Opini

Keotentikan Karya Kiai Hasyim Asy'ari

Rab, 23 Oktober 2013 | 09:01 WIB

Keotentikan Karya Kiai Hasyim Asy'ari

(Foto: NU Online)

Tak lama ini ada beberapa tuduhan bahwa kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim yang selama ini diketahui sebagai karya Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari diklaim bukan karya asli pendiri NU itu. Beberapa dosen, mahasiswa dan kalangan akademisi pun juga ikut meragukan. Spontan penulis merasa ganjal dan tertarik untuk mengulasnya melalui tulisan ini.

 

Yang dijadikan argumentasi ialah bahwa kitab Kiai Hasyim serupa dengan kitab karya Ibnu Jama’ah (w.733) berjudul Tadzkirah al-Sâmi’ wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta’allim. Kabarnya kitab itu hanya dimiliki tiga orang se-Jawa Timur. Padahal, ketika penulis menelusuri di internet ternyata banyak dan bisa diunduh secara lengkap dalam format pdf sesuai cetakan, penerbit Maktabah Ibni Abbas, Mesir, 2005 dan tersedia pula makhthuthah atau masnuskrip aslinya.

 

Penulis meyakini, kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim yang telah ditahqiq almarhum Gus Ishom dan diterbitkan Maktabah Tsurats Pesantren Tebuireng sejak tahun 1995 itu benar-benar karya Kiai Hasyim. Banyak alasan kuat yang dapat dijadikan pegangan.

 

Pertama, kitab ini telah ditelaah dan mendapat taqridz atau endorsement dari ulama-ulama Timur Tengah, sebagaimana yang terlampir pada halaman 102-108. Mereka takjub atas kepandaian Kiai Hasyim dalam menyusun kitab tersebut. Bahkan oleh mereka, Kiai Hasyim dijuluki dengan berbagai macam gelar keilmuan seperti al- Alim (pintar) al-‘allâmah (cendekiawan ulung), al-fahhâmah (sangat memahami agama), mursyid al-sâlikîn ilâ aqwam tharîq (penuntun para murid kepada jalan yang benar).

 

Ulama tersebut diantaranya Sa’id bin Muhammad al-Yamani, guru di Masjidil Haram dan Imam bermadzhab Syafii, Abdul Hamid Sanbal Hadidi guru di Masjidil Haram dan Imam bermadzhab Hanafi, Hasan bin Sa’id al-Yamani, dan Muhammad Ali bin al-Sa’id al-Yamani. Ulama-ulama ini tentunya tidak main-main berkenan memberikan kata pengantar untuk kitab Kiai Hasyim.

 

Kedua, tentang keserupaan bab yang ada di kitab Adab al-Alim dengan Tadzkirah al-Sâmi’ sebenarnya adalah hal wajar. Jika kita pernah menkaji kitab fiqh Syafiiyah, maka kitab berjudul apapun sistematika bab yang diulas satu alur. Dimulai dengan khutbah al-kitab (opening), lalu bab thaharah, disusul dengan bab shalat, zakat, puasa dan haji. Dilanjut dengan bab jual beli dan interaksi sosial (al-buyû’ wa al-muâmalah), kemudian munâkahah, jinâyat, hudûd, jihâd dan diakhiri dengan al-itq, budak.

 

Kiai Hasyim dalam kitabnya Adab al-Alim menulis delapan bab yang terdiri dari (1) bab keutamaan ilmu dan ahli ilmu, (2) bab adab murid kepada dirinya sendiri, (3) bab adab murid kepada gurunya, (4) bab adab murid kepada pelajarannya, (5) bab adab guru kepada dirinya, (6) baba dab guru kepada pelajarannya, (7) baba dab guru bersama murid, dan diakhiri dengan (8) bab adab kita kepada buku.

 

Sedangkan dalam Tadzkirah al-Sâmi’ Ibnu Jama’ah hanya menulis lima bab, yaitu (1) bab keutamaan ilmu dan ulama, (2) adab guru kepda dirinya, muridnya dan pelajarannya, (3) adab murid kepada dirinya, gurunya dan pelajarannya, (4) adab kepada buku, (5) idealitas sebuah lemabaga pendidikan. Dengan begitu jelas, kedua kitab serupa namun berbeda. Kalau plagiat, tentunya daftar isi keduanya tidak jauh berbeda.

 

Ketiga, sejauh penelusuran penulis selaian Kitab karya Kiai Hasyim ini, ada empat kitab yang berjudul Adab al-Alim wa al-Muta’allim yaitu, Adab al-Alim wa al-Muta’allim wa al-Mufti wa al-Mustafti karya Imam Nawawi, Adab al-Alim wa al-Muta’allim inda al-Mufakkirin al-Muslimin min Muntashaf al-Qarn al-Tsânî al-Hijrî karya Yahya Hasan Murod, Adab al-Muallim wa al-Muta'allim karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir Ali Sa'di, dan Adab al-Muallim wa al-Muta'allim yang ditulis oleh Majid bin Su’ud Ali Usyan.   

 

Belum lagi, kitab-kitab yang bertemakan adabiyah menuntut ilmu. Setidaknya ada Ta’lîm al-Muta’allim ilâ Tharîq al-Ta’allum karya Syaikh Zain al-Arab bin Ismail al-Zarnuji (996 H) yang diberi anotasi (syarah) oleh Syaikh Abdullah bin M Yablaqi (1107 H). Juga Hilyah Thâlib al-Ilmi karya Syaikh Bakr Abu Zaid, Uddah al-Tuhllâb Syaikh Sufyan al-Hakami dan al-Nashîhah al-Wâfiyah li Thullâb al-Ulum al-Syarî'ah ditulis oleh Muhammad Abdul Hakim Aal-Qadhi.

 

Sedangkan di Indonesia kita kenal ada kitab Tanbîh al-Muta’allim karangan almarhum Kiai Ahmad Maisur Sindi, bahkan menurut pengasuh Pondok Ringinagung Pare ini, kitab ini disusun berdasarkan nasehat Kiai Hasyim kala ia nyantri di Pesantren Tebuireng. Juga Mir’ât Afkâr al-Rijâl karya Kiai Ahmad Zaini Solo, serta Jawâhir al-Adab karangan Kiai Ahmad Nawawi bin Abdul Hamid Bulumanis, Pati.   

 

Keempat, melihat kealiman Gus Ishom tidak mungkin beliau sembrono mencantumkan karya itu sebagai buah pena Kiai Hasyim. Gus Ishom telah men-tahqiq belasan kitab sang kakek sejak 1994 hingga wafat tahun 2003. Beliau tidak menambahi atau mengurangi tanpa ada konfirmasi sebelumnya. Seperti kitab al-Nûr al-Mubîn. Kitab asli Kiai Hasyim ini semula berjumlah 61 halaman ketika diterbitkan ulang menjadi 85 halaman dengan menyebutkan keterangan bahwa lafadz yang berada di dalam kurung merupakan tambahan dari Gus Ishom sendiri.

 

Di perpustakaan pribadi Kiai Hasyim tidak dijumpai naskah asli kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim. Penulis menduga berada di kediaman Gus Ishom sebagaimana naskah-naskah lainnya.

 

Dari tulisan sederhana ini, setidaknya bisa menjadi pegangan kukuh bahwa kitab Adab al-Alim wa al-Muta’allim benar-benar karya Pendiri NU. Kalaupun ada yang masih meragukan, dipersilahkan menyampaikan titik-titik keraguannya itu secara ilmiah. Wallahu A’lam.

 

Fathurrahman Karyadi, Mahasiswa Ma’had Aly Pesantren Tebuireng dan peminat filologi