Oleh Aris Adi Leksono
Jelang pemilihan Gubernur Provinsi DKI Jakarta suasana semakin memanas, kacau, tak terkendali. Bahkan susah diidentifikasi kondisi permainan isu, ini dilakukan tim sukses atau kelompok diluarnya, atau justru tim sukses dimainkan kelompok yang bukan tim sukses. Semakin kabur dan mengkobarkan, bahkan sesat menyesatkan.Â
Berbagai opini muncul merespon kondisi kacau balau di Ibu kota saat ini. Kelompok fanatik agama mengatakan, Pilgub DKI sebagai upaya mengutan agama tertentu, atau mereka menyebutnya kristenisasi birokrasi, bahkan menurutnya ini adalah upaya mengurangi pengaruh dan jumlah umat Islam. Kelompok politis mengasumsikan DKI 1 adalah pertarungan perebutan RI 1 di masa mendatang, ini pertarungan "Grand Syech" Parpol P dan D, bahkan G.Â
Kelompok kajian Timur Tengah mengeluarkan hasil pengamatannya, menurutnya Indonesia akan dijadikan seperti Negara Timur Tengah yang terpecah belah, bertikai antar sesama saudara. Wah, segudang asumsi dari analisis yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara jelas. Ya, namanya juga opini boleh lah, segudang asumsi juga boleh. Namanya juga masa free market idea, ngomong apa aja juga boleh, oleh siapa aja boleh, di mana saja juga boleh.
Dalam tulisan ini tidak akan menambah opini itu, tetapi ingin melihat bagaimana media sosial mampu membius, sehingga memunculkan opini yang simpang siur tersebut. Terlebih dari itu, berbagai macam opini yang timbul dari media sosial tersebut telah mempersempit cara padang beragama dan keberagaman masyarakat.Â
Indonesia dengan dasar Pancasila telah mengakui lima agama dan satu aliran kepercayaan. Masing-masing pemeluk agama diberikan kebebasan menjalankan ajaran agamanya. Negara menjamin keamanan dan ketertiban dalam beragama selama tidak bertentangan dengan Hukum Negara dan norma positif.
Kondisi semacam itu sudah berlaku sejak Indonesia belum merdeka hingga kini era reformasi dan keterbukaan informasi publik. Dalam lintasan sejarah sikap akomodatif negara terhadap agama atau pemeluk agama dalam menjalankan ajaran agamanya telah mampu mewujudkan persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bahkan untuk mengawal berjalannya konsesus beragam di Indonesia berdirilah Kementerian Agama, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan lain sebagainya.Â
Lebih nyata lagi, umat beragama melalui organisasi kemasyarakatan masing-masing mayoritas menyepakati bahwa NKRI Harga Mati. Segelintir kelompok yang ingin sistem di luar arus utama bangsa Indonesia, yang menyebutnya sistem Khilafah, Negara Islam, dan simbul formal keagamaan lainnya. Bahkan dalam hal harmonisasi beragam, banyak negara lain belajar ke Indonesia.
Dalam hal keberagaman, Indonesia menjadi satu-satunya Negara di Dunia yang memiliki pulau terbanyak dengan berbagai suku, bahasa, ras, dan kekhasan lokal lainnya. Ini adalah real keberagaman yang mampu diikat dalam Undang-undang Dasar 1945 menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masing-masing daerah telah mampu menunjukkan sikap saling menghormati, teloransi, dan gotong royong. Tak jarang satu daerah dengan daerah lain yang berbeda pulau pun bisa saling melengkapi dalam keberagaman.Â
Berbeda dengan Negara di Eropa, Amerika, Timur Tengah, dan negara lainya di dunia, dengan luas negara yang tidak seberapa bila dibanding Indonesia, dengan jumlah pulau yang sedikit bila dibandingkan dengan pulau di Indonesia, apalagi jumlah suku, ras, dan bahasa, tidak ada negara yang mampu mengalahkan keberagaman masyarakat Indonesia. Meskipun Indonesia yang beragam, tetapi tetap satu juga, Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman ini pun sudah teruji dalam lintasan sejarah dan zaman. Bahkan banyak negara-negara lain yang belajar dari Indonesia dalam hal mengelolah keberagaman.
Dalam hal berserikat atas nama agama dan keragaman, Indonesia barang kali menjadi satu-satunya Negara yang memiliki serikat. Baik dalam bentuk organisasi kemasyarakatan berbasis agama, perkumpulan berbasis profesi, perkumpulan berbasis kedaerahan dan lain sebagainya. Data kementerian dalam negeri menyebutkan di tahun 2014, jumlah ormas yang terdaftar mencapai 65 ribu lebih, belum lagi terdaftar. Hal itu karena negara menjamin kebebasan berserikat dalam Undang-undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Bermula dari argumentasi atas nama politik dan demokrasi, subtansi keberagaman dan keberagamaan mulai terkoyak. Iya, suasana memanas di Ibu kota akibat Pilgub yang akan digelar tahun 2017, satu kelompok dan kelompok lain saling menyerang dalam bentuk agitasi dan propaganda, baik melalui forum, mimbar terbuka, media massa, bahkan setiap detik melalui media sosial, seperti facebook, whatsapp, twitter, dan lain sebagainya.
