart Waste System (sistem pengelolaan sampah cerdas) menggunakan teknologi digital, namun ada hal lain yang masih perlu menjadi perhatian. Kesadaran (awareness) dan perilaku (behaviour) jamaah haji terkait lingkungan (green hajj) yang perlu ditumbuhkan jauh sebelum seorang jamaah haji datang ke tanah suci.

Hal itu menjadi penting dilakukan mengingat kualitas lingkungan di bumi kita yang semakin menurun. Seruan hidup hijau (green) yang lebih ramah lingkungan juga telah menggaung sejak dekade terakhir dan dikampanyekan secara masif, namun praktiknya masih kurang merata di semua tempat.

Penerapan teknologi canggih memang dapat mendukung pengelolaan sampah menjadi lebih efektif saat sampah sudah terkumpul. Namun, kesadaran dan perilaku ramah lingkungan dari jamaah haji yang tidak berubah, menjadi masalah tersendiri. Karena, teknologi tidak serta merta memberikan suasana lingkungan menjadi bersih, selama perilaku orangnya tidak berubah. 

Kurikulum green hajj terutama pengetahuan dan kebiasaan hidup bersih perlu dimasukkan sebagai salah satu materi ajar selama kegiatan manasik haji di negara asal masing-masing. Jamaah haji harus tahu apa yang perlu dilakukan saat berada di tanah suci, bahkan sebelum mereka sampai ke lokasi. Proses naik haji bisa sejalan dengan praktik menjaga lingkungan. Caranya dimulai dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan dari rumah. Bila perlu, green hajj ini dijadikan modul tersendiri dalam manasik haji, dan setiap jamaah haji harus lulus ujian modul ini untuk dapat dikatakan siap beribadah haji. 

Jika penyelenggara haji di Arab Saudi mau melakukan evaluasi dan mau meningkatkan pelayanan terkait lingkungan, terdapat beberapa hal yang menjadi catatan. Pertama, kesadaran dan perilaku hidup bersih perlu diberikan bukan saja kepada jamaah haji, namun juga kepada seluruh penghuni Kota Makkah.

Pemerintah Kota Makkah mengklaim telah memiliki program pendidikan bagi masyarakat sejak tingkat Sekolah Dasar dalam hal menjaga kebersihan dan memelihara keindangan Kota Makkah. Pada praktiknya beberapa orang dewasa yang membuang sampah lewat jendela bus atau membuang sampah di sembarang tempat yang sempat terekam oleh penulis selama ibadah haji mencerminkan bahwa kesadaran dan perilaku hidup bersih belum dilakukan oleh semua lapisan masyarakat.

Kedua, fasilitas sampah dan kebersihan (mandi cuci kakus), terutama di Mina, Arafah dan Muzdalifah harus mencukupi. Rasio jumlah orang, jumlah fasilitas, lama waktu tinggal dan jumlah petugas kebersihan perlu dipertimbangkan dengan baik.




Berikutnya, menurut laporan pemerintah setempat, lebih dari 13 ribu pekerja kebersihan beserta pengawasnya diperkerjakan selama musim haji tahun 2018 ini. Akan tetapi, distribusi pekerja kebersihan nampaknya belum merata. Akibatnya beberapa tempat mengalami penumpukan sampah yang sangat parah, seperti di kawasan Mina.

Keempat, frekuensi pengambilan sampah perlu dilakukan lebih sering. Jangan biarkan sampah menumpuk, terutama di dekat tenda di Mina, karena bisa menjadi sumber penyakit. Kelima, teknologi lapor sampah online: foto, kirim, tangani.

Sistem pengelolaan sampah cerdas yang diterapkan oleh Pemerintah Kota Makkah dengan teknologi digital memungkinkan para petugas memonitor kondisi kebersihan kota suci tersebut secara akurat sepanjang hari. Ini termasuk informasi terkait jumlah tempat sampah yang ada di seluruh area Makkah, volume sampah di setiap tempat sampah, dan jadwal pembersihan. Bahkan, konon jika masyarakat menemukan ada tumpukan sampah yang belum ditangani di suatu tempat, mereka dapat mengambil gambar dan mengirimkannya ke pusat pengelolaan sampah.

Para petugas di kantor itu dengan segera mengetahui lokasinya, dan mengirimkan petugas kebersihan untuk menangani sampah tersebut. Namun, informasi terkait kemana harus melaporkan atau mengirimkan gambar tumpukan sampah juga tidak banyak ditemukan. Publikasi terkait ini sangat minim.

Terakhir, sampahmu milikmu! Petugas haji perlu menekankan agar para jamaah melakukan tanggung jawabnya terkait kebersihan lingkungan. Jamaah haji harus rela bersabar untuk membawa sampahnya sendiri sampai menemukan tempat sampah. Bila perlu berikan sanksi bagi pembuang sampah yang tidak dapat menaati aturan. Selain itu, tanda-tanda dengan anjuran agar jamaah memilah sampah sesuai jenisnya juga perlu dilakukan, agar pengelolaan sampah lebih efektif. 

Kesadaran dan perilaku hidup bersih yang berjalan dengan baik di negara-negara maju seperti Belanda atau Jepang mestinya bisa menjadi contoh dan rujukan. Haji mabrur seharusnya ditunjukkan bukan hanya dengan kesalehan ritual semata, tetapi juga kesalehan lingkungan. Bukankah kebersihan sebagian dari iman?

Penulis adalah Ketua Lembaga Pertanian dan Lingkungan Hidup (LPLH) Pengurus Cabang Istimewa Nahdhatul Ulama (PCINU) Belanda. Tinggal di Wageningen-Belanda.