Opini

Kerukunan Umat Bukan Urusan Negara

NU Online  ·  Selasa, 22 Juli 2003 | 10:29 WIB

Oleh Ahmad Baso

Setelah beberapa RUU ditetapkan menjadi Undang-undang, maka sebentar lagi akan diberlakukan Undang-undang (UU) baru tentang kerukunan umat beragama. Semangatnya adalah membatasi dan melindungi. Menurut logika UU yang disusun Departemen Agama ini, umat beragama sering konflik dan cek-cok. Bahwa klaim kebenaran terhadap agama adalah akar ketidakrukunan. Dari kenyataan itu, maka Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag merumuskan  Naskah Akademik Rancangan Undang-undang tentang Kerukunan Umat Beragama, dalam rancangan itu disebutkan  bahwa “jika umat beragama tidak mampu mengatur dirinya berarti masih diperlukan institusi non-agama, yaitu negara untuk mengatur umat beragama”. Akhirnya negara diberi kuasa tambahan lagi untuk mengatur toleransi antara berbagai penganut agama dan kepercayaan. Dan kuasa itu, seperti disebut, adalah “pengawasan, pembinaan dan pengendalian kehidupan beragama”.

<>

Poin-poin “pengawasan, pembinaan dan pengendalian kehidupan beragama” mencakup soal penyiaran agama, perkawinan, pendidikan anak, pengangkatan anak, penguburan jenazah, pendirian rumah ibadah hingga soal penodaan agama. Dalam soal perkawinan beda agama misalnya, diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi perkawinan sebagai alat salah satu pasangan untuk mengajak secara paksa pasangannya yang berbeda agama agar menganut agama yang sama. Juga ada aturan tentang bantuan keagamaan luar negeri, yang kalau melanggar (misalnya tanpa izin pemerintah), maka diberlakukan penahanan dan penyitaan terhadap barang-barang, termasuk buku-buku. Juga ada aturan menyangkut hal-hal yang dikatakan sebagai penodaan agama oleh kelompok yang disebut sempalan dan menyalahi praktek keagamaan mayoritas. Dan yang dimaksud penodaan itu sesuai dengan tafsiran aparat negara yang bisa jadi berbeda-beda.

Persoalan kerukunan adalah persoalan umat baragama yang bisa membangun sendiri suasana kebersamaan dalam perbedaan. Dengan RUU ini berarti negara akan mencampuri urusan interen umat bergama. Bahkan lebih jauh akan mengintervensi arah dan perkembangan kehidupan umat beragama, termasuk dalam mengatur bagaimana umat mengelola perbedaan. Umat sudah punya mekanismenya sendiri dalam membangun dan menciptakan suasana kerukunan karena perbedaan agama itu. Seperti yang banyak dilakukan oleh warga NU di sejumlah daerah. Seperti dalam ritual istigosah yang juga menghadirkan golongan non-Islam. Beberapa kiai NU ikut tampil berpidato di depan jemaah gereja. Atau sejumlah warga NU ikut bersama merayakan Natal, Waisak atau Tahun Baru Cina.

Bahkan dalam sikap politik kabangsaan NU yang dikukuhkan dalam Muktamar Cipasung, yang berlaku adalah sikap ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah islamiyah (persaudaraan keislaman). Ukhuwah islamiyah diakui sejauh mendukung persaudaraan kebangsaan. Kalau persaudaraan keislaman mengganggu proses hidup ebrsama sebagai bangsa, seperti lontaran bahwa presiden harus Muslim, maka NU akan menentangnya. Hal itu yang pernah dikampanyekan oleh Abdurrahman Wahid yang melontarkan gagasan presiden non-muslim sebagai bagian dari kerangka hidup bersama sebagai bangsa. Dan semangat itu pula yang mendorong Gus Dur -- waktu menjadi presiden -- untuk membuka kebebasan kalangan Konghucu dalam menjalankan agama dan ibadahnya, yang pernah dilarang di masa Orde Baru. Dan dalam RUU Kerukunan Umat Beragama ini, semangatnya masih seperti dulu, masih mengakui lima agama resmi (seperti dalam Pasal 1), dan berbeda dengan kebijakan yang dulu diambil Gus Dur yang berusaha mengapresiasi agama yang belum diakui.

RUU Kerukunan Umat Beragama ini bahkan bisa memunculkan segregasi sosial (pemisahan interaksi sosial di antara kalangan umat beragama) yang selama ini sudah terjalin begitu erat dan cair. Kalangan Muslim di Menado misalnya sudah terbiasa berinteraksi dengan kalangan Kristen. Seperti dalam kehidupan bertetangga, dalam kebiasaan saling bertukar makanan dan  hidangan, dalam usaha gotong royong membangun rumah ibadah, dan juga dalam upacara-upacara keagamaan. Kalau umat Kristen merayakan Natal, maka umat Islam pun ikut bagian dalam kebersamaan perayaan tersebut. Bisa jadi ikut dalam perayaan keagamaan, memberikan selamat, atau saling bertukar makanan. Sebuah praktek budaya yang sudah sering dilakukan masyarakat kita, tanpa sekat-sekat perbedaan agama atau apapun. Termasuk praktek budaya itu adalah perkawinan. Memang sudah biasa terjadi pernikahan beda agama sebagai salah satu mekanisme masyarakat membangun rasa solidaritas dan toleransi.

Draft RUU ini jelas sangat diskriminatif. Karena membuat perbedaan perlakuan berdasar agama antara yang Islam (yang dikatakan mayoritas) dan yang bukan Islam (yang dikatakan minoritas). Yang mayoritas diistimewakan dengan pengkhususan yang diberikan negara, terutama dalam merumuskan kebijakan, sementara yang minoritas diatur dan diawasi oleh negara agar tidak mengganggu kehidupan kelompok mayoritas.

Memang ada conto