Pernyataan kontroversi kandidat petahana terkait Al-Qur'an surat al-Maidah ayat 51 tentang arti kata "auliya", telah mengundang kontroversi di kalangan umat. Ada yang setuju, ada yang tidak setuju, bahkan ada yang melaporkan kepada penegak hukum, karena pernyataan Ahok adalah merupakan bagian dari "penistaan agama". Apalagi gaya bicara calon betahan yang ceplas-ceplos, kalau tidak mau dibilang tidak sesuai budaya masyarakat timur, semakin memancing protes masyarakat. Meskipun toh, petahana sudah meminta maaf kepada masyarakat, khususnya umat Islam.
Isu protes, sindir sana sini dalam berbagai bentuk, menambah runyam persoalan, apalagi media sosial yang selalu live time, real time dapat diakses juga berisi isu negatif sang calon petahana. Opini berbagai perspektif terus berseliweran secara viral melalui media sosial, jadilah asumsi kebenaran yang belim pernah teruji kesahihannya.Â
Gelombang protes mulai dimainkan oleh sebagai ormas dengan tuduhan penistaan agama. Aparat mulai ikut menjelaskan melalui media, dengan dalih tuduhan dan laporan sedang diproses. Majlis Ulama Indonesia (MUI) tidak mau kalah dengan langsung membuat fatwa bahwa statemen Ahok adalah salah satu bentuk ungkapan yang mengarah pada penistaan agama, serta menciderai kesucian kitab suci agama Islam. Akibatnya, media sosial ibarat api ketemu kayu bakar, menjalar begitu cepat asumsi-asumsi yang mengarah pada mendiskreditkan kelompok lain, termasuk kelompok Ahok, sang petahana.
Dari opini media sosial, protes berlanjut menjadi aksi massa. Hampir setiap Jumat gelombang protes dan tuntutan dipenjarakan Ahok dari sebagian kelompok semakin keras, kencang, dan deras. Tanpa tau dasar yang pasti terkait kebenaran tuduhan, dan yang pasti tidak tau siapa yang "menggosok dan digosok". Ujungnya Jumat, 4 November 2016, media sosial telah menemukan titik api suci atas nama protes penistaan agama, konon menggerakkan massa yang lebih besar dengan isi tuntutan sama "Penjarakan Ahok". Apapun kenyataan dan hasilnya kita tunggu, tapi yang pasti negara kita adalah negara hukum. Menghormati keputusan dan proses hukum adalah kewajiban setiap warga negara. Kembali media sosial menemukan momentumnya.
Media sosial memang berpengaruh sangat besar terhadap opini publik dan pilihan terhadap pimpinan daerah. Berdasarkan pengalaman Pilkada DKI Jakarta 2012, Pilpres 2014 dan Pilkada di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan jawara di media sosial juga menjadi jawara Pilkada. Riset menunjukkan 55 hingga 65 pemilih terpengaruh oleh media sosial. Lantas alasan itu, kemudian dalam Pilkada DKI Jakarta penggunaan media sosial menjadi sarana kampanye mencari simpatik menjadi luar biasa. Bahkan menjadi kebablasan menggiring opini yang mengarah pada issu sara, merusak persatuan keberagaman dan keberagamaan.
Tetapi perlu diingat, kalau berdasarkan riset Politicawave kandidat yang jumlah percakapannya terbanyak dan yang sentimen negatifnya paling sedikit maka akan menjadi pemenang Pilkada. "ngono yo ngono, tapi mbok ojo ngono", menjadi pemenang adalah tujuan, tetapi jangan sampai menghalalkan segala cara, apalagi sampai mengarah pada disintegarasi bangsa.
Terlepas media sosial mampu memenangkan Pilkada, hal yang paling penting diwaspadai adalah terancamnya nilai keragaman dan keberagamaan yang sudah berjalan harmonis di negeri Indonesia. Negeri yang dibangun atas mufakat berbagai tokoh agama, negarawan, birokrat, kelompok adat, ras dan komponen lainnya. Negeri yang dibangun atas dasar nilai-nilai luhur agama, adat, dan kepercayaan. Negeri yang dibangun atas pengorbanan jiwa dan raga para pahlawannya.
Maka, jangan pernah media sosial mempersempit cara kita beragama dan berkeberagaman. Media sosial yang seharusnya mampu menbuka cakrawala pengetahuan untuk kebijaksanaan dan kebajikan justru berujung pada menyempitnya cara padang atas nama kebenaran beragama dan keberagaman. Jangan sampai media sosial justru mengadu domba antar sesama umat Islam. Harusnya media mampu membuka informasi pemahaman prinsip kebenaran masing-masing pemeluk agama dan kepercayaan dalam keberagaman, hari ini justru hadir dimanfaatkan sekolompok orang yang berkepentingan dengan disintegarasi bangsa, instabilitas keamanan dan ketertiban sosial. Allahumma Sholli Ala Sayyidina Muhammad.Â
Penulis adalah Ketua PW Pergunu DKI Jakarta, Wakil Ketua STAINU Jakarta, Guru dan Wakil Kepala MTsN 34 Jakarta.